Yoo Jimin menarik napas panjang.
Memasukkan ke dalam paru-parunya udara kotor yang bercampur dengan asap kebakaran, sementara kerangka pintu sebuah rumah di sebelah kenannya ambruk ke tanah. Jimin berdiri di tempat yang sebelumnya adalah persimpangan yang menuntun pada alun-alun desa, jalan yang telah dia lewati berkali-kali saat melakukan pengiriman. Jalan yang di musim semi akan terlihat cantik, berkat pohon wisteria yang konon berusia ratusan tahun—kemudian tidak lagi.
Di sekeliling Jimin, api menyala mengubah malam yang dingin menjadi sepanas neraka. Api turut melahap pohon wisteria itu, memanggangnya hidup-hidup hingga mengeluarkan rintihan yang terdiri dari suara keretek daun yang terbakar dan cabang yang tumbang. Bau menyengat bunga yang mengerut dan menjadi abu menusuk indra penciumannya. Ke mana pun dia menoleh, dia melihat kehancuran dari apa yang tadinya adalah desa yang indah.
Desanya. Desa kecilnya yang indah.
Seolah mendengar isi pikirannya, seseorang mengoreksi, "Dulu, tempat ini adalah milik kami. Tidak terlalu jauh di masa lalu."
Sebilah pedang dan belati tersemat di sabuk di pinggangnya. Orang itu hadir bagai matahari di tengah malam—ketampanan mustahil yang celaka. Pisau artistik yang tak peduli bagaimana pembungkusnya, tetaplah berbahaya. Taeyong—dengan kesempurnaan yang melekat kulitnya. "Tapi leluhurmu tiba pada suatu hari, membawa kambing-kambing mereka, anak-anak mereka, dan mulai mendirikan gubuk-gubuk ini. Kami kira leluhurmu sekadar melintas; kami salah. Kalian justru mengklaim tanah ini dan membuat kami harus mundur ke dalam hutan."
"Lantas?" tanya Jimin berang. "Apakah itu memberimu hak untuk melakukan semua ini?"
Taeyong menggeleng, sempat tersenyum. "Bukan aku. Itu kau, Nona. Kau mengancam akan mengadakan pertunjukan dan aku tidak menyukainya. Aku bisa apa selain merobohkan panggungmu? Kau tidak memberiku pilihan."
Seluruh tubuh Jimin gemetar diguncang kemarahan. Kemarahan di tingkat yang tak pernah dia kira ada, menelannya dalam ambisi membutakan yang bermuara pada satu tujuan: selesaikan masalah ini untuk selamanya. "Mengetahui dirimu yang sekarang, aku semakin kasihan pada Jeno. Kau adalah mimpi buruk yang terburuk."
"Ah," sahut Taeyong, sambil mengangkat burung di bahunya. "Tapi kau tidak sedang dalam posisi untuk mengasihi orang lain. Pikirkan dirimu sendiri."
Dan burung itu terbang, tepat menuju tempat Jimin berada.
Jimin menggertakkan giginya. "Bahkan dalam kematian, aku takkan pernah memaafkanmu."
Burung itu terbang, seperti apa yang di masa depan akan diidentifikasi sebagai peluru. Kilatan di matanya memantulkan kebuasan. Paruhnya terbuka. Jimin, berbekal pakaian yang menempel di tubuhnya, tahu peluangnya kecil. Burung itu terlalu cepat. Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah mengangkat tangan ke gelungan rambutnya, merasakan rangka tipis binyeo yang terpasang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Seven Lies ✔️
FanfictionPernah berpikir berburu makhluk mitos? Karina, seorang manusia; terlihat lugu dan ramah一setidaknya dari luar. Mengaku pandai menyimpan rahasia, tetapi lebih pandai lagi berpura-pura. Dirinya yang sejati tersembunyi di balik permukaan es tebal, hanya...