"Kamu lagi nggak enak badan, ya?" tanya Rafael.
Aku menggeleng lemas. Rasanya ada yang salah gitu. Tapi ini kasus kedua yang tak bisa kuungkapkan begitu saja kepada Rafael. Ya masa aku harus bilang kalau lagi tidak enak sama bos. Nanti dikira aku lagi PDKT sama dia lagi. Mana Pak Rahman pernah mengantarkanku ke rumah Rafael lagi.
"Gimana, enak? Kali ini nggak ada laosnya, loh!" tanyaku. Terakhir kali aku memasakkan sesuatu ke Rafael, dia memakan semuanya. Termasuk ketika aku jahil menyuapinya laos. Dan setelah itu, suaranya menjadi serak. Jadi kali ini aku tak akan menambahkan hal-hal aneh lagi. Apalagi daun serai. Takutnya dia makan juga tuh daun.
Rafael mengangguk. Kami sedang di rumah Bu Nisa. Ibunya Rafael itu sudah boleh pulang. Kendati kondisinya belum baik benar, Bu Nisa sudah diperbolehkan pulang. Karena aku calon menantu yang baik hati, tentu saja, aku membawakan makanan ke rumah ibu calon mertua. Ini bukan cari perhatian ya, kan aku memang sudah diperhatikan sama Rafael. Aw.
Tapi sayangnya, Rafael juga tengah masak. Karena aku hapal benar masakan Rafael lebih enak daripada masakanku, aku pun memaksanya untuk tetap masak. Nantinya aku akan makan masakan Rafael, dan Rafael akan makan masakanku. Kalau Bu Nisa, tentu akan mencicipi masakan kami berdua.
Rafael masih asyik mengunyah kentang goreng yang aku bawakan. Tangannya dengan terampil mengoseng-oseng bumbu yang sudah aku belender tadi. Tapi ngomong-ngomong seperti ini, Pak Rahman siapa yang memasak untuknya ya?
Aku menggeleng. Bos seperti dirinya pasti ada lah yang ngurus dia. Masa iya, dia sendirian di rumah.
"Rin ...."
Iya. Tidak mungkin Si Pinguin kelaparan. Pangkatnya aja gede. Relasinya juga pastinya.
"Rin ...."
Tapi kalau tidak?
"Airin!"
Panggilan Rafael seketika membuatku tersadar dari lamunan. "Eh, ya?"
"Kamu lagi mikirin apa sampai segitunya? Cuci tangan jangan lama-lama, ya Airin, perempuan cantik dan pintar."
Aku tertawa kecil. "Apaan, sih!"
Rafael mengambil air dalam gelas takar lantas menuangkannya ke dalam saus padang yang tengah diolahnya. Serta merta aroma rempah-rempah yang sungguh nikmat pun menguar ke segala penjuru. Aku tak bisa henti-henti menatap masakan yang tinggal menambahkan udang di dalamnya. Makannya sambil menikmati wajah tampan Rafael, ouh enak banget. Kenikmatan dua kali lipat.
"Tumbenan banget kamu jadi suka ngalamun kayak gini?" ujar Rafael.
Aku menarik napas. Tak akan kubiarkan Rafael menyadari apa yang tengah terjadi. Lebih dari itu, aku tak mau membuat momen berharga kami berdua jadi canggung dan tidak asyik.
"Aku lagi mikir betapa beruntungnya perempuan yang menikahi kamu nantinya. Cowok perfect yang bisa nyari duit dan juga bisa masak. Pasti jadi ratu tuh nanti jodohmu," seringaiku.
"Dan itulah kamu, Ratuku!" ujar Rafael.
Aku terperangah lalu melempar pandang ke Rafael yang kini tengah fokus memasukkan udang ke saus padang.
Rafael terlihat menelan ludah. Dia tak mau memandangku, kendati aku kini dengan jelas melemparkan pandangan ke arahnya. Bibir Rafael mengecap-ngecap, ia seperti akan berbicara tapi urung.
"Rin ...," panggil Rafael dengan lembut. Namun setelah itu, dia kembali menjeda kalimatnya. Matanya tetap saja mengarah ke wajan, di mana udang di sana sudah mulai matang. Sedang aku tetap menatap ke arahnya.
"Jatuhnya Ibu kemarin, membuatku sadar ...." Lagi-lagi Rafael menjeda kalimatnya.
Melihat sikapnya yang asing seperti ini membuatku mulai menerka-nerka hal buruk. Jantungku juga perlahan berpacu dengan waktu. Detakkannya meningkat seiring berputarnya jarum jam.
Rafael menarik napas lalu mengembuskannya. Matanya sejenak terpejam. Baru setelah aura wajahnya berubah, dia beralih menatapku. Sekarang giliran aku yang menelan ludah. Tatapan Rafael kini tak pernah kulihat sebelumnya. Matanya yang teduh berubah menjadi mata elang yang penuh selidik.
"Aku ingin kamu menjawab lamaranku," cetusnya.
Kata itu seperti petir yang menyambar. Posisiku benar-benar terkunci. Bahkan untuk sekadar mengalihkan pandangan ke arah lain, aku seperti tak mampu. Rafael serius dengan perkataannya. Dan dari wajahnya kini, dia benar-benar ingin jawaban itu sekarang.
Aku tergagap. Tak tahu harus berkata apa. Tentu aku ingin sekali menikah dengan pemuda di depanku ini. Tentu aku ingin berumah tangga dengannya. Namun apakah aku mampu? Bukan, bukan masalah fisik, melainkan keadaan. Aku sendiri yang mengatakan pada pewawancara tempo hari bahwa aku tak akan mundur jika Rafael tak ingin hidup bersama di New Zealand.
Rafael kembali mengembuskan napas. Dia menutup matanya lantas mengalihkan pandangnya. Aku tahu sifatnya. Dia paling tidak bisa memaksakan kehendak dirinya sendiri. Dia pasti akan mengalah, kecuali hal itu menyangkut masalah ibunya.
"Aku beri kamu waktu tiga hari, Rin. Tolong jawab lamaranku. Aku tak ingin ibu ...." Lagi-lagi kalimatnya terjeda. "Aku tak ingin ibu sakit dan tidak bisa menghadiri pernihkan kita." Akhirnya kata pahit itu pun terlontar.
Tangan Rafael bergetar. Napasnya sedikit tak teratur. Dan tatapan matanya berubah menjadi sendu. Aku ingin sekali menyentuh tangan kekarnya itu lalu menenangkannya. Tapi urung karena terdengar sesuatu dari kamar Bu Nisa, sehingga dengan sigap Rafael mengecilkan kompor lalu segera menuju kamar ibunya itu.
Aku menghela napas. Satu masalah yang aku tunda-tunda, kini menunjukan taringnya juga. Rafael meminta jawaban.
***
Malam sudah larut kala aku melangkah pulang. Tadi Rafael hendak mengantar, tapi aku menolaknya.
"Tolong beri aku waktu untuk menjawab lamaranmu," kataku diujung pintu.
Rafael mengangguk. Namun aku tahu kalau dia itu sedang dilanda kebingungan. Bagaimana tidak, dalam benaknya, pasti aku akan menjawab iya. Karena semua orang pun beranggapan seperti itu. Hanya saja aku masih belum berani untuk mengatakan tentang beasiswa kantor itu.
Kakiku melangkah gontai. Kususuri jalan raya yang masih ramai kendati jam telah menunjukan pukul sembilan malam.
Duh ... gimana ngomongnya? geramku dalam hati.
Aku tak pernah menyangka akan datang di mana pertanyaan lebih susah daripada mengerjakan PR fisika terkutuk di sekolah dulu. Kalau tahu hidup serumit ini, aku mending berhadapan dengan fisika.
Kalau ngomong ke ortu pasti ditolak mentah-mentah. Ibu selalu beranggapan kalau punya suami spek dewa lebih penting dari apa pun. Dan Bapak pasti nurut-nurut aja sama Ibu.
Hih. Menyebalkan sekali.
Aku pun menendang kaleng yang dibuang sembarangan oleh orang. Dengan kekuatan kekesalan yang sudah aku kumpulkan, aku menendangnya keras-keras. Kaleng itu pun melambung, menuju seseorang yang tengah makan soto di samping jalan. Kaleng yang hendak mengenai wajah orang itu, ditangkapnya dengan satu tangan. Satu tangkapan yang bisa menyelamatkan sotonya dari musibah tumpah.
"Aduh maaf, Mas!" pintaku.
"Nggak papa," katanya sembari membuang kaleng ke keranjang sampah yang tak jauh darinya. "Sudah makan?" tanyanya lagi.
Seketika aku pun mendekat. Remang lampu jalan membuatku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Namun ketika aku sudah berada di jarak satu lengan dengannya, aku dapat melihat siapa gerangan lelaki yang menawari aku makan. Pak Rahman, Sang Pinguin kantor.
Please komen, biar aku tambah semangat uploadnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tampan Kedua (TERBIT)
Ficção GeralAirin Savika itu namaku. Namun baru tahun ini aku rasa namaku buat aku sial atau mungkin beruntung yang membawa sial. Aku tuh nggak tahu harus memilih siapa. Impian atau jodoh. Di umurku yang udah 29 ini, aku harus menikah, tapi di saat bersamaan R...