"Eh lo tahu nggak?" aku melipat tangan, mendekatkan kepala ke Rachel.
"Apa?" tanggap Rachel biasa saja. Dari nadanya sih kedengarannya dia tak peduli.
Aku pun mengerucutkan bibir. Dan sepertinya Rachel tengah menengok ke arahku dan mulai tertarik dengan pembahasan yang ingin kusampaikan atau mungkin lebih tepatnya agak kasihan dengan aku yang dicuekin. Emang sih kalau mengobrol dicuekin itu sakit. Namun ada yang lebih sakit. Yaitu ketika ingin ghibah dan tidak ditanggapi. Eh anggap saja aku bukan mengajak ghibah tapi mengajak untuk membahas perlikau manusia dengan focus group discussion.
"Apa? Apa?" tanya Rachel pada akhirnya. Dia pun turut menurunkan minuman cupnya lalu membenarkan posisi duduk.
"Ah nggak jadi. Nggak asyik lo," tolakku. Nafsu ceritaku mendadak ilang. Bukan mendadak ilang sih, lebih tepatnya menguap.
"Yeh ... giliran gue udah laper sama gosip lo aja, lo tinggalin. Buruan atuh cerita," burunya.
Aku mendesah. Meski rasa gregetnya agak berkurang, tapi bibirku masih gatal gitu buat cerita. "Lo tahu kan Bos ngajak gue dinner di Seven Sky."
"Oh .... Lalu bos nembak lo?"
"Eh gila. Dari mana pikiran liar itu lo dapat?"
Rachel mengangkat kedua bahunya. "Lo udah jadi topik pembicaraan hangat kali di kantor. Asal lo tahu saja, Si Bos itu dikabarkan nggak pernah deket sama cewek. Sekalinya deket ya sama lo ini!"
Aku melongo mendengar perkataan Rachel. "Sumpahnya dari mana gosip kayak gitu muncul."
"Mungkin karena lo kelamaan jomblo dan Pak Bos juga jomblo." Rachel menyedekapkan tangannya di meja lalu kepalanya menjorok mendekatiku. "Makanya daripada lo sama Si Bos si pendiem tapi imut kayak gitu, lo mending sama Rafael aja, deh. Baikan lo sana sama dia!"
"Dih. Justru gue mau ngomong ini. Gue punya rencana buat pelarian gue dari kejaran pertanyaan kapan nikah."
"?"
"Tahu nggak? Si Bos tuh yang kalian kira kalau kita masuk ke ruangannya bakalan mati, dia nawarin gue beasiswa."
Rachel yang sedang asyik menikmati minuman cupnya kembali, langsung menyemburkan minuman itu kembali. Untung saja dia kalau minum itu pasti menghadap samping jadi semburannya tidak mengenai mukaku.
"Kok nggak disebarin sama Si Bos di kantor?" protes Rachel kemudian.
Aku menyipitkan mata. "Udah tahu. Di web kantor bank kita sudah. Mana ini dari pusat."
"Iih kok lo nggak ngasih tahu gue."
"Ini gue juga lagi ngasih tahu. Gue aja baru nyadar pas Si Bos ngasih tahu."
"Lalu kenapa Si Bos ngasih tahu lo?"
Aku kembali mengembuskan napas lalu menceritakan semuanya secara detail ke Rachel. Daripada dia motong-motong terus dan perbincangan ini jadi membosankan, mending aku kasih tahu sekalian.
"Lah maka dari itu, gue punya opsi. Gue nggak mau sama Si Bos. Gue pinginnya sama Rafael aslinya, tapi terlalu gengsi buat minta maaf. Makanya kayaknya gue mau ambil beasiswanya. Siapa tahu kan lolos? Kalau Rafael tetap nggak mau minta maaf, gue tinggal pergi deh dari sini."
"Kalau dia tiba-tiba minta maaf gimana?"
"Heh, Chel. Gue udah 28 akhir ya. Gue maunya pacaran ya buat nikah. Nggak mau gue pacaran buat pansos doang. Infestasi bodong itu," semburku.
Puas dengan curhatanku, aku pun mulai menikmati makanan yang ada di meja. Rasanya plong, pikiran jadi fresh gitu kalau sudah cerita.
***
Seperti biasanya, aku berangkat kerja. Kemarin aku absen. Entah mengapa setelah makan malam dengan Rachel, perutku eror. Berulang kali ke belakang sampai mual-mual pula. Orang tuaku yang memperhatikan aku yang terus-menerus bolak-balik menutup mulut sampai curiga kalau aku hamil. Aku yang mendengarnya hanya bisa berkata, "Hah?".
Aku tahu aku jomblo. Pergaulanku pun luas bukan bebas ya. Dan aku masih punya cukup harga diri untuk terus menjaga keperawananku. Sumpah tidak ada bayangan sama sekali untuk berbuat kayak gitu di luar nikah. Aduh memikirkannya saja aku pusing.
Untungnya ya, setelah dokter keluarga dipanggil, seisi rumah yang tadinya heboh pun bisa berangsur membaik. Sudah aku katakan kalau aku tidak akan melampaui batas. Sentuhan sama lelaki saja aku masih memilih-milih, apalagi sampai check in. Ih amit-amit.
Satu hal yang aku sayangkan kemarin pas dokter keluarga datang. Kok ya dia tidak kasih izin tiga hari sekalian. Jadinya kan sekarang harus berangkat kerja lagi.
"Kemarin Rafael ke sini loh, Rin!" ujar Rachel ketika aku menaruh barang-barangku di meja.
"Ngapain?" tanyaku sembari menanggalkan jaket.
Rachel tak kunjung bicara. Dia justru malah meletakkan kedua tangannya di meja lalu memainkan pulpen. Raut wajahnya seperti gelisah. Aku yang makin keheranan pun duduk di sampingnya.
"Lo ditembak sama dia?" seringaiku, mencoba untuk sedikit bercanda, walau nanti kalau jawabannya iya, hatiku bakal remuk sih.
Rachel menggeleng. "Aduh aku mau cerita tapi takut lo kepikiran. Lo juga baru sembuh, Rafael juga malah nyuruh nggak bilang sama lo."
Aku melemparkan pandangan ketus ke Rachel. Yang benar saja. Dia sudah memancing penasaranku, eh mau dibuang gitu saja. "Kalau lo nggak cerita ya udah, aku tinggal minta dikasih tahu sama Ryan atau Rehan. Dan sampai aku dapat info dari mereka bukan dari lo, gue nggak akan makan siang sama lo sampai weekend."
Rachel terlihat mulai ragu. Dia tahu sendiri kalau info dari teman sedivisi kami itu tukang ngawur. Pasti akan ada bumbu-bumbu penyedap yang keluar dari bibir mereka. Aku tahu mereka itu laki-laki. Tapi sumpah kalau mereka cerita, mengalahkan gosip panas para ibu-ibu rumah tangga. Enak banget gitu dengarnya.
"Iya-iya gue cerita." Rachel menarik napas sebentar. "Tapi lo jangan bilang dapat info ini dari gue ya. Gue nggak mau dimusuhin sama Rafael. Dia ganteng loh, kalau lo udah nggak mau sama dia, gue mau."
Aku makin memandang sinis Rachel, tak sabar dengan apa yang hendak dia sampaikan. "Ish cepetan!" semburku.
"Rafael beberapa hari ini nggak hubungin lo, karena kantornya PHK-in dia. Terus selain itu dia kena tipu, Rin. Katanya rekening dia dibobol, benar-benar hangus nggak ada sisa. Dia kemari untuk ngurusin rekening dia agar ditutup."
Rachel menelan ludah. Dia sepertinya berat menyampaikan seperti di depanku. Apalagi aku tidak tahu seperti apa ekspresiku sekarang. Yang jelas, yang kurasakan saat ini jantungku seperti berhenti. Seketika semuanya hening. Bahkan Rehan yang menyapa pun aku hiraukan begitu saja.
"Dia bukannya nggak mau hubungin lo, Rin. Tapi dia takut repotin lo. Dia nggak mau tahu kalau dia lagi dalam kesulitan."
Aku semakin tak bisa berpikir jernih. Segera aku ingin keluar dari kantor ini dan menghampiri rumah Rafael. Namun apa boleh buat, kerja baru saja dimulai. Dan aku sama sekali tak bisa keluar sebelum jam makan siang. Ini alamat aku tidak bisa fokus kerja selama belum bertemu dengannya.
Ya Allah ... tolong jaga dia!
Aku benar-benar merasa bersalah.
Terima kasih telah mendungkung cerita ini, mampir juga ke ceritaku yang lain berjudul Dalam Tasbih Cintamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tampan Kedua (TERBIT)
Genel KurguAirin Savika itu namaku. Namun baru tahun ini aku rasa namaku buat aku sial atau mungkin beruntung yang membawa sial. Aku tuh nggak tahu harus memilih siapa. Impian atau jodoh. Di umurku yang udah 29 ini, aku harus menikah, tapi di saat bersamaan R...