21. Tulisan Panjang untuknya

54 3 0
                                    

Happy Reading

Terkadang ada kalanya tangan yang mengayun tenang itu terlihat tajam menghujam kepalanya. Membuat rasa mengatakan ada yang menyisir rambutnya dengan kejam dan jahanam. Hingga ke ujung kaki sampai ujung ibu jari kakinya, persis tidak ada yang hilang untuk menyatakan bahwasannya masih banyak kesialan di diri itu.

Bahkan kita bisa tertawa sekarang ketika melihat manusia yang gencar berlari, tapi nyatanya munafik ingin menangis dan membenci 😂

Kami bingung menyumpa-serapahi hidup itu, hidup yang ini, dan yang disana, karena semenjak dirinya terbengkalai bak mayat yang tak punya harga, sudah memberi dorongan jelas untuk tidak lagi hidup sebagai Abdul dan Ajie, dalam Jakarta serta tempat kolong jembatan? Rumah? Gubuk nya di sebrang yang entah ada dimana.

Kepala itu yang sekarang perlu di tempeleng juga masih melongok tanpa sembunyi di antara kepala orang dewasa yang tengah berjalan.

"Harus cari kemana lagi nih.."

"Duh.. aku udah jalan jauh banget," katanya dengan suara kecil itu.

Sore hari sedang penuh-penuhnya, dengan keputusan yang tumbuh dalam otak korban yang dibuang di jalanan, si pemilik terus mengendap bersama kapasitas lumayan mengikuti trotoar yang sama.

Persis trotoar malam itu. Mulai dari situ.

"Ini arahnya kemana deh? Perasaan aku inget aku diem disini juga waktu itu?" Monolog bodoh yang terus saja terbang menambah teman sore harinya mencari si tua.

Hampir dua jam Ajie meninggalkan jalan pulangnya untuk berkali-kali mengusahakan pertemuan penuh harga mahal itu di tempat lalu lalang disini. Mengharapkan ada yang menggoroinya untuk balik kanan, lari kecil hingga akhirnya melakukan rengkuh di jalanan ini.

Namun peluh yang membasuh wajah kusamnya, dan menetes di sebelah matanya yang tampak sendu dan kelelahan disana membuat dirinya ingin jatuh tanpa harga saja. Ambruk seperti kala itu, meraung dan menendang krikil semacam tai abadi yang kekal ingin menganggu nya persis malam lalu.

Atau ternyata yang terlihat seperti kekal tidak pantas adalah dirinya sendiri, yang malah berdiri tegak dengan lagi kepalanya masih longak-longok dalam keramaian sore disana. Tepi jalan yang menjadi alasnya berdiri tanpa suara kini, tidak tiba-tiba roboh ternyata dijadikan sebagai latar Ajie menunggu manusia yang dirinya sendiri tidak tahu.

Tidak tahu apa ini apa dirinya sekarang mengapa dirinya terus gigih.

Ajie menghela napas. Keringatnya di elap kasar. Dasi sekolahnya ia longgarkan secara asal, hingga tasnya yang bocah itu gendong di letakkan begitu saja di sebelah kaki malasnya yang masih berdiri.

"Berat juga aku bawa-bawa tas," ucap anak kecil yang memang baru pulang sekolah.

"Tunggu disini aja kali ya siapa tau Bapak lewat."

Tidak ada keyakinan, selain tanpa sadar bocah itu bergedik bahu.

Tidak ada yang menasihatinya, tidak ada yang menepuk pundaknya atau sekadar menarik tangannya pelan untuk duduk dulu saja sebentar seraya menunggu. Disana, di tepi jalan ramai itu Ajie sendirian berdiri dengan tatap mata tajam menusuk siapa saja bapak-bapak yang lewat, atau terkadang tidak sengaja lewat dengan mobil pick-up persis dimalam itu.

"Banyak Bapak-Bapak tapi bukan Bapak."

"Aduhh.. rame banget lagi aku sampe nggak kelihatan begini.." suara susah payahnya memilah-milah penglihatan sempurna, diantara hiruk-pikuk yang ia lihat cukup bejubel pejalan kaki dan mobil beroda empat lewat terus menerus.

Ajie mau marah pada kendaraan yang terus melewatinya, tapi Ajie kenapa juga harus marah kalau ia sendiri sadar bahwa ini adalah jalan raya?

"Aku gaboleh sampai malam disini,"

Untuk Adik kecil, dari Nana: Na Jaemin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang