20. Wajah Malam Mereka

63 4 0
                                    

Happy Reading

Naja dan Arin kini seolah saling membantu untuk mencapai langkah yang harus di injak pada pukul sepuluh lewat tiga puluh, keduanya sempat saling tatap jenaka kala si yang lebih tua menutup posisi diri mereka di antara kemacetan Jakarta malam.

Sambil jalan dengan perasaan hati yang berusaha untuk membangun sebuah situasi menyenangkan walaupun sama-sama lelah bukan kepalang, ternyata si salah satu bersama tatapannya tak henti-hentinya memandang lekat dengan tipis hampir tidak kentara, untuk meraih keberhasilan misi kali ini.

Setelah uang yang sudah cukup untuk malam ini, giliran nyata yang tak pernah diduga, misi selanjutnya adalah membuat cengkerama sederhana baik senada atau tidak.

Itu dari Arin untuk Naja.

"Pegal, ya?"

Tuhan mendengar doa kecil Arin ternyata

"Hm? Enggak, Kak, santai aja." Arin terkekeh garing setelah kepala itu mendapatkan nyeri yang seolah menggumpal, mendekam di satu titik. Kebas yang samar-samar muncul di sekitar mereka serta gemerisik daun akibat cuaca malam ini pun, ikut tak mau kalah untuk menjadi tamu tidak diundang seorang gadis malang.

"Memangnya kamu berharap apa, Rin?" Pertanyaan ringan yang tiada niatan untuk membuat gadis itu tersenggol perih.

Untuk mendapatkan jawaban tepat, Arin harus menatap wajah pria itu dulu, maka dengan kesadaran penuh lagi dan lagi, Arin terus memandang Naja yang begitu cerah wajahnya jika dilihat bersama susah payah Arin mendongak kesana.

"Nggak berharap si, Kak? Saya pikir atas kebiasaan manusia yang emang pergi harus dengan kendaraan?? Saya tanpa menduga apapun, mengira kalau Kak Naja ini bawa mobil." Setelah beberapa detik mengunci ekspresi wajah pria di sebelahnya.

"Saya pikir begitu juga karena biasanya Kak Naja selalu pakai mobil, kan?"

"Tapi kalau terdengar kurang nyaman saya minta maaf deh, Kak, saya terlalu kepedean buat naik mobil Kak Naja." Perkataan yang keluar sedikit acak-acakan di telinga Naja.

Naja mengkerut, kali ini dia menengok ke orang di sebelahnya yang jalan dengan baik? Bersamanya di perumahan mewah Jakarta.

"Saya juga kepedean, Rin, ngajak kamu pulang bareng," katanya yang entah kenapa memperlambat langkah Naja dan Arin.

"Kepedean darimana?"

"Dari saya,"

"Kalau ternyata kamu bukan ingin pulang? Saya jadi apa coba barusan kalau enggak malu ujung-ujungnya?" Naja terkekeh kecil

"Mana udah pegang-pegang tangan kamu."

"Tapi aneh tidak, sih? Feeling saya kamu ini memang mau pulang dan jalan nggak naik kendaraan apapun?"

Silau mata yang tersaluri dengan lembut disana seolah mengunci mereka secara perlahan, lambat-lambat angin yang menari lemah gemulai diantaranya mendukung Naja dan Arin memperoleh keindahan seksama.

Percakapan kecil yang di jaga dengan hati-hati, pun, membawa keduanya untuk berpikir jauh lebih dalam. Meski memang hanya sekadar keadaan manusia yang jalan kaki dengan seragam dekil dan pria putih bersih menenteng kresek hitam.

Untuk Adik kecil, dari Nana: Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang