e n a m

122 22 9
                                    

Happy reading!

***

Mungkin, jika ditanyakan siapa orang yang kisah sekolahnya paling menyedihkan, Inges tidak akan ragu untuk mengangkat tangannya. Tapi bukan berarti sepenuhnya Inges mengakui dirinya begitu. Kadang kala memang ada waktu dimana dia akan merenungi, kenapa orang-orang tidak begitu menyukainya? Inges tidak suka membicarakan orang lain, Inges juga tidak keberatan kalau harus berbagi sebuah barang miliknya. Siapapun, Inges tidak pernah memandang kasta.

Sejak kecil, orang yang bersamanya hanyalah ada Papi, Oma dan Opa. Sayang saja, keduanya sudah meninggal saat Inges masuk SMP. Tinggal Papi yang overprotektif itu. Hanya kasihan saja pada Papi yang memiliki anak tidak punya teman satupun, sejak kecil. Maka dari itu, jika tanggal ulang tahunnya tiba, alih-alih bertanya Inges mau merayakannya seperti apa dan dimana. Lebih sering Papi berkata, Papi temankan makan malam di restoran ini ya. Kadonya sudah Papi taruh di meja belajar. Atau juga, kamu kemarin katanya mau ke kolam renang ya, besok Papi temankan.

Walau begitu, Inges tetap menikmatinya. Karena dia tahu, Papi rela membatalkan pertemuan penting dengan koleganya.

Setidaknya Papi tetap kaya ya.

Memikirkan kejadian di tribun, Inges tidak tahu sandiwara menjadi cewek yang menyukai kodok alias Tama akan berlangsung sampai kapan. Intinya kalau Baron masih mengganggunya, Tama bersabar saja ya untuk Inges. Sebab Baron masih tidak kunjung percaya. Lagipula, Tama tidak ada tingkah keberatannya kan? Iya kan? Semuanya melihat Tama tidak pernah menunjukkan gelagat, kenapa lo bawa-bawa gue?

Okey, Tama baik, Inges yang jahat.

Inges menunggu jemputannya sambil menikmati segelas es dan sepiring siomay di depan sekolah. Cukup aman-aman saja ya diawal. Sampai saat akan membayar, dompetnya dirampas paksa oleh copet. Inges tidak butuh menunggu lama untuk berlari mengejarnya. Sepanjang jalan dia berteriak copet! Copet! Tapi pencopet itu sayangnya gesit sekali caranya berlari.

Dan sampai titik dimana Inges merasa dia sudah berlari jauh, dan copet itu juga sudah tidak lagi berada dalam pandangannya. Inges yang tidak ikhlas, kembali mencoba berlari, namun sayang di tengah jalan dia terjatuh oleh tumpukan bata yang tidak Inges lihat sebelumnya. Jatuh yang menyakitkan karena rasanya seluruh persendiannya ikut berteriak.

"Papiiiiiiii!"

Inges mencoba bangkit dari posisi yang dia yakini siapa saja yang melihatnya sekarang pasti akan menertawainya. Menepuk-nepuk rok abunya yang kotor, dan tangisannya sedikit pecah ketika melihat darah keluar dari lututnya. Sungguh sial! Lalu tangisannyaberhenti ketika sebuah suara bising masuk ke dalam telinganya, lebih bising dari suara Papi ketika mengomelinya hingga membuat telinganya berdengung.

Tidak ada dipikirin Inges sedikitpun kalau Tama akan muncul dengan motor bututnya—begitu kata Baron karena memang vespa itu sangat bising beserta asapnya yang berwarna hitam mengepul. Tama berhenti, menatapnya dari atas motor.

"Awas aja lo ngetawain gue!" ancam Inges pada Tama.

Sementara Tama hanya diam saja masih sembari memperhatikan wajahnya terutama pipinya yang basah, lalu beralih kepada lututnya yang berdarah. Penampilan Tama yang mirip seperti cowok culun dengan kemeja kebesaran serta poni keritingnya hampir menyentuh alisnya yang lumayan tebal justru membuat Inges gugup. Cowok itu terus memperhatikannya tanpa henti.

"Jangan bilang siapa-siapa kalau gue nangis!" Inges mengancam lagi, karena sudah kepalang malu air matanya malah turun semakin banyak. "Kalau habis jatuh emang harus nangis, biar sakitnya nggak kerasa," ucapnya dengan serak.

Pangeran KodokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang