Pendekataan kami tidak berlangsung lama. Sesudah kami makan malam dengan ditemani nuansa gerimis-gerimis manja, aku makin intens berhubungan dengan Rafael. Aku yang biasanya males lihat WA karena isinya semuanya kerjaan, kini malah jadi tidak sabaran. Terus aja gitu lihat notif yang pasti ada saja chat dari dia.
Pernah ya suatu ketika gitu, aku kesal karena dia tak kunjung chat. Saat itu hari Minggu lagi. Tahu kan, nasib jomblo gimana kalau hari laknat itu. Notif kerjaan sepi. Meski bosku kayak gitu, tapi dia ada baiknya tahu. Dia tidak pernah tuh ngasih kerjaan di weekend. Jadinya ponsel kayak tidak ada gunanya gitu. Apalagi aku tidak hobi main sosmed.
Namun yang tak aku duga. Dia tiba-tiba mengetuk rumahku. Aku bahkan kaget saat dia yang dahinya penuh dengan keringat dan napas terengah-engah, berdiri di ambang pintu.
"Kamu ndak apa-apa, kan?" tanyanya.
Aku pun menatapnya heran. Kukerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan aku tak salah lihat. Dahiku pun ikut berkerut. Bagaimana dia tahu rumah ini? Perasaan aku ndak pernah kasih alamat.
"Dari pagi sampai petang ini, sih baik-baik aja," kataku sedikit sangsi. Ya kali dia tidak balas pesan yang kukirim sejak pagi. Sesibuk apa sih dia di weekend. Apa jangan-jangan Rafael ini playboy?
Aku menyipitkan mata, mulai curiga. Bukan mulai tapi sudah curiga.
"Alhamdulillah .... Aku khawatir. Aku pikir kamu kenapa-kenapa di jalan."
Aku makin tak mengerti. Kupikir aku mau jalan gitu ke pasar tadi pagi. Aku sempat bilang ke Rafael mau pasar bulanan kebetulan bahan di rumah habis. Belanjanya bareng sama Ibu dan Ayah. Dan karena kebetulan baterai di gawai sudah sekarat, aku tinggal gitu saja sambil bilang kalau nanti sudah sampai rumah, aku mau ngasih kabar.
Dan itu tidak terjadi. Mengapa? Karena setelah melewati ramainya pasar di hari Minggu, panas, berisik, barang belanjaan banyak, plus siklus menstruasi yang masih nguras emosi, Rafael tidak jawab pesanku. Sebal campur kesal. Marah campur penasaran. Pokoknya nano-nano deh.
"Udah ke sini cuma mau tanya kabar doang?" tanyaku ketus. Sebenarnya ini romantis sih. Hanya saja romantisnya ilang perkara dia yang tidak balas pesan. Seharian lagi. Padahal jelas aku lihat pesanku diread sama dia.
Rafael mengangguk sambil senyum. Dih, dia menggunakan jurus pamungkasnya tuh.
"Airin! Ini kuota WI-FI nya habis, ya?" teriak ayahku dari dalam rumah.
Seketika aku pun cengo. Masa sih? Eh sekarang tanggal berapa?
"Bentar ya, Mas," pintaku undur diri.
Segera aku coba untuk menyalakan televisi digital yang tersambung dengan WI-FI. Hasilnya, tidak tersambung dong. Masih tak percaya, kucoba untuk menyalakan Youtube lewat gawai ayah. Tetap tak tersambung. Dengan fakta yang beraneka macam seperti itu, wajahku memerah. Sumpah. Malu.
"Kenapa, Rin?" tanya ayah.
Aku menggeleng. Segera aku mengatur napas agar jantungku kembali berdetak normal.
Duh ... gimana, nih! Asli aku nggak punya muka lagi mau ketemu sama dia. Malu! Aduh kalau dia kesel sama aku gimana? Bodoh banget sih. Kenapa aku nggak curiga kalau WI-FInya abis. Malah main curiga ke Rafael aja. Andai saja WI-FIku bukan WI-FI yang pakai kuota.
Baru mau berpikir tentang apa yang akan kulakukan nanti ketika menghadap Rafael, ibu tiba-tiba datang.
"Rin ... itu bukannya pemuda yang Ayah tabrak mobilnya, ya?" tanya ibu.
Belum juga kujawab, ayah langsung berdiri. Dia mengintip dari belakang tembok. Menyadari kalau tebakan ibu benar, ayah pun mengarahkan tatapan tanda tanya kepadaku. Dari bahasa tubuhnya aku tahu kedua orang tuaku heran. Dulu pas setelah pulang, ayah menunjukan foto Rafael. Dia masih terkagum-kagum dengan karakter pemuda itu. Bahkan ibu saja langsung berandai-andai kalau kami berjodoh. Dan sekarang ....
"Kok kamu nggak ajak masuk?" sergah ayah.
Yaps. Seperti tadi. Belum aku jawab, ayah buru-buru ke depan, menyambut Rafael. Ibu juga demikian. Lalu setelah mereka berbincang agak lama, ibu ke belakang. Dia tak berkata apa pun. Dia membuat empat minuman lengkap dengan camilan. Baru setelah semuanya jadi, ibu mendekatiku.
"Sajikan, gih!" suruhnya.
Aku melongo. Pipiku masih merah. Aku bahkan belum menyutujuinya ketika ibu sudah kembali ke depan. Mau tidak mau dan juga karena aku tidak ingin jadi anak durhaka, aku pun melaksanakan perintahnya.
Rafael terlihat seperti santai sekali. Padahal biasanya cowok yang datang ke rumahku ini pasti keringat dingin. Pernah dulu ada yang mau lamar. Teman SMA gitu. Belum juga ngomong, dia sudah keburu pamit. Namun Rafael tidak. Sepertinya dia pintar. Membuat ayah merasa bersalah lalu dengan santai datang ke rumah untuk menemui putrinya. Itu pun kalau dia masih mau denganku.
"Silakan diminum!" ujarku seraya mencari tempat duduk.
Aku menyapu pandang, mencari tempat duduk. Ruang tamu rumah ini hanya terdiri dari dua mebel panjang yang bisa ditempati oleh dua orang dan satu mebel kecil di ujung untuk ayah. Aku kira ayah duduk di sana. Ternyata dia malah duduk di samping ibu. Dan parahnya mebel satu orang itu tidak ada.
Aku yang dari tadi cengo, kini pun tambah cengo. Kok bisa-bisanya mebel itu tidak ada. Wajahku yang tadinya sudah berangsur-angsur memutih, kini mulai memerah lagi. Tak ada pilihan selain duduk di samping Rafael. Maka dengan gerakan seperti robot, aku mulai beranjak dan mulai menempatkan diri di samping pemuda ini. Aku bersyukur mebel ini agak panjang jadi tidak serasa seperti ....
"Aduh kapan Airin bisa nikah, ya?" celetuk ibu.
Aku melotot. Aku tahu aku sudah dua puluh delapan. Tapi baru kali ini, ibu mengatakan pernikahan. Di depan seorang cowok yang bukan keluarga kami lagi. Ini pasti mereka mengira kalau aku dengan Rafael sudah pacaran.
"Segera Bu. Insya Allah. Doakan kami, ya!"
Sumpah. Rasanya aku ingin pingsan. Perkataan ibu saja sudah membuatku tertohok lalu kini ditambah pernyataan Rafael. Ibarat ini aku sudah ditembak panah, kini ditambah lagi dengan tembakan basoka oleh Rafael. Kami bahkan belum jadian loh.
***
"Kenapa seenaknya sendiri mutusin kalau kita bakal nikah?" tanyaku ketus. Kali ini rasa maluku soal salah sangka benar-benar menghilang.
Rafael diam. Setelah melihat wajahku yang berbalut dengan kemarahan, sinar wajahnya meredup. "Aku pikir kita sama-sama saling suka dan orang tuamu juga kelihatan sudah ...."
"Aku tidak suka dengan caramu yang langsung membahas hubungan kita yang belum jelas di depan orang tuaku," amukku. Aku tidak bercanda. Emosiku saat ini memuncak. Bahkan aku berani menatap mata Rafael.
"Baiklah ...," desah Rafael. Dia pun berdiri di depanku. Kepalanya sedikit menunduk. Wajahnya meneduh. "Maukah kamu jadi pacarku, Rin?"
"Nggak," jawabku tegas.
Mungkin kalau dia mengatakan ini sebelum pernyataannya di depan orang tuaku, aku akan kegirangan bilang 'ya'. Tapi aku terlanjur marah. Seenaknya saja dia bilang seperti itu tanpa persetujuan denganku. Emang yang mau nikah dia dengan orang tuaku aja gitu? Aku dianggap hanya barang yang bisa kapan saja dipedagangkan oleh ayahku? Tidak. Aku punya hak di sini.
"Ingat ya! Hubungan ini ada aku dan kamu. Bukan dari orang tuaku dan kamu. Kamu sudah tak mengharagaiku di hubungan ini dengan tiba-tiba mengutarakan nikah di depan orang tuaku. Padahal kita belum jadian. Padahal kamu tidak berdiskusi denganku. Kamu telah gagal menghormatiku, Raf! Aku bukan hanya sekadar barang dagaan orang tua," tandasku.
Aku tak tahu apa yang dirasakan Rafael. Aku juga tak tahu bagaimana ekspresinya. Yang jelas setelah ke rumahku dan kami jalan bersama, aku memutuskan hubungan dengannya. Aku yang tadinya berangkat dengan Rafael, kini pun jalan kaki.
Yuk mampir ke Karyakarsa. Link ada di kolom komentar. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tampan Kedua (TERBIT)
General FictionAirin Savika itu namaku. Namun baru tahun ini aku rasa namaku buat aku sial atau mungkin beruntung yang membawa sial. Aku tuh nggak tahu harus memilih siapa. Impian atau jodoh. Di umurku yang udah 29 ini, aku harus menikah, tapi di saat bersamaan R...