Foto di Ruangan

120 25 2
                                    


"Nggak bisa gue. Nggak bisa!" raungku sembari meremas kepala. Sumpah aku kesal banget sama diriku. Kenapa waktu itu aku tidak bisa mengungkapkan apa yang kualami ke Rafael. Menyebalkan.

Ryan nimbrung. Dia yang dengar ceritaku dari Rachel pun ikut-ikutan panas. Rehan sebenarnya juga mau ikutan. Tapi dia sedang lagi sibuk sama new baby-nya. Maklum kalau masih baru, inginnya pulang cepet. Kalau sudah lama? Tergantung jenis laki-lakinya entar. Kalau memang perhatian ya pasti pulang cepat, kalau lelakinya cuek dan nikah cuma buat nurutin nafsunya, pulangnya nanti-nanti. Alasannya ada saja. Lembur lah, kerjaan tambahan lah. Padahal aslinya ya nongkrong bareng teman sedevisinya. Seperti yang sedang aku lakukan sekarang. Itu sih opiniku, entah opini orang lain. Maka dari itu sayang banget kan kalau lepasin Rafael gitu saja. Mana dia emang peyanyang banget lagi.

Aku melempar pandangan ke Ryan. Biasanya kalau dia ikut nongkrong kayak gini, mulut sampahnya akan beraksi. Ini kok tumben dia diam-diam saja. Atau mungkin diamnya kayak ular derik. Sekali saja ada yang melangkah di depannya, langsung dia santap.

"Kenapa lo natap gue kayak gitu?" tanya Ryan yang mulai risih dengan tatapan sinisku.

Aku menggeleng, "Nggak. Nggak papa. Siapa bilang ada apa-apa."

"Kalau lo lagi nunggu gue berpendapat. Kali ini gue no comment."

Aku menyedekapkan tangan. "Tumben. Biasanya apa-apa aja lo komentarin."

"Ini beda kasusnya. Gue malas kalau udah nanggepin tapi nggak lo lakuin. Ya kali energi makanan yang udah gue simpan plus emosi yang udah gue kumpulin, lo sia-siain gitu aja."

"Maksudnya?"

"Nasehat itu butuh tenaga, Rin. Kalau udah gue kasih saran tapi nggak lo lakuin, gue ya ogah."

Aku tersenyum kecut. Kata-kata Ryan benar-benar kayak anak panah. Dikasih api lagi. Nyesek banget.

"Mending daripada lo sama Rafael, lo sama si bos aja," tambah Ryan.

"Ha? Kok bisa-bisanya lo berpikiran kayak gitu?"

Aku tercengang. Begitu juga dengan Rachel. Dia bahkan sampai tersedak ketika mendengar Ryan berkata demikian.

"Si bos itu care sama lo. Dan gue perhatiin lo juga naruh perhatian sama dia. Terus kalau lo sama dia, lo berani beropini, nggak kayak sama Rafael, cuma jadi budak."

Mulutku terbuka. Apa barusan Ryan bilang? Aku naruh perhatian ke Si Pinguin? Naruh perhatian dari mana coba? Jelas-jelas yang aku lakukan malah mendeklarasikan perang ke dia.

"Ngarang aja lo, Yan!" sangkal Rachel seketika.

Aku mengangguk, menyutujui perkataan Rachel.

Ryan tertawa kecil. Dia lalu menyandarkan bahunya ke kursi. Tangannya kemudian mengambil minumannya lalu menyedotnya dengan santai, membiarkanku dengan Rachel yang menatapnya dengan penasaran.

Aku mengenal Ryan. Setiap kata yang dia lontarkan memiliki dasar. Belum pernah dia mengatakan sesuatu yang hanya gosip semata. Seperti dulu, saat pergantian kepala cabang dan Ryan bilang kalau penggantinya masih bujang. Sekantor waktu itu sama sekali tidak percaya. Secara selama ini kepala cabang itu pasti sudah berumur. Dan ketika kepala cabang baru datang, ternyata omongan Ryan terbukti benar dong. Aku jadi curiga kalau sebenarnya Ryan itu intel.

"Gue kemarin habis masuk ke ruangan si bos. Dan you know what?" Ryan menjeda kalimatnya. Aku dan Rachel pun makin terpaku menatap ke Ryan. Menyebalkan juga lelaki satu ini. Dia sengaja menyedot yougurt strawberry lagi. Kali ini malah makin lama. Sengaja sekali dia berlama-lama menikmati minumannya.

"Terus apa!" geramku tak sabar.

"Lo kalau ngomong nggak usah sok dijeda kayak gini, napa?" protes Rachel.

Ryan pun tertawa. Yougurt yang dia minum sempat keluar dari hidungnya. Mampus. senjata makan tuan. Dia pun mengambil tisu lalu mengelap ingusnya itu.

"Lo ngirim selfie ke si bos ya, Rin?" tanya Ryan ketika selesai membersihkan ingusnya.

Aku pun mengawang, mencoba mengingat-ngingat. Dan ketika otakku mereset masa lalu, terpampang jelas sebuah momen di mana aku dan Qiana, berselfie bersama setelah acara interview beasiswa waktu itu.

"Gue nggak ngirim. Tapi waktu itu pernah sih adiknya Si Pinguin, selfie bareng sama aku. Tapi aku pasang wajah jelek, lho."

"Exactly." Ryan kembali menyedot yougurt miliknya.

"Lo kalau sekali lagi ngomong setengah-setengah gini, gue siap mecahin gelas lo itu, Yan!" greget Rachel.

Aku tertawa. Ternyata bukan aku saja yang jengkel dengan sikap Ryan. Baru saja aku mau bilang kayak gitu, Rachel sudah mewakili.

"Iya-iya gue terusin!" Ryan sekali lagi menyedot yougurtnya sebelum meneruskan perkataannya. "Gue pas itu lagi mau laporan soal pemasukan dari nasabah bulan ini. Nah saat itu, gue lihat bos lagi senyum-senyum sendiri. Coba tebak dia ngapain?"

"Menang lotre?" tebakku.

Ryan tertawa. "Bukan."

"Dapat diskon gede?" tebak Rachel.

"Itu lo, cowo mapan kayak si bos mana peduli ada diskon atau nggak."

"Terus apa? Cepat beritahu aja, lah. Gue paling ogah buang-buang waktu kayak gini."

Ryan diam sejenak. Dia mengatur napasnya, seolah-olah dia hendak menyampaikan berita besar. "Dia lihat foto lo sama seorang wanita yang sudah dibingkainya, Rin!"

"Hah?" teriakku berbarengan dengan Rachel. Saking kerasnya suara kami, para pengunjung kafe yang lain langsung menengok.

"Bulshit! Mesti ini cuma omong kosongmu aja, kan?" sangkalku seketika.

"Siapa bilang? Gue punya buktinya!" ujar Ryan dengan tenangnya.

Lelaki itu pun membuka gawainya. Setelah mendapat foto yang dia ingin perlihatkan, dia pun meletakkannya di atas meja, membiarkanku dan Rachel melihat. Dan seperti yang dia bilang. Di fotonya itu terpampang jelas sebuah foto yang sudah dibingkai. Wajah manyunku lengkap dengan lidah yang menjulur sedang berselfie dengan Qiana yang memasang pose imut. Gila! Ini tidak masuk akal.

"Apa gue bilang?" Ryan membusungkan dada.

"Tapi bisa aja, kan, kalau Si Pinguin lagi merhatiin adeknya," sanggah Rachel.

Ryan mendekati meja. Dia meletakkan tangannya di atas meja. Lalu dengan tampang sok misterius dan sok inteleknya, dia berkata, "Coba lo pikir, Chel. Mana pernah sih kita lihat ada foto di ruangannya. Foto keluarganya aja nggak ada. Lah ini, sekali ada foto Airin, eh langsung dipajang aja di sana. Apa artinya kalau bukan lihat Airin? Sudah jelas lah dia lihatin Airin, bukan adeknya."

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Semua perhatian, semua perkataan yang diucapkan Qiana, kini terbukti sudah. Kali ini aku harus benar-benar menjaga jarak dengan Si Pinguin. Kalau tidak, siap-siap saja akan ada gempa dan tsunami yang mengguncang hubunganku dengan Rafael.


Ayo mampir di ceritaku yang lainnya. Tentu di wattpad juga dong. Judulnya Dalam Tasbih Cintamu. Cocok banget buat Ramadhan besok. Apalagi sudah END. Bisa buat marathon.

Si Tampan Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang