40

39 7 3
                                    

"Kalau kita rindu Ibu, kita tinggal berdoa pada bintang saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau kita rindu Ibu, kita tinggal berdoa pada bintang saja."

Seokmin menoleh ke belakang, mencari tahu siapa pemeluknya. Ia langsung bersitatap dengan sang putri yang tersenyum lebar, senyum yang memperdalam kerut-kerut baru di wajah itu. Hyejin menua dengan lambat; pada usia kepala lima, rambutnya masih hitam dan kulitnya bebas bercak kehitaman. Itu bisa jadi karena ia rajin merawat diri dan jarang terpapar sinar matahari, mengingat dirinya lebih sering bekerja dalam ruangan sebagai dukun bersalin. Bisa jadi juga, kecantikan awet muda Hyejin adalah bukti sisa-sisa kekuatan penyembuh Gunung Jiri dalam dirinya, yang sampai sekarang tak bisa diingat nama maupun rupanya.

"Hyejin," Seokmin tersenyum tipis, air matanya masih jatuh, "maaf. Aku telah mengatakan hal yang tidak perlu."

"Apanya? Merindu itu perlu, Ayah. Kalau mencintai seseorang, merindu adalah sebuah kewajiban, maka kita harus segera mengingatkan diri untuk merindu bila kita melupakannya." Hyejin bangkit, menepuk-nepuk roknya sebelum mendekati Geon yang berjalan menujunya. Pasangan itu berpelukan di depan Seokmin—dan Hyejin, seperti biasa, mencium pipi Geon tanpa malu-malu, membuat pria kurus itu terjajar mundur.

"Mengapa masih kaget?" tanya Hyejin, terhibur.

"Kau sudah lama tidak melakukan itu." Geon mengusap pipinya yang lembap.

"Oh, ini Chilseok. Orang berhak melakukan apa pun untuk melepaskan rindu mereka."

"Aku masih bersamamu sampai tadi pagi dan akan pulang senja nanti."

"Bukan alasan. Rindu tetap saja rindu."

Geon tidak membalas lagi, hanya membalikkan tubuh untuk lanjut bekerja. Hyejin tersenyum geli, tetapi sesaat kemudian memudar. Ia pun duduk di sebelah ayahnya. Dielus-elusnya punggung lelaki itu khawatir, menggantikan Geon.

"Ayah sesak? Setelah menangis, bahkan napas orang biasa pun menjadi berat."

Seokmin hampir menggeleng, tetapi urung karena dadanya masih sulit mengembang.

"Tidak terlalu. Mungkin rasa sesak ini hanya karena teringat ibumu, atau karena penyesalanku sendiri." Seokmin mengusap wajah kasar.

Hyejin mengeluarkan sebuah botol dari kulit labu. Ketika Seokmin terima, tangannya terasa berat.

"Ini teh daun baru cina. Minumlah pelan-pelan agar sesak Ayah mereda, lalu ceritakanlah padaku."

Daun baru cina beraroma sejuk. Meskipun kandungannya tidak terlalu berkhasiat meredakan sesak napas, rasa sejuk itu dapat menimbulkan efek menenangkan yang Seokmin butuhkan. Teh ini terbukti manjur. Mengalirlah cerita yang sebelumnya ia tuturkan pada Geon, hanya lebih singkat. Hyejin toh sudah paham betapa dalam rindunya, betapa siksaan yang diakibatkan rindu itu tak juga berkurang, dan betapa erat Seokmin menggenggam rindu itu meski genggamannya terluka.

Biasanya, Hyejin akan mengamini atau memberi saran-saran kecil untuk melipur rindu ayahnya. Kali ini, ia hanya bersandar ke bahu ringkih Seokmin dan memejam.

Mago's Last Apprentice ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang