CUEK

134 21 2
                                    


Aku melirik ke arah Pak Rahman. Bahkan di saat seperti ini pun, dia tetap diam. Tangannya tadi sudah aku perban, tapi sepertinya dia masih merasa kesikatan. Ya bagaiman tidak sakit, orang tangannya terjepit tadi. Untung saja sepertinya tidak terlalu parah. Hanya saja karena aku sedikit khawatir, aku bawa Pak Rahman ke rumah sakit.

"Ke rumah saja, Rin!" pinta Pak Rahman dengan nada dingin.

"Tapi darahnya masih netes, lho, Pak. Ke rumah sakit aja biar ada yang ngobatin," sanggahku.

"Ke rumah saja!" ulangnya masih dengan intonasi singkat padat jelas, dan tentu menyebalkan.

Tanpa mengindahkan apa kata Pak Rahman nanti, aku tetap melajukan kendaraan ke rumah sakit. Dan ketika sampai di gerbang UGD, Pak Rahman pun melotot ke arahku.

"Kan sudah saya bilang kalau ke rumah!" tegasnya.

"Bapak ndak bilang alamatnya di mana dan aku juga ndak tahu alamat rumah Bapak di mana," dalihku enteng.

Pak Rahman yang sudah kadung sampai di rumah sakit pun akhirnya masuk. Dokter jaga di sana langsung membuka perban yang tadi aku ikatkan. Luka sobek yang terus mengeluarkan darah itu pun akhirnya dibersihkan dan mendapat perawatan lebih.

"Pulang, Rin!" ujar Pak Rahman di tengah-tengah operasi kecil itu.

"Bukannya Bapak sendiri yang bilang kalau tidak ada taksi di jam segini, ya?" debatku lagi.

"Aku mau menginap di rumah sakit! Pulang sana!"

Meski aku tahu kalau niatan Pak Rahman itu baik, cuma aku rasanya jengkel sekali mendengar perintahnya. Nadanya itu loh ngusir. Sudah bilang seperti itu, tadi tidak terima kasih, dan sepanjang jalan hanya memasang muka ketus, fiks aku benar-benar kesal dibuatnya. Jadilah aku pun balik badan dan pergi begitu saja. Sumpah rasanya aku ingin teriak dan memarahinya balik. Kok ya, bisa-bisanya dia berubah jadi Rahman yang dulu. Rahman yang super ngeselin dan tidak tidak ada imut-imutnya.

***

Keesokan harinya di kantor.

"Lo kenapa, Rin?" tanya Rachel sembari sibuk mengumpulkan berkas customer yang kemarin masih berantakan.

Aku tak menjawab. Bukannya sombong, tapi aku terdiam begitu melihat Pak Rahman yang masuk dengan wajah dinginnya. Tangannya dikalungkan ke leher. Sepertinya dokter menemukan ada luka yang dalam mungkin, sehingga tangan Pak Rahman tak boleh banyak digerakkan. Dan seperti dulu, sebelum dia mengajari aku banyak hal soal beasiswa kantor, dia sama sekali tak melirik ke meja CS - kacungnya.

Rachel pun memandangi kami berdua. Kepalanya berulang kali melihat ke arahku dan ke arah Pak Rahman yang terus melangkah lurus. Baru ketika Pak Rahman menghilang, aku pun kembali fokus ke kerjaan. Aku bekerja di sini sudah bertahun-tahun dan baru kali ini aku melihat Pak Rahman datang terlambat.

"Kalian berantem?" tanya Rachel masih penasaran.

"Tahu ah!" jawabku sebal.

"Eh, Rin. Daripada lo berantem nggak jelas sama Pak Rahman, mending lo benerin lagi hubungan lo sama Rafael. Gila ya kalian, masa sudah tiga hari lebih nggak ketemu."

Aku menyipitkan mata. "Dari mana lo tahu kalau kami ndak pernah ketemuan lagi?"

"Mana pernah sih lo nggak cerita ke gue kalau abis ketemuan sama pangeran lo itu. Hmm ... apa jangan-jangan lo sudah mulai cinta sama Pak Rahman?"

"Eh gila, ya! Mana mungkin aku jatuh cinta sama Si Pinguin Antartika itu!" seruku.

"Jangan keras-keras, tahu! Ntar dia denger."

Aku tertawa. "Mana mungkin Pak Rahman denger, dia kan ada di ruangan ... nya," kataku menggantung.

Salah besar kalau mengira si pinguin sedang di ruangannya. Dia sudah menuju ke sini. Itu artinya ketika aku teriak-teriak tadi, Pak Rahman sudah ada di lorong. Dia pasti sudah mendengar tentang ucapanku tadi. Shit!

"Airin! Ke ruangan saya!" ucapnya masih dingin.

Vika yang melihatnya pun menahan tawa. Dia mengangkat kedua jempolnya, memberikan ejekan sekaligus semangat untuk bertempur dengan Pak Rahman. Pertempuran hati kali ya, soalnya aku masih kesel soal semalam.


Sory dikit. Yuk semangatin aku dengan komentar

Si Tampan Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang