🍁 Chapter 6

75 12 5
                                    

Ketika akhir pekan akhirnya datang, Juyeon harus membiarkan Minho tetap tinggal di menara. Ini adalah pertama kalinya mereka akan berpisah jauh dengan waktu yang lumayan lama sejak mereka dilahirkan. Sebenarnya, Juyeon ingin menyeret Minho untuk ikut pulang dengannya, tapi ia terlampau yakin jika saudara kembarnya itu tak akan mengikutinya. Dan bisa saja penyihir bersayap itu melakukan sesuatu agar keinginannya tidak tercapai. Sebenarnya lagi, ada opsi lain yaitu dirinya yang tinggal saja bersama Minho di menara. Tapi ada sebuah urusan penting dengan ayah mereka yang ada di desa sana sehingga ia terpaksa untuk membiarkan Minho.

Tidak, Juyeon sebenarnya tidak terlalu khawatir dengan keadaan Minho jika ia harus meninggalkan saudara kembarnya itu sendirian di menara. Ia masih ingat dengan jelas jika Minho adalah satu-satunya mahluk dari ras peri paling kuat di tempat itu. Sudah tentu tidak ada yang berani dengan Minho. Selain itu, ada banyak mahluk yang bersedia menjaga saudara kembarnya itu tanpa syarat. Jadi, keadaan Minho sudah jelas bukan kekhawatirannya.

Karena yang paling Juyeon khawatirkan di sini adalah apa yang akan saudara kembarnya itu lakukan selama ia tak ada di menara. Minho mungkin saja mengatakan bahwa ia tak akan melakukan apapun, tapi penyihir aquasera itu sungguh memikirkan jika Minho benar-benar ingin sendirian untuk mencari dominusnya. Karena jauh di dalam benaknya—sekalipun sang axeldian sudah berulang kali mengatakan jika ia tak berniat untuk mencari dominusnya—Juyeon masih takut jika penyihir setengah peri itu benar-benar mencari dominusnya.

“Dua hari bukan waktu yang terlalu lama dan jarak dari akademi ke desa juga tidak sejauh itu. Kau penyihir hebat dan mengusai sihir tingkat tinggi semacam sihir teleportasi dengan baik, kau bisa ada di akademi dalam waktu singkat jika kau mau. Jadi, kenapa kau terus menatap saudara kembarmu seakan kau akan pergi ke medan perang yang jauh dan kalian akan berpisah untuk waktu yang lama?”

Saat suara itu pertama kali terdengar, Juyeon tidak berpikir jika pemiliknya sudah berbicara dengannya. Tapi rentetan kalimat yang menyusul setelahnya membuat ia sadar jika orang itu tengah berbicara dengannya.

Jadi, ia putuskan untuk melempar tatapan ke sumber suara.

Itu sudah tentu penyihir. Surainya berwarna coklat, hampir sewarna dengan milik Minho tapi sedikit lebih gelap. Maniknya indah dan berwana kebiruan.

Juyeon jelas tidak asing dengan penyihir di depannya ini. Mereka tinggal di menara yang sama dan ada di kelas yang sama. Mereka sering berpapasan dan Juyeon paling sering melihatnya bersama Chris. Juyeon juga tahu namanya.

“Oh wow, aku tidak menyangkah jika tatto sayap elangmu terlihat lebih indah dari jarak sedekat ini.”

Lalu, saat dirinya belum keluarkan satu suarapun untuk menjawab apa yang penyihir itu katakan sebelumnya, penyihir itu kembali berucap. Manik kebiruannya nampak berbinar—mengarah tepat pada leher Juyeon di mana tatto yang ia sebutkan terdapat. Penyihir yang segolongan dengannya itu juga nampak memamerkan senyum di wajah indahnya.

“Kau...”

“Lee Hyunjae.” Penyihir di depannya itu berucap cepat, bahkan ketika Juyeon baru mengucapkan satu kata. Senyumnya masih sama dan maniknya tidak berpindah dari tatto di leher Juyeon. “Namaku Hyunjae, jika kau tidak tahu.”

“Kau yang bertanya pada Kevin tentangku?”

Tidak mengindahkan apa yang Hyunjae—penyihir itu katakan—Juyeon malah mengajukan pertanyaan lain begitu saja. Itu jelas terjadi karena ketika Hyunjae menyebut namanya, ia mendadak teringat cerita teman perinya tentang penyihir itu yang bertanya beberapa hal tentang dirinya. Ya, dirinya memang tahu nama Hyunjae, tapi ia tidak memikirkan apa yang sudah Kevin katakan sebelumnya.

Setelah mengajukan pertanyaan itu, Juyeon menatap Hyunjae dengan tatapan menuntut jawab. Sekali ia mencoba untuk menerobos masuk ke dalam kepala penyihir aquasera di depannya itu. Tapi yang terlihat hanya informasi samar-samar, tidak sejelas saat ia memcoba membaca penyihir lain atau benar-benar gelap saat ia mencoba membaca Chris. Hal itu menimbulkan pertanyaan lain yang muncul di kepalanya tentang siapa penyihir di depannya ini.

DOMINUS AXELDIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang