22

46 11 12
                                    

"Siapa orang yang Anda rindukan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Siapa orang yang Anda rindukan?"

"Teman-teman yang mendahuluiku lulus, tentunya," jawab Yuju riang, nyaris seketika. "Dengan bertemu mereka, aku yakin semangatku untuk lulus ke taman Nirwana akan pulih. Aku juga ingin berbagi banyak cerita setelah sekian lama kami berpisah."

Pakaian Yuju terkibas lembut ketika ia berbalik. Di depannya, satu demi satu kuntum magnolia merekah, menunjukkan jalan. Seokmin yakin Yuju telah memejamkan mata, tetapi perempuan itu seolah punya mata lain di belakang kepalanya.

"Jangan murung. Durumi-daegyo pasti akan membawamu kepada orang yang kaurindukan! Pokoknya ikuti saja caraku!"

Namun, hingga sosok Yuju menjelma titik kecil nun jauh di penglihatannya, Seokmin bergeming.

Padahal orang yang paling kurindukan baru saja menjauh.

Seokmin mendesah pelan dan mundur, lalu menghadap lajur-lajur jembatan bangau yang silang sengkarut. Untuk sejenak, ia harus melupakan Yuju dan Hyejin karena jembatan itu sepertinya tidak akan membawanya pada mereka. Masalahnya, siapa lagi kalau bukan mereka berdua yang Seokmin rindukan?

Halmang berbaik hati menuntun melalui suaranya yang tanpa rupa.

"Lee Seokmin, tsebelum membangun keluarga baru, kau merupakan bagian dari sebuah keluarga juga."

Seokmin mengerjap, sejenak kemudian matanya berbinar kekanakan. Ia kini tampak menyerupai putrinya.

Ibu!

Dengan bayangan wanita yang melahirkannya dalam benak, Seokmin memejamkan mata. Ia mencoba mengingat lagi, masa-masa paling menyenangkan bersama perempuan itu. Ia pernah berhasil menyamai langkah ibunya saat hendak berdagang di pasar. Ia dengan senang hati memijat punggung sang ibu sepanjang malam saat ibunya meminta. Ia juga tak akan melupakan bagaimana wanita itu memberikan restunya untuk Yuna—meski restu itu hanya berupa kata 'terserah'.

Namun, satu demi satu kenangan tersebut mulai terasa janggal. Kening Seokmin sampai mengerut dibuatnya, mencoba menata pikiran supaya dapat mereka ulang dengan benar kenangan-kenangannya bersama sang ibu. Pada penghujung upayanya, Seokmin membuka mata. Tak satu pun lajur durumi-daegyo memekarkan magnolia di atasnya.

"Aku," gumam Seokmin gemetar, "tidak ingat bagaimana wajah Ibu ...."

Harusnya itu mustahil. Seokmin amat menyayangi ibunya. Bahkan saat wanita itu meninggalkannya tanpa pamit, kerinduan Seokmin tak pernah menjadi dendam. Jadi, Seokmin memejam lagi, mencoba terus mencari potongan-potongan wajah ibunya, lalu menyatukannya. Apakah dia berdahi lebar atau sempit? Hidungnya pasti mancung karena Seokmin mewarisinya—atau benarkah demikian? Bagaimana pula bentuk bibirnya?

Setelah empat kali mencoba, Seokmin yang berkeringat dingin membuka mata dan jatuh terduduk. Masih tak ada lajur jembatan yang dimerahkan magnolia. Masih tak terbentuk pula wajah sang ibu dalam memorinya.

Mago's Last Apprentice ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang