DUA KEHIDUPAN

99 16 0
                                    


            "Jadi ...." Mas Rafael mengulang perkataannya.

"Kita pergi ke sebuah tempat, yuk!" ajakku. Aku tak mungkin membicarakan ini di sini. Ibu pasti dengar. Walau kuyakin Bu Nisa sudah dapat merasakan ada yang tidak beres dengan hubungan kami, aku tak ingin membuatnya tambah sedih. Ini pembicaraan kami. Hanya kami berdua.

Rafael mengangguk. Dia pun mengangkat piringnya yang sudah kandas. Tak ada satu pun nasi maupun sayur yang tertinggal. Semuanya bersih telah dia habiskan. Aku tersenyum melihatnya. Akhlaknya memang benar-benar terpuji. Terlebih lagi dia juga memundurkan piring, mencuci lantas menaruhnya di rak piring basah. Mana lagi laki-laki yang bisa seperti Rafael? Kurasa tidak ada.

"Mau pakai mobil atau motor?" tanya Rafael sambil menunjuk kendarannya yang terparkir di garasi.

"Bagaimana kalau sepeda?" usulku sembari menunjuk sepedaku yang masih terpakir indah di halaman rumah Rafael.

Rafael menaikkan alisnya. Dia mengangguk-ngangguk dan tersenyum. Dia pun beralih ke belakang, mengambil sepeda. Tak lama, dia pun kembali dengan sepeda onthel tua yang sangat berdebu. Sepeda onthel tua dengan rangka segitiga. Jika orang tak biasa menaikinya biasanya dia akan jatuh karena kakinya menyangkut di besi yang menjulur dari sadel sampai ke stang.

"Kamu yakin masih bisa menaikinya?" tanyaku.

"Oh jangan salah sangka. Ini sepeda legend milik mendiang ayah. Aku pasti bisa menaikinya, lah!" ujar Rafael.

Aku terkekeh. "Ya sudah pompa dulu. Tapi aku nggak tanggung jawab kalau kamu jatuh, ya!" kataku.

"Iya-iya!" Rafael pun mengambil pompa dan memompa sepedanya.

Setelah siap, kami pun berangkat. Sudah kuduga kalau Rafael susah menaiki sepedanya. Selama aku bersama dia, tak sekali pun dia memakai sepeda. Dia yang dulu di-PHK harus mati-matian mendirikan usaha sendiri. Dan karena itulah dia tak pernah senggang di hari weekend. Tapi itulah yang aku suka darinya. Dulu kalau weekend aku pasti ke sini, memberinya camilan dan sekadar untuk bertegur sapa.

"Gimana, bisa nggak?" tanyaku.

Rasanya gemas sekali melihat dia berulang kali berhenti. Satu kayuhan, berhenti lagi, dua kayuhan, eh behenti lagi. Jika seperti ini terus, belum juga sampai ke tempat tujuan, udah keburu siang.

"Bisa-bisa!" jawab Rafael cepat. Dia memang selalu seperti itu, selalu ingin terlihat bisa padahal sudah berulang kali aku bilang kalau sesekali tidak apa menyerahkan semua urusan kepadaku.

Rafael mencoba untuk mengayuh kembali. Kali ini dia berusaha untuk mengayuh lebih dari dua kayuhan. Tangannya bergetar-getar sembari memegangi stang. Dan baru saja sampai halaman depan, dia terjatuh. Bukan jatuh biasa melainkan kakinya terjulur ke atas. Rafael sempurna jatuh terkangkang.

Aku tertawa terbahak-bahak. Ingin kumenolongnya tapi tenagaku malah habis untuk tertawa.

Rafael berdiri dengan susah payah. Aku mengulurkan tangan dan dia pun meraihnya. Wajah kami saling tatap. Dia tampak kesal namun aku malah semakin tertawa. Namun wajah kesalnya perlahan memudar. Dia turut tertawa seiring aku tertawa. Seperti halnya kutahu dia, Rafael akan selalu bahagia ketika aku bahagia.

"Jadi masih tetap mau pakai sepeda sendiri?" tanyaku sambil menyeka air mata di ujung mata. Puas banget aku tertawa hari ini.

"Aku aja nggak bisa naik sepeda sendiri. Masa mau mbonceng kamu," katanya.

Aku tersenyum. "Aku dong yang mbonceng!" kataku.

Rafael terbelalak. Dia langsung menggeleng. Wajahnya pun memerah.

"Mau jatuh berapa kali lagi sampai bisa tiba di sana?"

Rafael menghela napas. Dia melihat sepedanya yang masih terjungkir di jalan. Dia sepertinya sedang berpikir atau mungkin tengah menimbang-nimbang akan jadi seperti apa sepedanya jika dia memaksakan untuk menaikinya. Pada akhirnya Rafael pun mengangguk.

"Bagaimana di sana? Nyaman?" tanyaku setelah Rafael duduk di boncengan. Dia sudah menaruh sepedanya di garasi lagi dan kami pun berduaan dalam satu sepeda.

"Kenapa nggak pake motor atau mobil aja sih?" tanyanya.

"Mas Rafael yang terhormat, kalau naik kendaraan bermotor momennya akan hilang. Pasti belum ada lima menit udah sampe."

"Okay!" kata Rafael mengangguk-ngangguk.

Kami terdiam. Bibirku mekar sendiri. Rasanya aneh sekali membonceng seorang pria yang kucintai. Dan aku yakin Rafael juga tersenyum di belakang sana. Andai sepeda ini memiliki spion, aku pasti bisa melihat senyuman indahnya.

***

Mentari menyambut kami. Angin perkotaan yang sumpek, turun menerpa wajah kami. Hanya saja di tempat ini rasanya berbeda. Di tengah hiruk-pikuknya kota, di sini aku dapat menemukan sebuah ketenangan. Rafael masih berusaha menuruni talud, sedang aku sudah ada di atas, menunggunya untuk segera bisa duduk di sampingku.

Talud sebuah dinding yang terbuat dari beton dan berguna untuk menahan tepian sungai agar tidak ambruk. Ada sebagian kecil talud yang agak datar. Dan di sinilah dulu kami, aku dan Rafael menghabiskan waktu.

"Talud ini makin licin aja dari hari ke hari," komen Rafael yang akhirnya bisa duduk di sampingku.

Aku terkekeh. Kami tidak duduk di ujung talud, melainkan di tengah-tengahnya. Itu sebabnya tadi Rafael kesusahan untuk menuruninya. Dia pasti takut tergelincir lalu jatuh.

Rafael duduk. Dia memeluk lututnya. Bagian yang aku duduki kini sedikit landai. Ada sebuah tanah yang menjorok, tepat seperti sistem terasering di pegunungan. Namun hanya ada satu yang seperti ini, sisanya semua hanya talud dengan kemiringan hampir mencapai delapan puluh derajat.

Aku mengembuskan napas. Aku ragu-ragu untuk memulai percakapan. Kulirik Rafael, dirinya juga tak banyak bicara. Dari awal bersepeda sampai ke talud ini, dia tampak ceria, tapi setibanya kami di sini, ekspresinya berubah. Senyumnya berubah menjadi garis lurus dan matanya sekarang tampak lebih sayu daripada tadi pagi.

"Mas ...," panggilku lirih. Meski memang tidak enak untuk memulai percakapan ini, aku harus melakukannya.

Rafael menoleh. Mata cokelatnya membulat. Dahinya berkerut dan alisnya bertaut. Melihat ekspresinya yang seperti itu, membuatku menelan ludah. Hanya saja jika seperti ini terus, semuanya akan tersakiti. Aku, Mas Rafael, dan Bu Nisa.

Aku menghirup napas. Aku mencoba untuk tersenyum.

"Mas ... aku ... memutuskan untuk ...." Aku menggigit bibir. Kenapa susah sekali untuk mengungkapkannya? Di saat seperti ini, aku justru terbayang akan kehidupan yang manis di kedua keputusan yang ingin kubuat. Aku dapat membayangkan mempunyai anak dan menghabiskan sisa kehidupanku dengan Rafael. Namun di satu sisi, aku juga dapat membayangkan bagaimana enaknya hidup di luar negeri.

Ya Allah ... tolong bantu hamba! lirihku.


Maaf lama ndak update. Aduh makin ke sini, aku makin nggak tega mutusin takdir Rafael dan Airin. Mana Rahman juga terlihat hanya bisa jatuh cinta sama Airin lagi. Menurut kalian gimana? Oh ya, insya Allah Desember awal dah tamat. 

Si Tampan Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang