17. Untuk Tetap Disisi, Kita Perlu Hati Hati

104 9 1
                                    


Happy Reading

Di balik dinding sana, antara datang dan pergi, di pertengahan ruang rumah itu serta halaman ini, ketiga manusia dalam satu massa sekarang seperti sudah sepatutnya bertemu untuk menggelar kejadian panjang. Entah apa isinya, tapi mari lihat, seorang bertubuh bongsor dan dengan tinggi badan yang tak dapat di lampaui, menjadikan pandangan Ajie kian detik makin menyorot ke arah wajah diatasnya. Terus melayangkan tanya tanpa kata, lewat mimik muka sedihnya dari dalam rumah barusan.

Sekarang Ajie di halaman, ia berhasil melangkahkan kakinya keluar dari rumah, di tuntun hatinya yang seolah tak usai merasakan pedih, serta tak lepas juga pria tampan di dalam masih berhasil menangkap Ajie dengan pandangannya. Seraya, masih bersama hati yang membiarkan anak kecil itu terserah ingin lari kemana.

Terdengar, apa itu maksudnya?

"Ada... Naja?" Awal kata yang keluar dari pria itu bernadakan sedikit panjang, sampai akhirnya satu kedipan keluar dari Ajie, sosok laki-laki tersebut membuka pertanyaan nya.

"Siapa?" Kali ini bocah itu yang bertanya.

"Naja? Kamu anak kecil yang tinggal sama Naja, kan?"

"Sekarang Naja ada di dalam?" Tanya nya masih penasaran. Padahal sebetulnya jika pria tersebut tidak terlalu fokus pada satu subjek di hadapannya, dan lebih sedikit mengidik ke arah rumah yang pintu nya terbuka, pria ini bisa menemui sosok Naja yang ia cari.

Karena di balik dinding- hanya terbatas tembok halaman depan, Naja disana tengah berdiri tegak. Bersama muka datarnya memperhatikan dua manusia yang baru di pertemukan oleh Tuhan.

Naja memang memiliki kesan semacam hantu sekarang.

"Om nya siapa?"

........

Tatapan diam tanpa selang detik untuk berkedip, membuktikan betapa tercengang nya pria ini kala dirinya di panggil dengan sebutan Om.

Se tua itu?

"Bang Nana cerita apa ke Om? Kok Om tau aku anak kecil yang tinggal sama Bang Nana?"

Belum menjawab. Seperti yang sudah-sudah, manusia yang bertemu Ajie dan manusia yang menerima fakta bahwa Ajie tinggal bersama Naja, orang-orang itu pasti akan diam, tak berkedip, ingin nganga tapi nggak bisa.

"Bang Nana udah cerita ya aku anak gembel pinggir jalan yang di pungut sama dia? Yakan?"

"Udahlah Om, emang kayanya aku ini bikin Bang Nana malu, buktinya Om malah kesini cuma buat liat aku yang gembel, kan?"

"Udahlah aku ma-"

"Stop!"

"Saya nggak suka kamu bicara tidak pantas seperti itu ya, Ajie!"

"Masuk kedalam sekarang! Saya mau bicara sama kamu!"

Dan pada akhirnya, si pria tampan yang di dalam tadi, keluar dengan seruan tajam sampai sukses menyayat hati Ajie disini. Kakinya gagal melangkah lebih jauh lagi, ucapannya yang bahkan memang tidak di mengerti oleh seseorang yang masih diam menyaksikan itu, juga jadi terputus akibat ulahnya sendiri juga.

Sebab apa, sebab Ajie mengaung bukan pada langitnya.

Tidak di mengerti, bukan hal yang sepantasnya benar.

Ajie masih diam, hatinya disitu jujur sangat sakit, matanya berair kembali, pikirannya kacau betul-betul ingin kabur hari ini.

"Bang Nana orang jahat!! Bang Nana cuma orang yang bikin aku tambah sedih karena ditinggal Bapak!!"

"Aku nggak suka Bang Nana!!!" Bahasanya, tutur kata cara bicaranya, nada dan perawakan dirinya pada Naja disitu, sungguh benar-benar asal muasal dari anak kecil.

Untuk Adik kecil, dari Nana: Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang