"Aku pernah dengar Jeno bercerita tentangmu."
Detik-detik pertama setelah Taeyong mengumumkan statusnya diikuti oleh keheningan panjang. Waktu di hutan seolah terhenti. Jimin punya banyak reaksi untuk meresponsnya. Menjadi tenang itu pilihannya. Dia, Taeyong dan Aeri berbaris membentuk segitiga, masing-masing dengan emosi yang berbeda. Tak satu pun yang senang—kecuali mungkin Taeyong yang sulit ditebak. Sampai Jimin kemudian berpikir, cukup! Dia memecah keheningan itu bagai menjentikkan jarum jam agar kembali bergerak.
Taeyong mengangguk dengan sikap maklum. "Adikku kadang memang terlalu banyak bicara. Kuharap dia mengatakan hal-hal baik tentangku?"
"Sebaliknya—Jeno membuatmu terdengar seolah kau memberinya mimpi buruk."
"Benarkah?" Kekagetan terpancar dari raut wajah Taeyong. Sangat meyakinkan—bila Jimin diminta menilai. "Mungkin itu kesalahan. Kita bisa menafsirkan mimpi dalam berbagai cara yang berbeda, bukan?"
"Kata seorang kakak yang luar biasa tenang sementara adiknya bisa terbunuh kapan saja."
"Oh, kau tidak akan membunuhnya."
"Kalau aku adalah kau," Jimin menyarankan, "Aku tidak akan jadi terlalu percaya diri."
Taeyong tersenyum kalem. "Nona yang penuh kejutan, tak perlu lah menggandakan kekhawatiran Aeri yang malang. Kau bilang ingin bernegosiasi, tapi negosiasi takkan terjadi kalau pihak yang mengajak tidak punya alat tawar-menawar yang menarik—apapun bentuknya. Kebetulan aku tidak melihat apa gunanya aku tetap di sini kalau Jeno sudah"—bahunya mengedik acuh tak acuh—"tiada. Jadi ya, aku percaya diri kau takkan membunuhnya."
"Aeri yang malang" angkat suara. "Ada banyak cara untuk menyakiti seseorang tanpa membunuhnya."
"Aku setuju." Taeyong berpaling pada Aeri seakan dirinya guru dan Aeri murid yang menjawab pertanyaannya yang cerdas. "Kendati aku ragu Nona ini sanggup menyakiti Jeno, aku tetap ingin memastikan adikku dipulangkan dengan sesedikit mungkin goresan."
Jimin menunduk menyembunyikan kegeramannya. "Ragu? Sanggup? Kau melangkah terlalu jauh dengan meremehkanku."
"Sama sekali tidak, Nona," kilah Taeyong. "Aku justru mengagumi siapapun yang cukup sabar untuk merancang dan mempersiapkan rencana ini demi ayah mereka. Itu sangat ... Mengharukan."
Leher Jimin kembali tegak. Dia menatap Taeyong tepat di mata hijaunya yang tak bisa dipungkiri, merupakan salinan yang sama persis dengan milik Jeno. Yang membedakan hanya getarannya. "Kalau begitu katakan, apa yang terjadi pada ayahku? Di mana kau menyebar tulang-tulangnya?"
"Tulang-tulang?"
Puncak kepala Jimin rasanya hampir mendidih. "Jawab saja dan berhenti mempermainkanku!"
Sudut-sudut bibir Taeyong berkedut menahan tawa. "Kalau aku adalah kau," katanya, menyalin ucapan Jimin tanpa celah. "Aku tidak akan jadi terlalu percaya diri. Kau melangkah terlalu jauh dengan berasumsi ayahmu sudah jadi tulang-belulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Seven Lies ✔️
FanfictionPernah berpikir berburu makhluk mitos? Karina, seorang manusia; terlihat lugu dan ramah一setidaknya dari luar. Mengaku pandai menyimpan rahasia, tetapi lebih pandai lagi berpura-pura. Dirinya yang sejati tersembunyi di balik permukaan es tebal, hanya...