"Non Inges demam?" tanya Mbak Nanih.
"Nggak kok Mbak," jawab Inges dengan ekspresi bingung.
"Tapi muka Non merah terus dari dua hari yang lalu."
Waduh ini, batin Inges berkata demikian. "Emang cuacanya lagi panas aja Mbak makaknya merah terus."
Mbak Nanih menampilkan ekspresi tidak yakin atas alasan yang diberikan olehnya. "Ac-nya kali ya Non rusak?"
"Nah iya Mbak, betul itu! Ini gara-gara Papi nih."
"Kok jadi Papinya Non Inges?" tanya Mbak Nanih lagi dengan ekspresi semakin bingung.
Sambil mengipas-ngipaskan wajahnya, Inges menjawab, "Ya Papi sih, beli AC merek yang paling murah."
"Oh gitu ya, Mbak nggak tau. Soalnya dirumah cuman pakek kipas aja."
Kurang lebih begitulah isi percakapan antara Inges dan Mbak Nanih yang berakhir dengan tukang servis AC datang ke rumahnya. Usul itu dilakukan oleh Mbak Nanih ketimbang beli AC baru——katanya. Yasudahlah, daripada alasan Inges yang sesungguhnya diketahui oleh Mbak Nanih.
Syukurlah wanita muda itu percaya.
Dan di siang hari terik yang kali ini memang wajah Inges benar-benar asli memerah oleh panasnya matahari yang begitu menyengat. Ibaratnya seperti sedang melihat om-om di gym yang sedang melatih ototnya, panas dalem abang dek.
Memang ya kadang, jiwa-jiwa haus belaian——maksudnya haus tenggorokan harus tertuntaskan. Itulah sebabnya kini Inges tengah duduk di tribun lapangan basket untuk melihat permainan yang sekiranya yaaa——mengalihkan Inges dari ingatan-ingatan yang cukup membuatnya panas dingin. Tapi kalau ditanya apakah dia ingin mereka adegan ulang, maka dengan pasti Inges langsung mengangguk.
Ditangannya ada segelas minuman dingin, namun wajahnya justru memerah seperti kepanasan. Padahal juga lapangan bola basket SMA Ancangan tertutup alias indoor. Permainan basket cukup riuh ya, apalagi ada Baron sang tokoh utama Ancangan meski sejak tadi timnya belum mencetak poin satupun.
Pada akhirnya permainan berakhir. Lalu Baron yang mengambil duduk dengan jarak tiga bangku dari tempat duduk Inges membuat semua orang yang melihatnya berteriak histeris. Semuanya tidak terkecuali siapapun seperti menunggu apa yang akan dilakukan oleh Baron sejak mengetahui kalau Inges yang notabene masih hangat-hangatnya diisukan menyelingkuhi Baron dengan Tama alis si Kodok. Isu paling konyol yang pernah Inges dengar.
"Gue nggak habis pikir ada cewek kayak Inges ya, bisa-bisanya dia milih cowok yang speknya jauh banget kayak si Kodok?"
"Ibaratnya buang berlian demi karat besi. Tuhan ngasih lo ketua geng, lo malah milih anggotanya. Bodoh banget nggak sih?"
"Emang kadang orang pinter, tapi bodoh soal percintaan. Gue turut berduka cita aja buat kewarasan lo Inges."
Dan masih banyak bisikan-bisikan yang sebenarnya tidak mirip seperti sebuah bisikan, bahkan ada yang terang-terangan mengatakan Inges cewek nggak tau diri. Ya terserahlah, intinya Inges tidak peduli dengan mereka. Tidak peduli juga pada Baron yang dengan terang-terangan pula mencuri pandang dengannya. Sebab saat ini hal paling menarik adalah mengamati cowok yang tengah sibuk membawa minuman dingin di tangannya dengan langkah yang tergopoh-gopoh.
"Woi woi astaga! Gue udah dehidrasi lo baru dateng."
"Pake uang lo dulu kan? Baron yang ganti, lo nggak usah ribet deh."
Anak-anak Tranx yang tadi berkumpul di sekitar Baron berpindah menyerbu Tama. Cowok itu bahkan kelihatan kelimpungan harus melayani sekitaran tujuh orang disana. Alih-alih diikutkan dalam permainan basket, Tama lebih sering dijadikan pelayan cuma-cuma yang tugasnya membawa minuman. Padahal Inges yakin, dia bisa lebih baik dari Baron——sang tokoh utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pangeran Kodok
Teen FictionSejak fotonya dalam keadaan mabuk tersebar seantero sekolah, Inges menjadi buah bibir paling hangat di SMA Ancangan. Sebenarnya masalah utamanya bukan karena dia mabuk. Melainkan di dalam foto itu Inges tidak sendiri, ada seorang cowok anggota himpu...