🍁 Chapter 19

47 12 2
                                    

Yang terjadi setelah Juyeon yang mendengar bahwa Minho sudah mati—juga dominusnya—adalah emosinya yang menjadi tidak karuan. Rasa sedih dan sakitnya mengundang marah membumbung tinggi. Semua yang ia rasakan berubah dalam sekali kejap. Menghasilkan aliran kekuatan luar biasa yang membuatnya beranjak dari posisi tak berdayanya.

Juyeon masih ingat bagaimana semua mata dari orang-orang yang berada di sekitar api unggun itu menatapnya. Tapi ia jelas tak punya waktu untuk memikirkan bagaimana mereka melihatnya tak percaya. Yang penyihir aquasera itu lakukan adalah menyerang mereka dengan membabi buta. Menyalurkan semua emosi yang ia rasakan. Juga membalas apa yang sudah mereka lakukan terhadapnya dan Minho—termasuk yang sudah terjadi jauh sebelum apa yang terjadi saat ini.

Yang terjadi pada orang-orang itu juga ayahnya?

Mereka tidak siap sama sekali. Dan walaupun madam Isabelle masih mampu untuk membalasnya, Juyeon jelas bukan lawan yang dapat diremehkan oleh wanita itu. Wanita itu memang punya kekuatan sihir hitam yang sangat besar. Juyeon yang masih berstatus sebagai penyihir pelajar yang masih belajar banyak hal untuk menyempurnakan kekuatannya jelas bukan tandingan wanita itu. Tapi semua harus ingat lagi jika penyihir edelweis itu membawa sebagai besar kekuatan Minho dalam dirinya. Minho itu axeldian—yang mengartikan jika ia punya kekuatan semua ras peri juga semua golongan penyihir. Sedikit kekuatan Minho saja sudah lebih banyak dari kekuatan penyihir biasa. Bagaimana dengan sebagian besar kekuatan axeldian itu? Juyeon jelas sangat kuat.

Hasil dari ketidaksiapan itu, Juyeon mampu meratakan keadaan lahan terbuka dengan tenda-tenda besar itu. Ia melukai banyak sekali penyihir hitam di sana. Madam Isabelle dan Charles—pria yang sempat beradu pendapat dengan ayahnya—mendapat luka yang tak sedikit. Junhoe dan Roseanne berbalik merasakan sakit yang ia rasakan setelah dihajar habis-habisan oleh ayahnya tadi. Ayahnya sendiri tidak jauh berbeda dari dua orang dewasa lainnya itu.

Tapi, apa Juyeon peduli?

Tentu saja tidak.

Walau hati kecilnya sempat tercubit melihat keadaan ayahnya—Juyeon diingatkan lagi tentang apa yang pria itu lakukan padanya dan Minho. Semua luka dan sakit mereka berasal dari ayahnya juga. Bahkan ia juga sadar jika kehadirannya dan Minho hanya jalan yang ditempuh ayahnya dan orang-orang jahat itu untuk menghancurkan dunia. Sehingga peduli itu lenyap begitu cepat.

Ia kembali menghajar tempat itu dengan membabi buta. Bahkan di titik terakhir, ia tidak ragu untuk menghanyutkan area perkemahan itu dengan sebuah gelombang besar dengan air yang berasal dari sungai tempat Junhoe dan Roseanne menemukan sayap Minho. Setelahnya, barulah ia melangkah meninggalkan tempat itu.

Walaupun kesedihan, rasa sakit dan amarahnya sudah bisa ia salurkan.

Ketika kaki-kakinya kembali menapak setapak kecil di tengah hutan, Juyeon tidak dapat menahan dirinya untuk menangis lagi. Hatinya masih sakit sekali ketika mengingat jika Minho sudah tidak ada lagi. Karena itu berarti ia kini sendirian—tanpa siapapun lagi di sisinya.

Juyeon semakin sedih ketika mengingat jika hubungannya dengan Minho tidak pernah baik sejak awal. Ia yang terlalu iri dengan hadirnya sepasang sayap besar berwarna putih besar di balik punggung Minho sehingga membuatnya tidak pernah bersikap baik pada saudara kembarnya itu. Juyeon merasa tidak adil—ia dan Minho hadir lalu tumbuh bersama dalam satu rahim yang sama. Tapi kenapa ketika dilahirkan mereka berbeda? Kenapa Minho punya sayap-sayap itu tapi dirinya tidak? Itu membuatnya terus menolak peduli, walaupun Minho berdiri dengan harapan besar di hadapannya.

Semua perasaan yang ia rasakan itu membuat Juyeon tak tentu arah. Penyihir aquasera itu hanya mampu menangis meraung di jalanan setapak yang ada di hutan itu. Ia bahkan menghabiskan sisa malam itu dengan berjalan entah ke mana. Juyeon sudah merasa kehilangan segalanya.

DOMINUS AXELDIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang