Sania memandang lautan lepas di depannya dengan gamang. Rambut panjanganya tertiup angin, sesekali matanya terpejam menikmati.
Sania menunggu kedatangan Rio. Setelah sekian lama, tadi pagi Sania melihat hp nya terdapat notifikasi dari Rio yang mengajaknya bertemu.
Di sinilah Sania sekarang, di cafe paling atas gedung tempat dia menginap. Sania menyesap kopi yang dia pesan, mencoba menghilangkan rasa gugup yang entah kenapa terus menyerang.
Sania menoleh merasa bangku di sebelahnya terisi oleh seseorang. Rio datang.
"Udah lama nunggu?." tanya Rio pelan.
Sania mengerjap sebentar menyadarkan dirinya sendiri, "Belum."
Hanya itu yang bisa Sania katakan, setelahnya dia kembali melihat ke arah depan, tidak berani menatap Rio. Sania terlalu takut.
"Gimana kabarmu San?" tanya Rio pelan.
Pertanyaan Rio terasa sangat asing di telinga Sania. Sania menghela nafas, "Biasa saja. Kau sendiri, baikkan?."
Rio mengangguk mengiyakan, "Aku tidak tahu kau pergi sejauh ini. Aku fikir kau masih di Jakarta."
Sania tersenyum tipis, "Bukankah Jakarta lebih tenang jika tidak ada aku di dalamnya?. Kehidupan kalian lebih damai bukan?."
"San..., bukan itu yang aku maksud." jawab Rio pelan.
Sania tidak menjawab apapun, keadaan hening, Rio menoleh melihat wajah Sania dari samping. Wanita itu nampak lebih dewasa dan terlihat makin kurus dari terakhir yang Rio lihat.
"Maaf." ucap Sania tiba-tiba.
"Untuk apa meminta maaf?." tanya Rio bingung karena Sania tiba-tiba meminta maaf.
"Menemuiku di sini membuatmu susah. Membuatmu harus membohongi Clara, lagi." jawab Sania berusaha tenang.
"Aku tidak menyesal, justru aku senang bisa melihatmu, aku jadi tahu kau baik-baik saja."
"Apa aku terlihat baik-baik saja?" tanya Sania sambil menatap mata Rio dalam.
"Dari yang terlihat, harusnya iya?" jawab Rio tidak yakin.
Sania mengangguk, "Bagaimana kabar semua orang?"
"Baik, Clara dan keluargamu yang lain baik-baik saja. Kita habis liburan beberapa hari lalu di Bali."
Sania meremas gelas di tangannya tanpa sadar, kalimat Rio benar-benar menghancurkan hatinya, membuat Sania ingin menangis. Apa keluarganya benar-benar tidak menginginkannya lagi?, apa tidak ada terbesit di fikiran dan hati mereka tentang Sania?.
"Ah... seru sekali. Baguslah jika semua baik." Sania tidak tau harus merespon seperti apa.
Nada suara Sania yang sedikit bergetar sampai di telinga Rio, membuat pria itu sadar apa yang diucapkannya beberapa saat lalu seharusnya tidak dikatakan.
"Maaf aku tidak bermaksud."
Sania menggeleng, "Tidak apa. Mereka memang sudah menganggapku tidak ada. Itu lebih baik."
"Bagaimana kehidupanmu di sini?, apa yang kau lakukan selama ini?"
Rio berusaha mencari pembahasan lain, agar suasana tidak terlalu canggung dan membuat Sania sedih.
"Seperti biasa, aku bekerja sebagai penyanyi cafe untuk biaya makan, untuk tempat tinggal untungnya papa masih mengirimkan uang."
Rio menghela nafas, kehidupan Clara dan Sania berbeda. Rio semakin menyadari perlakuan keluarga terhadap keduanya juga tidak sama. Rio seharusnya orang yang paling tau tentang semua itu.
"Kau menetap di hotel ini?" tanya Rio lagi.
Sania menggeleng, "Aku hanya ke sini jika suntuk, paling hanya dua malam. Tapi aku masih tinggal di daerah Lombok, membeli sebuah rumah di sini."
Sebenarnya alasan Sania sering ke pantai itu bukan karena suntuk, melainkan jika dia sedang merasa tidak baik dan merindukan Rio.
Keduanya terdiam sebentar, Sania memutar tubuhnya ke sekitar, melihat tidak ada orang lain di cafe itu, dia baru menyadarinya.
"Kau menyewa tempat ini?" tanya Sania kembali menatap Rio.
"Iya. Aku hanya takut terjadi kesalahpahaman jika ada yang tidak sengaja melihatku ada di sini bersamamu."
Jawaban Rio lagi-lagi menyentil hati Sania, membuat Sania memejamkan matanya sebentar meredakan rasa sakit. Mengapa hidupnya sekarang
terlihat seperti begitu menjijikan."Harusnya kau tidak perlu melakukan ini, terlalu berlebihan. Bukankah aku masih adik dari istrimu?."
"Sania— aku tidak."
"Aku mengerti, lebih baik sekarang aku kembali."
Rio mencekal tangan Sania yang sudah henda meninggalkan bangku tempat ia duduk. Menahan wanita itu agar tetap di sana.
"Aku mengosongkan tempat ini, mengundangmu kemari karena aku tau kau tidak sedang baik-baik saja San. Aku hanya ingin kau membagi bebanmu, aku hanya ingin tau perasaanmu sekarang."
Sania kembali duduk, melepaskan pelan cekalan Rio, menatap ke manik mata pria itu lama. Semakin Sania melihatnya, semakin Sania sadar Rio didepannya sudah berbeda, dia tidak merasakannya lagi.
"Tidak perlu menatap kasihan kepadaku Rio. Aku tau aku memang menyedihkan."
"Kau tau?, sampai sekarang aku tidak bisa manerima apa yang sudah terjadi. Aku masih tidak tahu bagaimana menghadapi semuanya, aku hanya berusaha bertahan dan mengikuti jalan hidupku. Semuanya kosong, tapi aku mencoba untuk tetap bertahan." lanjut Sania.
"Kau masih memikirkan aku? Kau masih memikirkan kita?"
Sania tersenyum, "Kau tau bagaimana kehidupanku sebelum ini, kau yang paling tau bagaimana perasaan aku, kau juga tau bagaimana aku hidup selalu mengalah untuk kaka aku Rio. Kau yang membuat aku merasa memiliki perlindungan, punya rumah untuk pulang, ksu yang selalu mengabulkan semua keinginan aku, yang aku gabisa dapet itu dari keluargaku. Tapi akhirnya aku juga harus merelakanmu untuk Clara, dan di posisi pada saat itu, kau juga lebih milih Clara daripada memperjuangin aku. Menurutmu aku harus gimana?. Kau ingin aku menjelaskan perasaan yang seperti apa?"
Rio tertegun mendengar penjelasan sepanjang itu dari Sania. Sania benar, secara tidak sadar Rio sudah menarik satu cahaya kehidupan Sania, Rio sudah mengecewakan Sania sejauh itu karena keegoisannya sendiri yang lebih memilih karir pilotnya.
"Aku tidak tau harus berbuat apa San, selain meminta maaf. Aku menyesal."
Sania menatap Rio sebentar, "Rio, boleh aku memelukmu."
Tidak menjawab, Rio berdiri dari kursi, memajukan tubuhnya dan mendekap Sania erat. Menghirup aroma rambut wanita itu dalam, wanginya masih sama seperti Sanianya dulu.
"Tidak ada yang perlu minta maaf atau dimaafkan, cukup melanjutkan hidupmu dengan baik bersama Clara. Mungkin ini pelukan dan pertemuan terakhir kita, aku berharap kau bahagia selalu Rio."
Kalimat itu di ucapkan Sania pelan, yang entah kenapa semakin membuat Rio memeluk wanita itu dalam, sedikit kalimat yang sama sekali tidak menenangkan di pertemua mereka kali ini.
"Berjanjilah untuk terus bertahan Sania, berjanjilah untuk terus hidup dengan bahagia."
•••
HALLO SEMUAA!!!
Terimakasih ya yang masih mau nungguin cerita ini ehe, maaf kalo updatenya super lama banget, dan maaf kalo part ini kerasanya ganyambung😭
Aku bakal namatin cerita ini beberapa part lagi, setelah itu pengen aku revisi dari bab satu buat memperbaiki tulisan aku, karena dulu ini cerita pertama aku di wattpad, ternyata pas aku baca ulang masih banyak kekurangan🥲
Cerita ini bakal tamat mungkin dengan ending yang ga sesuai ekspektasi kalian, apalagi untuk tim RioClara🥲😂😂, karena aku kepikiran buat lanjut bikin cerita dari sudut pandanganya Sania dan Rio itu gimana🫠
Tapi nanti aja aku kasih spill dikit dikit ea kalo jadi, ini update dulu segini, dadah ges semoga suka🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
ClaRio
RomanceRio Alterio. Pria itu ternyata banyak memiliki sisi tersendiri dalam hidupnya. Entah gelap atau terang. Semua terasa begitu gelap di mata sang istri. Clara. Clara berusaha percaya. Lalu di hancurkan. Percaya lagi lalu dikhianatai. Apa memang roda ke...