s e m b i l a n

59 11 7
                                        

Hi

Selamat membaca:)

***

Papi akan pulang—telat dari hari yang dia janjikan, meksipun begitu, Inges tidak keberatan sama sekali. Dia menawarkan diri untuk menjemputnya di bandara saat Papi mengatakan kalau supir kantor sedang sakit dan Papi ternyata juga sedang tidak enak badan. Inges yang sedikit memaksa untuk menjemput sesaat setelah Papi memberinya seribu omelan dengan alasan utama—tidak suka disupiri oleh perempuan. Walaupun Papi punya mulut seperti perempuan, laki-laki tua itu tetap punya jiwa yang lumayan over gentlemen.

Alhasil, kini Inges tengah berada di dalam mobil, dengan mengenakan kemeja oversize yang dipadukan jeans. Sejujurnya Inges khawatir mendengar Papi yang bercerita kalau badannya tidak enak. Pak tua itu terlalu over dalam bekerja, kadang bisa tidak pulang sampai sebulan. Inges tidak tau apa yang sebenarnya Papi rasakan, sehingga dia bekerja sekeras itu.

Yang pasti, Papi kesepian, tapi pitar ditutupi dengan segala macam omelannya. Selebihnya Inges tidak tau.

Pesawat Papi mendarat satu jam lagi. Inges berangkat sedikit terlambat dari yang dia janjikan pada Papi. Maka dari itu, jalan pintas menjadi solusinya. Sembari mendengarkan music di mobil, Inges melajukan mobil hitamnya dengan begitu santai.

Awalnya memang santai—mengikuti lirik musik yang dia setel. Setelahnya bibirnya terkatup dengan suara decitan rem mobil yang sedikit melengking. Inges melakukannya karena tiba-tiba ada motor yang berhenti mendadak di depannya. Jantungnya berdetak kencang—tentu begitu, sebab Inges hampir saja menghilangkan nyawa seseorang.

Atau mungkin kini nyawanya yang terancam? Karena pemilik motor itu kini berdiri di samping pintu mobilnya membawa sebilah pisau, dan mengacung-ngacungkannya.

Inges panik? Tentu.

Hanya orang bodoh yang berkata tidak, bayangkan saja sekarang ada orang tak dikenal menodongnya. Bahkan kini orang itu sudah berteriak-riak menyuruhnya segera keluar. Menjemput Papi yang berujung sial. Sambil mengorek-ngorek isi mobil, berharap sekiranya ada benda yang bisa Inges jadikan senjata.

Inges mengumpat kesal di dalam mobil, bahkan setelah satu menit menggeledah isi tasnya yang ternyata hanya berisikan dua buah lipstick dan dompet kecil. Dua orang menggedor dengan keras kaca mobil, berteriak dengan nada yang sudah lebih besar dari sebelumnya. Sebab jalanan yang sepi membuat aksi mereka nampak mulus.

"Dua menit lagi lo nggak keluar, gue pecahin nih kaca mobil lo!" ancam salah satu diantara mereka.

Ucapan itu tidak dia katakan sebagai ancaman belaka, ada besi panjang yang bersembunyi di belakang punggung yang Inges lihat.

"Yaelah sabar dong, gue nggak mau mati sia-sia ya disini," balas Inges, masih merogoh-rogoh isi mobil kesana-kemari.

Setidaknya dia perlu melakukan perlawanan, well, baginya mati paling konyol adalah mati karena pasrah. Usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil.

"Ngeyel banget nih cewek. Udah, pecahin aja langsung." Salah satunya mengangkat sebuah linggis, benar-benar akan memecahkan jendela kaca sampai Inges sontak membuka pintu dan menghentikan aksi mereka.

"Nah, gini kan enak," ucap orang itu ketika Inges keluar. "Dari tadi kek."

Gemetaran? Sedikit saja. Inges menatap kedua orang dengan masker hitam itu dengan ekspresi tak gentar. "Lo mau duit gue kan?" tanya Inges, ditangannya sudah ada dua gepok uang.

Keduanya tertawa, "Mangsa gede mah namanya nih."

Miskin, miskin. Kata Inges dalam hati.

"Heh, siniin duitnya."

Pangeran KodokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang