03. Ruang makan, dan Kamu

121 15 0
                                    

Bertepatan jam setengah 8 malam, dia memiliki keputusan itu. Meskipun tadinya bingung, tapi menjauh dari segala ruang yang membuatnya tersudut adalah suatu baik. Sebelumnya, dia tidak pernah merasakan duduk di ruang makan, tapi malam ini, waktu membawanya duduk di ruang yang di isi suara tentang nasib malangnya.

------**------

Setiap kali anak itu bertanya, jawabannya selalu ada. Setiap kali anak itu berjalan, langkah membawanya untuk tetap terus maju tanpa berhenti. Dan kali ini, seisi ruang yang tidak pernah di duga, tidak pernah terpikirkan dalam bayang, menerimanya untuk diam dari sepi nya tadi. Ajie dulu selalu bertanya pada apapun yang ia lihat, apakah manusia bisa sekali saja mundur tanpa mengikuti alur kehidupan? Maksudnya, menentang. Dan hasilnya baik.

Bagi dunia anak kecil seperti Ajie tidak sepatutnya memikirkan hal-hal orang dewasa seperti keputusan asaan, urusan hidup yang tidak sejalan, dan tentang bagaimana hidup berjalan tidak sesuai dengan arahnya. Bagi dunia, anak kecil seperti Ajie hanya akan tau jajan dan makan.

Selebihnya anak kecil seperti Ajie hanya melanjutkan hidup, katanya.

Namun setiap tekuk mata Ajie yang yang tercipta akibat terik matahari pagi, dan itu menampakan siluet manusia besar-- Bapak meneriaki nya untuk bekerja, siapapun bisa mengubur pernyataan itu dalam-dalam untuk Ajie yang katanya hidup dengan taunya jajan dan makan.

Padahal jauh dari beberapa prasangka itu, Ajie benar-benar berjuang untuk hidupnya.

Untuk botol bekas seharga 2ribu per kilo

Untuk rumah kayu nya yang bisa roboh kapan saja

Untuk para gembel yang sudah Ajie anggap keluarga sendiri

Dan Ajie berjuang untuk hidupnya yang tidak diinginkan Bapak.

Sering kali keinginan nya tak sejalan, tidak sampai pada tujuan yang selalu di harap, Ajie justru masih mengikuti, Ajie tidak putar arah menjadi yang tidak-tidak karena satu keinginan nya lagi dan lagi selalu jauh dengan hasil tujuan.

Ajie tidak pernah kesal pada jalan hidupnya yang begini, Ajie terima, tapi Ajie suka tidak ikhlas kalau banyak manusia yang memandang keadaan Ajie buruk. Seperti, "ah Ajie, baru kayak gitu aja kamu udah nangis,"

"Ah Ajie, kamu mah cemen kalau di kasih Bapak pukulan selalu merasa tersakiti."

"Ajie-Ajie, kamu mah masih enak, lah kita," dan bla-bla banyakan manusia berbicara tentang keadaan nya.

Ajie masih kecil memang, tapi kalau boleh Ajie bicara, Ajie juga mau keluar dari segala yang membuat nya letih. Tapi entah kenapa Ajie, tidak pernah setuju untuk berlari meninggalkan. Apapun itu, sekali pun harus garis takdirnya yang buruk sampai selamanya, Ajie tetap mau menerima dengan hati yang baik. 

Contoh nya hasil kecil waktu lalu, Ajie hanya mendapatkan uang lima ribu rupiah dari hasil memulung nya, Ajie sempat berpikir keras saat itu ketika langkah kaki nya tetap nekat berjalan ke arah rumah nya. Ajie berpikir, harus bagaimana bilang Bapak kalau semua hasil pulungan nya di beli dengan harga kecil karena Ajie di pandang bocah. Ajie terus memutar otaknya, Ajie terus memasang hati tetap tenang, agar tidak takut oleh perlakuan Bapak nanti. Namun selalu setiap masanya, tangan Bapak tidak pernah lepas untuk memegang ikat pinggang.

Ah, padahal Ajie sudah membelikan satu nasi bungkus untuk Bapak. Seorang. Tidak apa-apa Ajie tidak makan, asal Bapak, bisa makan. Tidak apa-apa Ajie tidak minum, asal Bapak, minum. Ajie selalu begitu otaknya saat masih napas di rasakan. Pokonya Bapak lah. Bapak utama. Dirinya nanti.

Tanpa tau, manusia di luar ruang pikiran kamu Jie, tidak berpikir seperti itu. Jauh sekali. Seharusnya Bapak yang begitu, seharusnya Bapak yang keluar kerja banting tulang menyari sesuap nasi. Bukan kamu, anak kecil yang masih harus rajin sekolah.

Untuk Adik kecil, dari Nana: Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang