06. Pak Guru Naja

71 6 0
                                    

Happy Reading

Kesempatan yang di beri Ayah beberapa hari lalu memang tidak terlalu buruk sebetulnya. Tetapi bagaimana melihat murid-murid yang berdiri di depan dengan berbagai raut wajah datar, kesal yang terpendam, dan menyesal itu membuat Naja jadi kesusahan sendiri.

Pasalnya, diri itu berbicara, bahwa kamu harus memegang ini semua.

Arahkan mereka, dan tata sebaik mungkin sebagaimana guru pada umumnya.

Naja sedikit tidak keberatan, namun lama kelamaan, Naja kurang suka keadaan kelas yang seperti ini.

Kemarin, selesai Naja berbicara mengatakan akan ada hukuman bagi siswa dan siswi yang tidak mengerjakan tugasnya, sebetulnya bukan sesuatu nyata yang akan di jalankan betulan, diberikan dengan rasa tega. Tetapi ketika melihat ada empat orang siswa dan siswi yang betul-betulan tidak membawa pekerjaan rumahnya, alias makalah yang sebelumnya di perintahkan, membuat Naja berdiri dengan beberapa kaki lagi di depan ini.

Naja menghela napasnya sebelum berbicara dengan mereka.

Naja kira, mereka memiliki perasaan segan terhadap ancaman kemarin.

"Saya sebetulnya nggak ada niatan buat bikin kalian berdiri dan tertunduk disini," semula Naja jalan perlahan di depan para siswa-siswi itu.

Berjejer cowok, cewek, cowok dan cewek lagi di jejeran terakhir.

Sebentar Naja melirik gadis yang memainkan bibirnya, kentara tengah menetralkan rasa khawatir nya itu. Dan disini, Naja bisa ingat dalam sedikit detik, bahwa yang paling pinggir dekat pintu kelas adalah siswi yang kemarin membicarakannya sebelum pulang.

Naja tidak tau siapa namanya.

Bukan masalah besar. Naja juga tidak begitu memendam kesal. Kini, hanya persoalan tentang kelas yang harus berjalan lancar setelah wejengan yang akan keluar.

Tangan Naja di lagak-an kebelakang, dua-duanya. Wajahnya santai, tidak terlalu menakutkan. Keempat murid itu pun cuma dapat merasakan situasi kurang enak hati. Bukan situasi mencekam layaknya mau di terkam.

"Saya nggak bakal nyuruh kalian berdiri disini sampai jam pelajaran selesai," Naja maju selangkah lagi, berdiam di depan murid ke tiga. Lalu katanya,"asal kalian jujur sama saya kenapa bisa nggak bawa makalah yang menjadi tugas kalian di rumah."

Ucapannya terjeda, sehabis menatap keseluruhan mata-mata itu.

"Saya bisa tau mana orang yang pintar bohong, dan mana orang yang pintar mau jujur. Jadi dari kamu, siapa namanya? Silahkan ceritakan kenapa bisa nggak bawa tugas?"

Si murid sedikit menelan ludah. Takut sekali. Takut ditusuk dan bisa mati kapan saja sekarang. Pasalnya, guru ganteng itu menatap dirinya-- siswa yang belum berkedip, dengan tatapan tajam.

"Saya... Saya kecapekan, Pak,"

Naja diam. Dia mengangguk. Kemudian melangkah maju lagi dalam hitungan satu.

Si murid bergumam. Guru itu nggak ngomong apa-apa?

"Saya lupa, siapa nama kamu?"

Oh, dia mundur lagi.

"Abim, Pak,"

Keheningan jadi dingin begini. Oemji, siswa itu sungguh mau berpura-pura pingsan sekarang juga.

Mula-mula tidak papa, hanya perasaan kurang enak hati, namun lama kelamaan, kenapa jadi semakin tegang? Kala Naja melangkah, kan, kakinya hingga pada siswa ketiga.

"Kamu, siapa namanya? Sebutkan alasannya."

"Farel, Pak. Saya lupa, Pak."

Sama saja. Ternyata tidak ada yang berbeda dari alasan murid yang kedua. Katanya sih dia bilang lupa, namun entah kenapa ucapan itu hampir tidak di terima oleh Naja, terlalu basi dan cuma akan memberanak kan kurang disiplin lagi bisa-bisa.

Untuk Adik kecil, dari Nana: Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang