Aku terperangah. Sepanjang kami bersama, dia tidak pernah mengeluarkan ekspresi seperti itu. Bahkan ketika dia gagal sekali pun dalam karirnya, Rafael tetap bisa tersenyum. Aku benar-benar masih ingat dengan apa yang terjadi beberapa tahun lalu, tahun ketika kami akhirnya bersama.
Saat itu Rafael keluar dari atm di bank tempat di mana aku bekerja. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaan. Kebetulan hari itu tidak terlalu sibuk. Aku yang baru keluar dari kantor pun langsung mendekati Rafael yang tengah terlihat sibuk mengemasi kartunya ke dompet.
"Mas Rafael, kan?" tanyaku ragu.
Dia mengernyitkan dahi. Mungkin di otaknya sedang menyecan wajahku untuk bisa menemukan daftar nama yang telah ia hafal.
"Umm ... maaf, saya ndak bisa mengenali wajah Anda. Tapi sepertinya kita sudah pernah ketemu, ya?" tanyanya dengan suara merdu dan amat sopan.
Aku mengangguk. "Perkenalkan kembali nama saya Airin, saya anak seorang Bapak-Bapak yang menabrak mobil Anda."
Rafael tertawa kecil mendengarnya. Sumpah itu kali pertama aku melihat senyum indahnya. Jantungku nih ya, seperti mau copot. Jedag-jedug tak keruan, sepertinya dia ingin melihat gerangan lelaki mana yang pertama kalinya membuat dia bergetar seperti itu.
"Ndak usah dibahas. Namanya kecelakaan ndak ada yang tahu kapan. Oh ya? Mau narik uang juga?" tanyanya kemudian, masih diikuti dengan senyum indah dan lesung pipi. Ibarat kata nih, senyumnya kan sudah manis. Kini ditambah dengan toping lesung pipi, asli sih kalau makanan sudah buat aku kelaparan. Tapi ini manusia.
Aku yang sedari tadi melamun, memandangi betapa gantengnya Rafael, mendadak terbangun kala raut wajah Rafael berubah menjadi keheranan. "Oh nggak. Aku kerja di sini. Kalau Mas Rafael?"
"Biasa. Akhir bulan," kelakarnya lagi.
Dia tersenyum lagi. Dan untuk kesekian kalinya, aku terhipnotis kemballi. Ada ya orang yang senyum aja, kita suka liatnya. Aku pikir itu berlaku bagi seorang bayi saja, ternyata berlaku juga untuk seorang pria dewasa.
"Oh ya, ini kan akhir bulan. Kebetulan ini aku dapat intensive agak banyak bulan lalu. Mau makan, ndak? Hitung-hitung sebagai bentuk pengganti kerugian yang Mas Rafael tanggung." Pandanganku kulemparkan pada mobil Rafael yang masih penyok dan masih kuhafal plat nomornya.
Dia menggeleng. "Terima kasih."
"Eh maaf, kukira Mas Rafael masih ...," kataku terpotong. Lidahku tak sanggup untuk mengeluarkan kata jomblo. Pandanganku pun kini menunduk. Tak sanggup kulihat wajahnya ketika dia menjawab kalau sudah punya. Tapi kulihat-lihat jarinya masih bebas dari lingkaran kecil itu, sepertinya sih belum.
"Oh ndak. Saya masih single."
"Yes!" seruku.
Dan Rafael memiringkan dahinya, menatap heran. Aku serta-merta langsung menutup muka. Malu, gila!
Meski seperti itu, alam sepertinya tak mengizinkan kami berpisah. Ada guyuran hujan datang berbondong-bodong. Hujan angin lebih tepatnya. Aku yang tidak bawa payung terpaksa kembali lagi ke samping Rafael.
Aku masih mengunci mulut, malu untuk berkata lagi. Aku memang tak pernah pacaran selama ini, tapi tak pernah kusangka kalau bakal keceplosan kalau nemu orang yang pas.
"Ndak bawa payung?" tanyanya.
Aku menggeleng pelan.
"Mobil atau motornya di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tampan Kedua (TERBIT)
General FictionAirin Savika itu namaku. Namun baru tahun ini aku rasa namaku buat aku sial atau mungkin beruntung yang membawa sial. Aku tuh nggak tahu harus memilih siapa. Impian atau jodoh. Di umurku yang udah 29 ini, aku harus menikah, tapi di saat bersamaan R...