s e p u l u h

48 9 4
                                    

Papi drop parah, laki-laki itu tumbang saat tiba di rumah. Meskipun begitu, dia masih sempat berkata, Inges, lain kali Papi nggak mau disupirin sama kamu! Masa supir ngantukan sih! Bahaya, disupirin kamu lebih bahaya ketimbang ga tidur dua hari!

Begitu lah yaa, diucapkannya dengan nada khas orang sakit. Itu karena Papi berpikirin dia baru bangun tidur dengan rambut acak-acakan miliknya begitu tiba di bandara semalam.

Inges meninggalkan Papi setelah dia mengantarkan sarapan di ruang kerjanya. Papi benar-benar memberikan contoh apa itu kerja lembur bagai kuda. Meskipun dia harus bersusah payah keluar dari ruangan itu setelah Papi mengomelinya tentang nasehat untuk anak muda. Sebenarnya omelan Papi itu lebih ke arah, seorang Ayah yang menjaga anak perempuan dari cowok brengsek. Tapi, bagaimana jika kenyataannya disini jika Inges yang memulai duluan?

Okey, ini memang terdengar mengejutkan jika sampai di telinga Papi ya. Tapi memang Papi tidak tahu saja kalau Inges pernah kencan dengan cowok yang berbeda-beda dalam satu minggu.

Singkat waktu, Inges pada akhirnya keluar. Tiba di sekolah sedikit terlambat yang dimaklumi satpam dengan embel-embel....

Tumben ya!

Dengan telinga yang tersumpal earphone menjadi ciri khasnya setelah berita tentangnya heboh. Selain banyak orang dengan terang-terangan memperhatikannya, well meskipun itu memang sudah terjadi sejak Baron mendeklarasikan kalau dirinya menyukai Inges. Makin banyak orang yang membicarakannya, tanpa malu, bahkan tanpa jeda.

Ada pemandangan yang sedikit berbeda, matanya tidak salah melihat kan? Tama berdiri di depan kelasnya dengan mata menghadap padanya—seakan-akan sudah menanti kehadirannya. Inges membalas tatapannya-hanya sepersekian detik saja.

Dalam hati bertanya. Dia sedang apa?

"Lo salah kelas," begitu kata Inges. Sementara Tama menggeleng. "Terus lo ngapain disini? Mau jadi satpam dadakan?"

Tama menggeleng lagi.

Memang ya, suatu hal yang paling melelahkan di dunia ini agaknya berbicara dengan makhluk kasat mata ini. Sudah bicaranya singkat, tidak jelas pula. Jadi Inges meninggalkannya saja disana. Tidak peduli banyak orang mulai berkerumun di depan kelasnya.

Dan semuanya semakin rumit saat geng Baron muncul dari baliknya.

"Puas ngeliatin pujaan hati lo?"

Saat itu pula Tama mengalihkan pandangannya. Dia menatap Baron dalam diam. Manusia itu memnag punya hobi mengatupkan mulutnya. Tapi, tumben sekali Baron malah merespon diamnya Tama dengan tepukan dua kali pada bahunya. Melongos tanpa mengatakan kalimat kasar yang biasanya dia berikan padanya.

Inges mengerutkan dahinya, menunjukkan pada Baron bahwa eksistensinya pagi ini telah merusak awal harinya. Kemudian merasa sedikit tertegun ketika Baron malah memberikan senyuman manis untuknya. Itu terlihat aneh dimatanya, terakhir kali cowok itu memberikan ancaman padanya mengenai dirinya dan Tama. Tapi memang satu hal yang pasti, Baron masih menyukainya.

Dan itu ancaman sesungguhnya.

Kini ada dua orang yang menaruh perhatian padanya. Namun, hanya satu orang yang berani Inges balas tatapannya. Baron yang mengambil tempat duduk di hadapannya.

Dia terlihat agak—jinak dari pada biasanya.

"Lo tahu, gue nggak suka liat lo pagi ini." To the point Inges mengatakannya. Namun, reaksi Baron yang hanya memberikannya sebuah tawa kecil renyah semakin membuat perasaan kesal itu semakin besar.

"Gue selalu tau itu, tanpa lo kasih tau."

Orang-orang semakin banyak memperhatikannya. Tidak ada celah disana. Apalagi ketika Baron tiba-tiba memeluknya sambil berkata, "Berhenti sandiwaranya."

Inges kaget, spontan mendorong Baron. Dia berkata dengan lantang, "Jangan jadi perusak di hubungan orang!"

Baron yang biasanya emosi, justru tersenyum bebas. "Siapa yang lo maksud? Gue? Atau dia?" Tunjuknya pada Tama.

Inges mengatur emosinya, dia membalas tatapan Baron dengan tenang-sebisa mungkin—mengikuti alur permainannya. Lalu dia mengalihkan pandangannya sebentar pada Tama yang masih diam dengan ekspresi anehnya. Berharap Tama melakukan sesuatu, meski memang tidak ada gunanya.

"Ga perlu gue kasih tau, perlunya itu sadar diri aja," ucap Inges pada Baron.

"Ya, gue sadar. Gue sadar kalau lo itu cuman sandiwara sama dia kan?" Suara Baron terlalu tinggi, membuat Inges sedikit terkejut olehnya.

Ricuh mulai terdengar, mungkin orang yang mulutnya tetap terkatup rapat sejak tadi hanyalah Tama. Masih dengan posisi yang sama sejak Inges menemukannya di depan pintu kelasnya. Tetap menatap Inges, mungkin bahkan tanpa kedipan sekalipun.

"Sandiwara darimananya sih?" tanya Inges jengah. "Emang gue pernah carper depan lo? Selama ini gue diem-diem kan, itu juga lo tahu karena oknum nakal yang fotoin gue waktu pulang club kemarin."

Berusaha menampilkan sandiwara senatural mungkin.

Tapi, kali ini Baron nampak tidak peduli dengan apa yang Inges katakan. Bahkan dengan santainya dia duduk manis sembari tersenyum lebar seolah penjelasan apapun yang Inges berikan tidak akan membuatnya percaya.

Tidak tahu kenapa juga cowok itu mendadak seperti ini.

"Yaudah, jangan sampai lo lupa kalau perasaan gue cuman buat Tama." Inges mengingatkan dengan harapan Baron untuk pergi.

"Of course sayang, gue nggak pernah lupa sama hal itu," timpal Baron.

Matanya mencuri-curi pandang lagi pada Tama. Kali ini cowok itu sudah beberapa langkah ke depan darinya.

"Mata batin lo cuman lagi ketutup aja, gue maklumi." Baron mengambil suara lagi.

Senyum Baron masih tersungging diwajahnya. Mungkin akan tetap seperti itu kalau saja Inges tidak berjalan melewatinya menuju ke arah Tama. Membuat semua yang ada disana menahan nafas akan aksinya.

Inges benar-benar memberikan contoh apa itu cewek gila.

Ini memang plan B—plan yang muncul baru saja dan langsung dia lakukan. Hanya saja, Inges tidak akan mengira kalau begitu bibirnya begitu menyentuh milik Tama, tidak ada dorongan apapun yang dia terima. Hanya sebuah tangan yang sempat menahannya untuk diam pada posisi itu. Kemudian terlepas dengan susah payah olehnya.

"Mata batin lo apa mata batin gue yang ketutup?"

Entah antara pertanyaannya itu atau apa yang baru saja dia lakukan sehingga berhasil membuat Baron bungkam. Telinganya sedikit berdengung setelahnya, Inges bahkan tidak bisa mendengar orang-orang di sekitarnya padahal jelas sekali mereka terlihat tengah membicarakannya.

Ini gara-gara Tama.

Si Kodok itu kini malah diam dengan bibir yang sedikit terbuka. Mendadak kepalanya juga ikut pening. Bukan karena suara-suara itu. Hanya saja, dia baru saja menyadari kalau bibirnya basah. Benar-benar basah di permukaannya. Dan pelakukanya kini tengah menatapnya, tanpa kedipan-tanpa rasa bersalah.

"Serakah."

Karena masih sempat-sempatnya dia menyusupkan lidahnya, bukannya memberi solusi dia malah mendatangkan perkara.

TBC

Pangeran KodokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang