Kepala Inges semakin pening, semua orang panik saat di UKS tadi. Mungkin, suara hantaman dari tangan Baron itu cukup mengerikan untuk sampai di telinga siapapun. Jika semuanya berpikir Inges akan berteriak, sama sekali tidak. Rasanya hanya nyeri dan sedikit menambah pening di kepalanya. Baron sempat panik, tapi cowok itu sama sekali tidak membantunya dan Inges justru senang akan hal itu. Maksudnya, berarti cowok itu sudah percaya dengan hal yang Inges katakan padanya.
"Tama, gendong gue." Begitu yang Inges ucapkan, membuat wajah Baron semakin memerah.
Meskipun kelihatannya Inges seperti pahlawan kesiangan, tapi sebenarnya cowo yang dengan baik menurut permintaannya padahal tubuhnya masih sakit itu lah pahlawan sesungguhnya. Well, dia menjadi domba selanjutnya yang Inges jadikan sebagai umpan demi membuat Baron menjauh. Dan yah, itu berhasil dengan baik. Baron pergi, dan meninggalkan Inges disana yang baru saja turun dari papahan Kodok—atau yang baru saja Inges panggil dengan nama, Tama.
Singkatnya, kejadian itu membuat Inges semakin dipandang jelek. Ya, sederhana saja lah ya—lakukan dan pikirkan apa yang kalian inginkan tentang Inges, hanya saja jangan mengganggunya.
"Gue denger-denger sih, katanya dia udah dibuang sama Baron gara-gara foto itu."
"Foto dia sama si kodok? Ya, siapa juga mau cewek bekas disentuh cowok itu. Secantik atau sepintarnya dia, emang cocoknya dibuang aja ga si?"
"Tapi gue denger sih waktu itu Baron emang sempet buat Inges mabuk, dan hampir bawa dia masuk ke kamar di club."
"Lo yakin? Kita emang nggak tau yang sebenarnya kayak gimana, tapi foto itu udah ngebuktiin kalau tuh cewe emang kasarnya hampir bekas kodok. Gue jadi kasihan sama Baron, selama ini dia ngejar cewek yang salah."
Herannya Inges, cowok yang dia panggil Tama itu malah tidak memberikan penolakan atau semacam hal yang mengisyaratkan padanya seperti ngapain lo bawa-bawa gue? Ini seperti pepatah diberi air susu di balas air tuba. Cowok itu sudah berbaik hati menolongnya malam itu, dan Inges malah membalasnya dengan hal yang mungkin tidak dia duga sebelumnya.
Punggung gue juga kena bogeman Baron!
Sialnya, termenung sendirian dengan posisi duduk di depan kelas mengharuskan Inges bertemu dengan Baron. Tanpa babibu mendaratkan bokongnya di samping Inges.
"Gue tau lo bohong."
"Gue juga nggak peduli kalau misalnya lo percaya."
Baron berdecak. "Jangan ngaco! Lo nggak mungkin beneran suka sama si kodok?" kekehnya kemudian dengan ejekan.
"Kenapa nggak mungkin? Perasaan-perasaan gue, kalau gue bilangnya gue suka dia, ya berarti perasaan gue milih dia."
Dih, bukannya datang minta maaf malah marah-marah nggak jelas.
"Buktiin."
"Hah?"
"Buktiin ke gue kalau lo suka sama dia."
Inges giliran tertawa mengejek, "Kenapa gue harus buat lo percaya? Inget, gue nggak butuh pengakuan dari lo."
"Inges!" gertak Baron sembari mengusap wajahnya dengan kasar. "Seorang Baron nggak mungkin kalah sama cowok kayak dia!"
"Nggak ada yang nggak mungkin," balas Inges santai.
Ini sangat merepotkan. Bau sisa asap rokok seperti mencekik pernapasan Inges dengan samar. Pergilah, pergilah—seperti penyihir—Inges mengucapkan mantra itu di dalam hati sejak tadi.
"Kalau aja malem itu gue berhasil dapetin lo, hari ini juga lo lagi tunduk sama gue," gumam Baron
Inges berdecih, "Ya makaknya gue suka sama Tama! Dia penyelamat gue dari predator kayak lo."
Baron memposisikan dirinya menghadap pada Inges, dimana tangannya menopang tubuhnya dikedua pahanya. Heran saja, Baron seperti tidak ada malunya setelah mengatakan hal menjijikan itu pada Inges.
"Asal lo tahu Nges, keinginan gue dari lahir nggak ada yang nggak kewujud. Cuman butuh waktu aja. Mau lo bilang suka sama cowok siapapun di dunia ini, kalau yang gue mau lo berarti takdir lo sama gue."
Fuck that shit! Baron ternyata kolot juga, Inges heran saja ternyata masih ada orang yang membicarakan takdir. Tidak sesuai saja dengan tampangnya. Orang-orang seperti ini biasanya pergi ke dukun—eh what?? Apa ini artinya Baron ada kemungkinan untuk memelet Inges? Meskipun zaman sudah modern, tetap saja. Pejabat zaman sekarang saja mainnya dukun.
Inges pergi terlebih dahulu, singkatnya dia meninggalkan Baron disana dengan langkah kaki yang tergesa. Sedikit was-was jika dugaannya benar. Ah bodo amatlah Baron minta maaf atau tidak, Inges sudah merelakan dengan ikhlas punggung cantiknya. Hanya mengikuti naluri lain, seperti contohnya ketika matanya melihat seseorang menatap dirinya dengan Baron tadi di balik tembok. Inges pikir dia kecolongan, namun setelah melihat mangsanya terperangkap di lorong buntu. Gotcha!
"Itu lorong buntu bego, lo berapa tahun sekolah disini nggak tau seluk beluk sekolah sendiri?"
Mengernyitkan alisnya, Inges tidak salah melihat kan kalau cowok itu tiba-tiba menghilang di balik tembok?
"Ini nggak mungkin efek halusinasi kan? Gue nggak liat makhluk goib kan?" gumamnya.
Ini memang diluar akal. Tembok itu ternyata memang bisa dilewati karena ada lobang. Inges sambil menahan malu, menyadari memang minum alkohol membuat dirinya gampang berpikiran hal diluar nalar. Sembari menertawakan dirinya yang ternyata bego, dia melewati lobang tembok itu dengan perasaan malu. Jelas saja tadi dia baru saja mengatai dirinya sendiri.
Dia, yang Inges kejar adalah Tama. Dia berdiri sambil mengelap motor vespa tua yang Inges yakin jika dinyalakan akan membuat telinganya berdengung. Masih ada yang menggunakan motor seperti itu di SMA Ancangan yang rata-rata isinya murid dengan gengsi tinggi.
Inges yakin, Tama tau kehadirannya. Namun, cowok itu malah sibuk sendiri dan Inges tidak tahu harus membuka percakapan apa. Setengah hatinya seperti menyuruh Inges untuk lo harus minta maaf Nges! Setengahnya lagi dikuasi gengsi banget gue! Punggung gue juga sakit. Bodo amat yang penting Baron nggak ganggu gue lagi nanti!
"Udah nggak usah dilap lagi, emang bentukannya begitu."
Tangannya betulan berhenti.
"Gue nggak bermaksud bilang motor lo jelek ya," jelas Inges tiba-tiba merasa sedikit gelagapan. "Maksud gue itu, emang warnanya begitu, udah bersih kok keliatannya dari sini."
Setelahnya, hanya suara angin berhembus yang menjawab. Momen akward ini agak membuat Inges bingung ya, entah memulai darimana. Padahal seharusnya Inges menjelaskan situasi yang terjadi pada korban ucapannya kini. Namun, mendapati cowok itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat sebagai korban membuat Inges justu harus berpikir keras menebak dugaan-dugaan yang ada.
Inges menggaruk lengannya yang terasa sudah dihinggapi nyamuk. "Tama, gini yaa. Gue suka sama lo itu beneran, lo juga suka sama gue kan?"
Pede-pede saja Inges mengatakannya, tidak sajar saja kalau Tama sudah tidak lagi sibuk menggosok motor vespanya.
"Gue orangnya nggak mandang fisik, dikit doang sih tapi ya. Yang penting isi dalem lo masih utuh, berarti aman-aman aja. Soalnya standar gue minimal paru-paru sama ginjalnya masih lengkap," lanjut Inges.
Begini ya, Inges mencari orang yang berpotensi menghindarinya dari Baron. Bukan malah dapat cowok penyakitan, yang ada nanti malah Inges yang melindungi cowok itu. Kan tidak lucu, ya?
"Tapi Tama," panggil Inges yang kali ini suaranya dia kecilkan. "Malem itu, kenapa lo nolongin gue? Bukannya itu kesempatan lo buat manfaatin gue kan?"
Bukannya menjawab dan malah membiarkan Inges menduga-duga sendiri.
"Dan, darimana lo tahu rumah gue?" cerca Inges kembali. Matanya yang menyipit seolah menandakan kalau Inges sedang menaruh curiga padanya.
Lagi-lagi, Tama tidak menjawab. Sekian lama Inges mengoceh sendiri, cowok itu hanya merespon dengan mengedikkan kedua bahunya.
"Lo main dukun kan?!"
TBC
Thanks!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kodok
Teen FictionSejak fotonya dalam keadaan mabuk tersebar seantero sekolah, Inges menjadi buah bibir paling hangat di SMA Ancangan. Sebenarnya masalah utamanya bukan karena dia mabuk. Melainkan di dalam foto itu Inges tidak sendiri, ada seorang cowok anggota himpu...