41

36 7 5
                                    

Hingga peranti makan dibersihkan, anak-anak yang tertidur digendong pulang, dan Hyejin serta Geon undur diri ke kamar mereka sendiri, Yuna tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hingga peranti makan dibersihkan, anak-anak yang tertidur digendong pulang, dan Hyejin serta Geon undur diri ke kamar mereka sendiri, Yuna tidak menunjukkan tanda-tanda kehadiran. Seokmin diam-diam mendesah kecewa, tetapi sebelum tidur malam ini, Hyejin memeluknya.

"Aku akan menyampaikan salam dari Ayah kalau bertemu Ibu lagi malam ini. Jangan bersedih, aku sangat menyayangi Ayah."

Kalau bukan karena janji Hyejin ini, Seokmin mungkin akan berguling resah sepanjang malam dalam kamarnya yang hening nan gelap, tersiksa rindu dan kesepian mendadak setelah semalaman dikelilingi keluarga besarnya. Sejak Yuna tiada dan putrinya beranjak remaja, kamar itu hanya ia sendiri yang menempati, betapapun keluarganya telah bertumbuh. Kembali ke sana saat akan tidur mengingatkan Seokmin akan betapa 'sendirinya' ia, tetapi hari ini, kehampaan itu menenangkan.

Seokmin menggelar alas tidur dan meletakkan dua bantal. Di atas bantal yang tak ia gunakan, ia meletakkan sekuntum bunga cempaka yang diambilnya diam-diam dari sekeliling nisan istrinya.

"Hari ini pun adalah hari yang indah. Selamat malam, Yuna."

Tak butuh waktu lama bagi Seokmin untuk terlelap. Dalam beberapa tarikan napas, kesadaran Seokmin mengabur dan tubuhnya me ringan. Sakit dan pegal yang saat bangun mengusiknya rontok begitu saja. Udara musim panas yang biasanya gerah berubah sejuk, memanjakan. Ini mungkin salah satu dari tidur terbaik Seokmin—yang jarang terjadi; setelah lewat usia lima puluh, tidurnya terputus-putus sehingga sering terbangun malam hari, kadang diikuti kesulitan tidur kembali.

Dalam tidurnya yang nyenyak, Seokmin bermimpi.

"Ayahanda."

Hyejin dan Geon selama ini memanggilnya 'Ayah', bukan 'Ayahanda' seperti suara asing ini. Seokmin tidak merasa bangun, tidak pula merasa membuka pintu kamarnya, tetapi ia bisa melihat kamarnya terbuka, menampakkan lorong pendek di luar. Ada setitik cahaya di penghujung lorong yang menarik Seokmin. Sampai saat itu pun, ia tidak merasa bergerak walau jaraknya kepada cahaya tadi terus terpangkas.

Pintu depan rumah terbuka. Seokmin berhenti di sana. Samar-samar, ia melihat dua sosok di muka pagarnya yang tak lagi tertutup. Pandangan Seokmin timbul-tenggelam dan berbayang sehingga sulit baginya mengenali siapa mereka. Seharusnya, Seokmin gelisah; bagaimanapun, dua sosok asing berada di depan pagarnya—yang tak tertutup!—pada waktu bertamu yang tak lazim. Alih-alih, ia merasa tenang, terlebih ketika mendengar sayup-sayup sosok di pagar memanggil.

"Ayahanda, ini saya."

'Saya' siapa? Seokmin melangkah ragu-ragu, keluar dari bawah bayang-bayang atapnya menuju si pemanggil. Baru selangkah, ia terkejut; langit di atas kepalanya seolah berpilin, mengerut dalam satu garis yang berujung pada dua sosok tadi. Bintang-bintang yang bertaburan berkumpul menjadi satu jembatan putih terang.

Jembatan yang Seokmin kira terbuat dari bintang-bintang, ternyata dibangun oleh ratusan bangau mahkota merah. Sementara, dua tamu di pagar Seokmin adalah seekor bangau mahkota merah dan seorang pemuda berbadan ramping yang mengenakan jubah biru gelap-emas, seperti milik raja-raja.

Mago's Last Apprentice ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang