8

137 39 4
                                    

Sorry for typo(s)!

---

Tak lama kemudian, semua pembacaan puisi dan pertunjukan selesai.

Beberapa lilin dinyalakan oleh anggota klub buku. Ada perubahan suasana hati yang hampir seketika dari kesenangan menjadi semarak di aula. Dengan nyala api yang berkobar diiringi musik yang meriah, pesta berjalan lancar.

Ekspresi para siswa yang tadinya serius dan tenang saat menyaksikan pertunjukan digantikan oleh keceriaan saat mereka menggiring pasangannya ke lantai dansa.

Rosé Millard tidak terkecuali.

"Apa kau benar-benar tidak akan menari?" Rosé menoleh ke El, yang duduk di pojok meja, menyeruput sari apel. "Kenapa kau datang ke sini bersamaku jika kau tidak akan menari?"

"Hanya untuk menikmati sastra," jawab El dengan lembut, kontras dengan kemarahan Rosé.

"Kau memintaku untuk menjadi pasanganmu sejak awal."

"Dan kau berjanji, saat kau menerima undanganku, bahwa kau tidak akan memaksaku untuk menari."

Rosé menggerutu dalam diam atas bantahan El. Dia tidak benar-benar menyangka pria ini menolak untuk berdansa dengannya.

"Apa kau benar-benar akan menjadi seperti ini?" Rosé menatapnya tajam. Bisa dimengerti bahwa dia sangat marah. Dia berencana menggunakan El malam ini untuk tampil di koran gosip setidaknya sekali lagi.

Baginya, mendapatkan ketenaran dan perhatian dari orang-orang lebih penting dari apapun. Pangeran Berg, yang merupakan alat paling penting dalam rencana itu, tidak bergerak sesuai keinginannya, jadi dia sangat marah.

Beberapa siswa laki-laki yang mengintip melirik ke arah mereka saat suara Rosé naik. El menyadari mereka ingin mengajak Rosé berdansa.

"Meski bukan aku, sepertinya banyak pria yang ingin berdansa denganmu," kata El sambil mengintip ke arah pria-pria yang sedang berbicara di belakang Rosé. Rosé melihat sekilas dan menoleh padanya lagi. Sikap El tampak tegas, bertekad untuk tidak pernah menari.

Rosé menggigit bibirnya. "Kau," dia menghela napas dengan dingin. "Sebaliknya, pastikan untuk mengawalku saat kita meninggalkan aula sampai aku kembali ke asrama."

El mengangguk. "Tentu saja."

Rosé berbalik dan mendekati siswa laki-laki yang menatapnya. Seolah-olah mereka sudah merencanakannya, anak laki-laki itu bergegas menuju Rosé dan mengajaknya berdansa.

Rosé tampaknya sudah mengubah strateginya, dari menjadi satu-satunya siswi yang menari bersama Pangeran Berg menjadi gadis yang paling banyak menerima permintaan untuk menari. Dikelilingi oleh para siswa laki-laki, Rosé dengan cepat pergi ke tengah aula.

Akhirnya, sendirian, El melihat sekeliling aula, menarik dasinya dengan longgar di lehernya. Dia merasa lebih lelah dari sebelumnya setelah berjam-jam tanpa henti mengayunkan pedangnya atau melatih kekuatan fisiknya. Dia sangat ingin kembali ke kamarnya dan beristirahat. Saat itulah matanya menemukan Suzy.

Dia dikawal oleh Mark Connor ke lantai dansa. Suzy menggelengkan kepalanya karena malu, tapi Mark tidak mempedulikannya. Akhirnya, dia menyeretnya ke tengah lantai dansa. Suzy akhirnya mengalah dan mulai menari, mengikuti jejak Mark.

Postur canggung. Senyum kaku. Dua kaki tersandung, tanpa tujuan. Keterampilan menari Suzy Keenan berantakan. Sementara Mark Connor menari seolah-olah dia menyatu dengan musik, Suzy nyaris diseret olehnya. Dia seperti boneka, ditambatkan pada seutas tali.

El hanya bisa tertawa terbahak-bahak melihat tariannya yang mengerikan. Tidak pernah ada tontonan yang lebih menarik dari itu. Itu adalah adegan yang lebih tak terlupakan daripada pembacaan atau pertunjukan puisi lainnya.

Unrequited Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang