t i g a b e l a s

49 11 1
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya dongs☺️

akhir-akhir ini bakalan sering update!

***

Dia datang dengan taksi, maka pulang juga dengan taksi atau bisa saja memesan gojek. Jalan utama itu ditutup dengan alasan ada pohon tua yang mendadak tumbang, mengacaukan jalur kendaraan. Dan hal itu membuat Inges musti jalan kaki melewati gang-gang kecil yang sialnya tidak berujung sejak sepuluh menit lalu.

Mungkin orang-orang pasti akan menyarankan—kembali saja, pasti jalannya sudah diperbaiki lagi.

Tapi—tapi, dia sudah melewati benyak kelokan yang mirip labirin dan untuk kembali lagi, Inges yakin dirinya akan tersesat. Menghadapi dua buah belokan saja, Inges bermodalkan cap cip cup kembang kuncup, pilih mana yang mau di cup. Apa ada jaminan jika dia kembali menemukan jalan yang sama?

Dia memang berjalan pada gang rumah pada umumnya, kiri kanan itu adalah perumahan penduduk yang anehnya begitu sepi meskip lampu di dalam setiap rumah menyala semua. Inges bermodalkan nekat, dalam hati mengutuk dirinya—kenapa nggak nelpon Pak Nadir aja dari tadi bego?!

Tapi, memikirkan segala hal yang lebih ke arah—seharusnya gue begini.... Atau seharusnya gue tidak senekat ini dengan resiko di begal. Lebih baik fokus, dan tebak lagi harus ke kanan atau ke kiri. Sebab kini Inges kembali dihadapkan pada dua buah belokan yang membuatnya kembali berkata.

"Sialan."

Lagi-lagi Inges mengandalkan insting. Dia memilih belokan bagian kiri, tidak peduli apakah akan benar atau tidak. Karena kini seperti ada Mario Teguh yang bergentayangan dikepalanya sambil berkata, tidak ada yang lebih baik untuk dipercaya selain diri sendiri.

Hanya beberapa menit sampai Inges memutuskan untuk mengambil lahkan lain dan mengetuk pintu rumah kontrakan ala perumahan padat penduduk. Dan keputusan itu Inges sesali ketika seorang wanita paruh baya dengan dandanan menor membukakan pintu untuknya.

"Siapa lo?" tanyanya dengan nada tinggi sembari tangannya menahan kain yang menutupi tubuh telanjangnya.

Oh Inges seketika merinding melihat bercak-bercak keunguan disepanjang leher mendekati dadanya. Bersamaan dengan seorang pria tua buncit yang datang juga dengan keadaan setengah telanjang.

"Siapa sih Nes?" Pria tua itu juga bertanya. Kemudian matanya sedikit berbinar ke arahnya. "Anak buah lo yang baru ya. Masuk aja Neng," tawarnya dengan tatapan genit. Matanya bahkan tak senonoh memandang mesum ke arahnya.

Wanita yang dipanggil dengan sebutan Ness itu tidak menjawab pertanyaan pria itu, dia langsung mengusirnya dengan beberapa sumpah serapah karena menurutnya Inges telah mengganggu kegiatannya.

Well, setelahnya mendengar suara desahan tak senonoh yang masuk di gendang telinganya membuatnya memahami kegiatan apa yang dia maksud.

Kembali lagi Inges berjalan. Kini dia mempercepat langkahnya, takut-takut bertemu pria cabul seperti tadi setelah menyadari kalau lingkungan ini tidak aman untuknya. Hal itu membuat Inges mempercepat langkahnya. Lima puluh persen hatinya berkata untuk kembali saja, dan lima puluh persen lagi otaknya tengah memaki dirinya sendiri dengan perkataan seperti, kenapa tidak melakukannya sejak tadi saja bodoh?! Karena itu percuma dan dia sudah berjalan cukup jauh. '

Pada akhirnya Inges benar-benar keluar dari gang kecil yang menyeramkan dan menyesakkan itu. Melewati ruko-ruko kecil yang temaram. Berbinar dan hatinya yang lega. Ya walaupun dia harus melewati waria-waria yang sejak tadi berteriak lima puluh sampai hamil kakak!

Namun semua keberuntungan kecil itu hanya bertahan sementara. Inges menahan nafasnya, benar-benar menahan untuk beberapa detik setelah matanya melihat segerombolan laki-laki yang mungkin jumlahnya lebih dari lima orang berkumpul di depan ruko dengan botol-botol minuman berserakan.

Inges berusaha melewatinya dengan tidak memperdulikan mereka, sementara semua laki-laki itu mengalihkan pandangannya padanya. Anehnya mereka hanya menatapnya—mengamati setiap langkah kakinya yang berbunyi di keheningan malam. Mereka yang tadi berisik mendadak diam seketika saat Inges tepat sekali berada di depan mereka.

Sampai kemudian,

"Neng! Abang suruh tungguin kok malah kabur sih."

Inges menarik tangannya yang dicekal oleh pria tua cabul yang tadi dia temui. Bau alkohol murahan menyeruak di indra penciumannya.

"Lepasin gue, bandot sialan!" geram Inges. Tidak mau terlepas juga. Kepalanya sudah sedikit pusing mencium aroma alokohol dan juga keringat asam kecut itu.

"Cewek sialan! Mau kemana lo hah?!" teriak pria itu saat Inges sudah lepas dari genggamannya. "Giliran lo layanin gue, sini sayang." Pria tua itu sedang mabuk, tapi tenaganya masih kuat untuk kembali mencekal tangan Inges.

Inges mengutuk tenaga pria tua cabul yang dia sebut dengan pria bandot ini di dalam hati. Bayangkan, dia sudah berhasil melepaskan dirinya, bersiap untuk berlari tapi dicekal lagi olehnya.

Suara besi yang bersentuhan dengan aspal terdengar. Seorang laki-laki datang mendekat ke arahnya. Berdiri diantara Inges dan pria tua itu, menatap tajam ke arahnya—bukan Inges. Hanya menatap saja, tidak melakukan apapun.

Tapi dengan semua itu, pria bandot cabul itu melepas cekalannya lalu berlari kabur entah kemana. Menyisakkan Inges, dan sekumpulan laki-laki yang kini tengah menatapnya juga. Inges mengabaikan semuanya, dia berlari kencang ketika menemukan jalan raya tidak jauh dari penglihatannya.

Sedikitnya dia mendengar obrolan sekumpulan laki-laki itu. Tapi, tidak menghiraukan apapun karena kepanikan serta takut yang tengah menyerangnya menjadi satu. Inges berlari sembari menelpon Pak Nadir untuk menjemputnya.

"Bilangin ke bos, orangnya udah aman."

TBC

22-07-2023

Pangeran KodokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang