12. Berita Buruk

64 8 0
                                    

Sebelum gulir, atau geser halamannya, tolong vote ya?? Dan komen jika kalian merasa suka..

Happy Reading

Dunia paling jahat menurut orang-orang disini pasti adalah satu yang sama. Meski nyatanya satu itu mereka berbeda.

Coba ketahui ini, kala masing-masing terduduk lemas karena satu kata yang seperti keputusan mutlak, kita yang mendapat harus bagaimana? Menerima dengan tetap tinggal, atau jauhkan dan lupakan?

Naja lagi-lagi begitu menyesali dirinya yang masih tetap menjadi salah satu di antara mereka, dari begitu banyaknya manusia yang sering terduduk lemas. Katanya semua akan baik-baik saja, pintu keluar di sebelah sana juga terbuka lebar selalu, apabila ingin pergi untuk mengirimkan doa di tempatnya.

Namun, Tuhan, yang orang-orang disini mau bukan pintu keluar terbuka lebar, bukan masing-masing sama memperoleh nasib yang sendu, disini si salah seorang itu, Naja mau sembuh adalah pertemuannya. Bukan nyaris mati yang menjadi genggaman hati dirinya.

Beberapa jam lalu, di kabarkan Ayah Naja tidak bernapas. Tetapi sesaat untuk sebentar, akhirnya Ayah kembali bernapas meski sangat kecil.

Sesaat untuk sebentar, Naja tidak tahu sampai kapan napas itu bertahan.

"Ayah, bertahan tolong. Naja gak akan maafin diri sendiri kalau hal itu terjadi lagi." Lirihnya pelan.

Dia seorang diri disini. Waktu sudah semakin sore, detik terus berlajan, dan tentu adalah masa yang sangat menyakitkan.

Bibir sang utama tak berhenti bergerak, lidahnya tidak ada jeda mengucapkan banyak permohonan kepada sang Kuasa, untuk napas hidup agar di kembalikan di tengah-tengah krusial yang belum selesai.

Meski akan terus bertarung dengan penyakit, setidaknya Naja masih dapat menghiasi usaha Ayah supaya bebas dari pelik di dalam fisik.

"Di luar sana banyak yang sudah berubah, Yah, Ayah nggak mau lihat?"

Dia membuang napas kasar. Begitu terlihat jelas kalau disini Naja sangat sedih dirinya.

Berulang kali keluar masuk rumah sakit, berulang kali Naja sendiri, dan berulang kali juga Naja meminta Ayah untuk bertahan barang sekali lagi demi Naja yang tak punya teman dirumah.

"Besok Naja jadi dokter aja bisa nggak, ya? Naja gak mau jadi guru kalau Ayah belum memberi arahan lagi tentang profesi itu."

"Ayah, Naja disini dan tolong kembali..."

Ribuan masa yang belum datang hadir dengan warna abu di kepala. Ke khawatiran akan waktu yang seperti tega menyayat diri tak henti-henti berjalan memutari isi pikiran, dia, hampir hilang kekuatan untuk masa yang sungguh jahat seperti enggan memberi celah.

Tanpa Ayah, masa-masa di waktu nanti sudah tergambar, padahal hati menolak kuat bayangannya.

"Dengan Naja, ya?"

Tiba-tiba suara lain memanggil diri kesedihannya, dan tidak menunda lagi, Naja langsung bangkit menghampiri seorang yang berpakain sesuai tugasnya.

Naja mengangguk kukuh. "Saya sendiri, saya anaknya pasien di dalam."

"Gimana Dok Ayah saya?"

"Beliau sudah baikan atau sudah sadar, Dok? Saya bisa masuk kedalam kan sekarang?"

Tuturan pertanyaan itu belum di jawab cepat oleh Dokter. Tak sekilat seperti ucapan barusan, isi kepala Naja seolah buruk menjadi tema nya sekarang.

Naja berusaha menjaukan pikiran tak baik itu, ia kuatkan hatinya untuk yakin meski mata yang ia miliki ingin mengalir air yang begitu deras. Kakinya lemas, jantungnya berpacu lebih cepat.

Untuk Adik kecil, dari Nana: Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang