e m p a t

140 15 6
                                    

Inges suka ngegym, tapi anehnya dia tidak suka pelajaran olahraga. Keanehan itu memang sering membuat Papinya bertanya-tanya. Penasaran--Papinya bertanyalah, alasan yang Inges berikan justru membuat Papinya tidak bisa berkata-kata.

Guru olahraganya gendut Pi, nggak kayak yang di gym. Setelahnya Papinya hanya geleng-geleng kepala mendengar penuturan putrinya.

Kelasnya sudah membentuk barisan di tengah lapangan, siap mengikuti materi pelajaran olahraga yang kalau kata Inges sih sebutannya pamer body. Inges mengakui memang bentuk badan semua cewek di kelasnya itu luar binasa, tapi ya tidak pamer juga. Ini mau belajar atau mau latihan masuk jadi ladies club sih?

"Yang murid laki-laki ambilkan bola basket di ruang olahraga, sisanya bikin barisan depan net." Begitulah titah guru olahraga yang bernama Pak Aji.

Males sekali Inges, apalagi kini dia berada di barisan paling panas, sedangkan yang lainnya berdiri di bagian teduh oleh bayangan pohon-pohon.

"Murid perempuan jangan baris di tepi, bapak bilang depan net!"

"Panas pak! Skincare lagi mahal"

"Sebentar doang lah Pak, sambilan nunggu bola basketnya datang."

"Ada yang bawa sunscreen nggak guys? Sunscreen gue meleber."

"Cepat, cepat! Nggak usah banyak omong!" teriak Pak Aji, kumis tebal yang bertengger seperti ulat bulu di atas bibirnya membuatnya semakin seram saja saat dia berteriak seperti itu.

Inges yang memang memperhatikan kumis itu bergidik ngeri sambil berpikir berapa tahun Pak Aji menumbuhkannya? Kurang lebih mirip om Adam Suseno.

Tidak perlu lama menunggu untuk bola basketnya datang. Dengan wajah merengut, Inges menjalani sesi jam pelajaran olahraga dengan hati yang tidak ikhlas. Semua cewek itu semakin kegirangan saat geng Baron melewati lapangan. Seberusaha keraspun, mereka akan kalah dengan cewek yang justru sedang berdiri lemas kepanasan, siapalagi kalau bukan Inges--cewek yang Baron tatap sepanjang perjalanan dia melewati lapangan.

Kemudian penderitaan Inges berikutnya datang tanpa dia duga. Bibirnya komat-kamit menyebutkan sumpah serapah saat tubuhnya tiba-tiba saja dihantam oleh bola basket dari belakang.

"Gue nggak harus nanya lo punya mata atau nggak ya?" tanya Inges dengan kesal pada pelaku yang menatapnya dengan wajah tanpa dosa.

"Nggak kebalik tuh?" Prima membalas dengan pertanyaan sembari tersenyum miring.

"Mata lo kebalik. Nggak bisa bedain mana tiang basket mana manusia? Perlu gue ajarin cara melihat yang baik dan benar?"

"Apaan sih lo nggak jelas banget. Ya jangan berdiri di tempat bola di lempar kalau nggak mau kena," jawab Prima dengan ketus. Cewek itu jelas mengisyaratkan kalau dia menantang Inges.

Inges menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Lo kira gue nggak tau lo sengaja lempar ke arah gue hah? Lo kira gue nggak sadar daritadi lo merhatiin gue mulu?

Sambil mengibaskan rambutnya ke belakang. Prima mernjawab, "Dih geer banget, lo yang salah kok main playing victim sih."

Agaknya situasi antara Prima dan Inges sudah ditangkap oleh murid yang lain. Inges mengambil satu bola basket, kemudian melemparkannya dengan sengaja ke arah Prima.

"Apa-apaan sih lo!" teriak Prima dengan tangan memegang kening yang kena.

"Ya gue cuman reka adegan doang, lo jangan playing victim dong," kata Inges meniru-niru kalimat Prima.

Atensi semua orang kini semakin berfokus pada keduanya. Inges melipat kedua tangannya di dada seraya menatap Prima yang sedang terduduk kesakitan dihadapannya. Begini ya, Inges tahu kalau cewek ini merupakan salah satu Baron lovers dan juga heaters Inges. Dan Inges tidak pernah peduli sama sekali akan hal itu. Cuma jangan mengusiknya saja, jangan menyentuhnya, kalau perlu jangan anggap Inges itu ada! Inges juga tidak menyangka kalau Prima akan seberani ini padanya. Maksudnya--gue nggak buta kali buat pura-pura nggak liat siapa aja yang nggak suka sama gue.

Pangeran KodokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang