Ray menghembuskan asap roko dengan kuat, menekan semua rasa bersalahnya terhadap Catrine, Istrinya. Ia menatap ke arah seberang bangkunya dengan tatapan nyalang. Sania di sana, dengan wajah membiru dan muka penuh dengan air mata.
"Kenapa dengan wajahmu?" Ray bertanya setelah beberapa saat mereka hanya saling mengedarkan pandangan tanpa minat.
Tadinya Rey hanya ingin menenangkan diri setelah ucapan istrinya yang menyentil perasaan Ray. Tapi, ketika menginjakkan kaki di Cafe seberang kantornya, ia melihat Sania di bangku paling ujung Cafe. Menatap ke arah jendela dan betapa terkejut ya Ray melihat pipi wanita itu membiru. Ray tidak banyak tau tentang mantan kekasih adiknya ini. Hanya tahu sebatas ia adik Clara.
Sania meringis saat menghapus jejak air mata di pipinya, ia menjawab pertanyaan Ray, "Tidak apa ka, hanya terbentur."
Ray mengangkat tangannya memanggil pelayan Cafe di sana, "Aku bisa minta sedikit air es dengan kain?". Pelayan itu tersenyum menganggukan, lalu kembali dengan wadah air es dan handuk kecil. Ray menggeser bangkunya menjadi bersrbelahan dengan Sania. Mengambil handuk, merendamkannya di wadah air es. Lalu mengangkat dan memerasnya. Ray menengok dan menempelkan handuk tai dengan pelan. Membuat Sania meringis.
"Biar aku saja ka, tidak enak kalau ada yang melihat." Sania mengedarkan pandangannya, takut takut ada yang mengenali mereka dan mengira mereka kembali berselingkuh. Sania sudah lelah.
"Tidak akan ada yang mengira seperti itu, toh aku hanya membantu mu" ucap Ray dengan santai.
Sania melihat ke arah Ray dengan tersenyum tanda terimakasih, seandainya pria di sampingnya ini lajang mungkin Sania akan berpikir untuk menjadi kekasihnya. Sapa yang tidak menginginkan keturunan Alterio yang tidak perlu diragukan ketampanannya. Sania mengerjap menyudahi angan angannya yang terlalu jauh. Sadarlah san...
"Terimakasih, kenapa kaka tidak bekerja? Bukankah ini bukan jam istirahat?."
"Ada sedikit masalah di kantor, aku menenangkan diri sebentar ke sini." Ray tidak berbohong, memang ada sedikit masalah dengan istrinya bukan?.
Sania hanya menangguk paham, melanjutkan mengompres pipinya yang sudah terasa tida semenyakitkan tadi. Tamparan itu ia dapatkan dari ibunya, Rani. Beberapa jam yang lalu, ia kembali ke rumah. Ia hanya rindu rumahnya dan bermaksud memulai kembali hidupnya disana. Tetapi ia mendapati mamanya yang malah semakin membenci ya, padahal Sania sudah bersikeras untuk tidak mengganggu keluarga kakanya lagi. Sania diusir dan mamanya hanya mengatakan...
"mama tidak akan membiarkan u pulang sebelum kau lepas dari bayang bayang Rio dengen membawa laki laki yang berlabel suamimu."
Sania hanya menganggukan kepalanya patuh, tidak ada yang ingin menerimanya, tidak juga dengan memberinya ruang untuk bercerita. Termasuk mamanya sendiri pun demikian.
Ray melirik ke arah samping Sania, terdapat koper di samping tubuh wanita itu," Kau ingin kemana?". Sania mendongak mendengar pertanyaan itu.
"Pergi.. Mungkin?" Nada tak yakin Ray membuat ia mengrinyit. Ray tak pernah se kepo itu dengan urusan orang lain, tetapi dengan wanita ini. Ia menjadi sedikit penasaran.
"Mungkin?."
"Iya ka.. Pergi, mungkin dari kota ini.. Karena----" belum selesai ucapan Sania, terdengar suara dari samping memanggil gadis itu. Sania menoleh mendapati kakanya dan wanita lain yang Sania tidak tau itu siapa, karena baru pertama Sania melihatnya.
"Ka Cha? Aku----"
Sania kembali terkejut dengan wanita di samping Clara yang tiba tiba mrnampar Ray begitu keras, membuat Sania memejamkan matanya.
"Kau berbicara cerai karena wanita ini Ray? Karena dia? Benar Ray Alterio?"
Sania mendesak kembali, kesalahpahaman apalagi sekarang? Sania paham. Wanita itu Catrine, istri Ray. Dan sekarang ia seperti kepergok sedang berselingkuh dengan Ray?. Sania sudah menduga, posisi ini tak menguntungkan keduanya.
"Maaf mba tapi aku--" Sania berusaha menjelaskan agar tak terjadi permasalahan semakin pelik tetapi Catrine sudah pergi menjauh dengan air mata disusul Ray yang menyusul istrinya. Sania hanya berharap semoga Ray bisa menjelaskan kepada istrinya.
Sania menatap nanar pantulan wajahnya di handphone nya yang mati. Menelisik wajahnya seksama. Apa ia terlihat seperti wanita jalan sekarang?.
Sania terlonjak akibat sentuhan di bahu ya, bangku yang tadi di duduk Ray kini terisi oleh Clara, "Kamu berusaha merebut Ray?"
Sania mengigil mendengar pertanyaan keji dari mulut kakanya sendiri. Begitu kah semua orang menilai dirinya? Terlalu sampah. Bahkan kakanya ini tidak menanyakan kenapa dengan mukanya, kenapa ia membawa koper.
"Aku menjelaskan pun, penilaian kalian terhdapaku tetap sama ka. Tidak ada bedanya."
"Bukan begitu maksud kaka Sania.. Tapi jika benar, tidak harus begitu. Kamu cantik, masih banyak pria lajang di luar sana yang menginginkan istri sepertmu." Clara berucap lirih agar tidak terlalu menyakiti hati adiknya.
"Kami tidak sengaja bertemu, dia hanya membantu ku mengompres lebam ini." Sania menunjuk ke arah pipinya agar dilihat Clara. Clara terkejut dan bertanya,
"Kenapa dengan pipimu, astagaaa"
Clara ingin memegang lebam di pipi Sania, tapi Sania menepis ya dengan lembut, "Aku tidak apa apaa. Tenang saja."
"Lalu, kenapa kau membawa koper?."
"Mama mengusirku yang ingin pulang." Sania berucap to the point. Tidak ada gunanya juga di harus berbohong. Mending jujur sekalian. Toh memang benar ia di urisr dari rumahnya.
"Sania... Kaka gangerti dengan semua ini? Diusir? Karena apa?"..
"Mama takut aku merusak rumah tangga kalian kembali."
"Lalu kamu ingin kemana?" Clara gusar dengan adiknya ini. Merasa iba.
"Tidak tau, mungkin mati."
Sania mengeluarkan uang pecahan paling besar lalu mengambil kopernya dan berlalu dari sana. Meninggalkan kak ya yang masih terlihat syok. Clara tidak berusaha mengajar, hanya berdiam diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ClaRio
RomanceRio Alterio. Pria itu ternyata banyak memiliki sisi tersendiri dalam hidupnya. Entah gelap atau terang. Semua terasa begitu gelap di mata sang istri. Clara. Clara berusaha percaya. Lalu di hancurkan. Percaya lagi lalu dikhianatai. Apa memang roda ke...