t i g a

129 12 4
                                    

Berbicara mengenai dukun, apa iya benar? Maksudnya, ini zaman sudah modern. Pasti ada alasan lain kan kenapa Tama bisa mengetahui rumahnya. Tapi, terus-menerus memikirkannya membuat Inges mendesah frustasi. Karena selama ini tidak ada yang pernah tahu rumahnya, tidak ada satu orangpun.

Setahu Inges, cowok yang bernama lengkap Pangeran Aditama alias Pangeran Kodok itu orang miskin—jadi tidak mungkin dia memakai dukun yang tarifnya itu kadang tidak sedikit. Ya, sebagian anak Tranx adalah anak-anak nakal yang uang jajannya kurang. Dan Baron memberikan mereka semua hal yang dibutuhkan dengan balasan bersedia sebagai suruhan Baron. Kembali lagi, mereka justru melimpahkan semua tugas yang diberikan Baron kepada Tama.

Bodohnya lagi, cowok itu tidak pernah menolak.

Lamunan Inges langsung buyar saat getokan pada meja dilakukan oleh cewek berkacamata di sampingnya. Menemukan bahwa kini semua orang sedang memusatkan perhatian padanya.

"Dari tadi lo ngelamun? Denger nggak sih kita lagi bahas apa?"

"Lanjut aja, gue dengerin kok."

"Kuping lo kurang lebar."

Mengumpat dalam hati, Inges memandang kesal pada cewek berkacamata itu. "Emang lo ngomong daritadi kesimpulannya tetep sama kan? Lo mau rombak tim debat? Nia, lo nggak bisa seenaknya aja nyuruh gue dateng ke ruangan olim cuman buat dengerin sebagian besar keluh kesal lo. Kalau mau saingan, saingan secara sehat aja."

"Keluh kesah gue? Asal lo tahu semua orang disini punya keluh yang sama, lo sebagai anggota seharusnya hargai lah," protes Nia, sesekali merapikan kacamata bulatnya yang bergerak turun saat dia berbicara.

"Woi! Kalau mau rombak tim, berhadapan langsung sama guru Pembina sana. Bukan malah ngoceh nggak jelas disini."

"Gue bukan ngoceh! Gue cuman mau menyampaikan apa yang menjadi ketidaknyamanan semua murid disini. Jangan mentang-mentang lo tim debat inti, jadi egois gini! Semua anggota tuh nggak suka dengan sistem yang diterapkan, bukannya malah jadi pinter kita jadi keliatan bego karena pembagian tim yang nggak adil."

Inilah mengapa Inges paling malas kumpul olim, isinya hanya anak-anak yang sedang memperlihatkan bagaimana bodohnya mereka.

"Lo tahu kalau lo bego seharusnya belajar. Lo mau kita debat di atas panggung dengan satu anggota cuman bisanya ngang-ngong ngang-ngong doang? Tim inti adalah orang terpilih, kalau lo mau jadi salah satunya ya lo belajar. Lagian, guru Pembina kasih kita jam kosong bukan buat denger lo ngoceh, tapi buat belajar bareng!"

"Udah kali, kalau lo nggak setuju ya udah diem aja." Jay memberikan celetuk, dimanapun dan siapapun—cowok itu jelas tidak akan memihak pada Inges, padahal jelas sekali dia termasuk tim debat inti.

"Gue udah diem, dia aja yang nyapa gue duluan," kekeh Inges, punggungnya dia sandarkan pada kursi.

"Kesombongan membunuh lo," bisik Jay.

Bersikap tidak peduli, Inges hanya mengangkat sebelah bahunya acuh dengan tatapan bosan. "Keirian yang justru membunuh lo. Jay, inget—jangan lupa belajar, lo masih butuh waktu banyak buat ngalahin gue di seleksi olimpiade matematika selanjutnya kan?"

"Bangsat!"

"Oke, lanjut aja. Gue bakalan pura-pura nggak denger." Mempersilakan sisa waktu yang ada untuk mereka dan Inges akan menggunakan waktu itu untuk tidur nyenyak.

Biar saja, sejak awal memang tidak ada yang pernah menyukainya. Jadi, selama posisinya disini masih aman Inges tidak akan peduli apa yang mau mereka katakan padanya.

***

Sisa jam pelajaran Inges habiskan di UKS dengan rasa nyeri dibagian punggungnya. Dua murid cewek yang mirip seperti anak domba masih menganggap Inges sebagai serigala. Maksudnya, mereka masih bersikap takut-takut. Inges manfaatkan saja mereka, entah menyuruhnya membeli makanan atau memijat punggungnya.

Pangeran KodokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang