Ini bagusnya aku gapok atau tampar, ya? Tapi kalau digapok nanti dia pingsan di sini gimana? Ogah banget aku kalau disuruh mapah. Kalau ditampar nanti dilihatin banyak orang. Hmm ... apa mending santet aja, ya?
Aku mengangguk-angguk, mengiyakan sendiri pemikiranku itu. Bagaimana tidak coba? Sudah setengah jam aku duduk berdua dengan bos di sini. Kami diam-diaman, makanan belum datang-datang, plus ponselku mati lagi. Sumpah awkward banget.
Kalau nanti makanannya datang, aku sudah berjanji akan langsung menghabiskannya. Bodo amat makan dengan slay atau jaga image di depan bos. Sudah kubilang kalau aku tidak peduli akan aksi menjilat atasan biar bisa naik jabatan.
"Maaf nih Pak Bos, sebenanya mau ngomongin apa, ya?" aku akhirnya menyerah. Awalnya aku berniat biar si pinguin antartika ini saja yang memulai pembicaraan. Tapi sepertinya aku bakal mati kebosanan dulu sebelum itu terjadi.
Pak Rahman yang daritadi juga tak melakukan apa pun selain memandangi para pasangan yang sedang saling suap-suapan kini pun mulai membuka mulut. Sebenarnya kalau dia bukan bosku, aku pasti akan mengatainya. "Makanya nikah! Udah tua bangka juga!" Tapi kan aku karyawan baik, lembut, dan suka menabung. Makanya aku tetap sopan.
"Ada pembukaan beasiswa dari kantor pusat. Saya tahu kalau kamu dari dulu ingin kuliah di luar negeri. Segera siapkan CV-mu, essay lima ratus kata tentang ya selayaknya kamu mau menembus LPDP."
Aku cukup tersanjung kalau dia menginfokan seperti ini kepadaku. Dan aku pun langsung tahu kalau si bos ini pasti merekomendasikan diriku untuk bisa menjadi salah satu pemenang beasiswa kantor. Hanya saja kok ya aneh, ya. Setengah jam loh dia tidak bicara. Sekali bicara eh singkat padat jelas sekali. Mirip banget sama ucapan ulang tahun dari kolega rese.
Eh tapi sebentar-sebentar. Dari mana dia tahu kalau aku bercita-cita sekolah di luar negeri. Perasaan aku tidak pernah curhat tuh ke rekan-rekan di kantor. Apalagi si bos muda ini. Dari zaman bos-bos tua aja tidak pernah ada yang tahu. Ih ... kok aku penasaran sih. Gara-gara dugaan dan rasa penasaran itu, aku pun jadi menyipitkan mata ke si pinguin.
"Saya tunggu filenya besok, ya!" sambung Pak Rahman.
Seketika aku membelalak. "Besok? Pak, kita saja di sini sudah jam sembilan malam. Membuat CV dan essay itu harus dengan pemikiran yang matang. Kalau nanti ...."
"Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Biar saya bantu koreksi."
Aku membuka mulut lalu mendesis. Enteng banget dia motong perkataanku. Kalau aku yang motong pembicarannya, pasti dia akan sangsi lalu mengecap aku sebagai bawahan tak tahu diri.
"Bisa, kan?"
"DL pengajuan administrasinya kapan?" tanyaku spontan. Tidak ada lagi embel-embel maaf atau menyebut nama si pinguin dengan hormat. Orang dia duluan yang mulai.
"Sekitar sebulan dari sekarang, kurang beberapa hari."
"Tepatnya?"
"Tanggal dua puluh delapan bulan ini."
Aduh dosa tidak sih nampar dia sekarang? Bisa-bisanya dia bilang sebulan dari sekarang? Pasti ini si pinguin matanya tertutup salju karena sikap dingin dirinya sendiri. Sekarang sudah tanggal empat belas loh. Berarti empat belas hari lagi atau dua minggu dari sekarang aku harus mengumpulkan semua persyaratannya. Bukan hanya itu, pun aku harus menyiapkan skor IELT yang tentu prosesnya tidak bisa seinstan itu.
"Saya kayaknya ...."
Tiba-tiba Pak Rahman mengacungkan jari telunjuknya dan mengarahkan kepadaku, isyarat kalau aku disuruh diam.
Damn. Eh, astaghfirulloh .... Ya Allah tolong tahan tanganku agar nggak gapok bosku ini! Bisa-bisanya dia menyuruhku diam. Menyebalkan banget. Mana dia sekarang buka hp lagi.
"Oh saya salah, ternyata dua puluh delapan bulan depan."
Andai kalau dia bilang salah dan ternyata tanggalnya malah tambah maju, aku yakin tas tanganku sudah mendarat ke kepalanya.
Sabar, Rin! Sabar!
"Jadi besok kamu serahkan berkasnya ke saya, ya!"
Puncak kekesalan adalah ketika wajahmu berubah menjadi senyuman manis semanis iblis. Ya seperti itulah wajahku sekarang. "Pak Rahman yang baik hati dan tidak sombong, bagaimana bisa saya menyelesaikan essay lima ratus kata. Ehm ... bisa sih kalau itu cerita fiksi yang tidak mencakup apa-apa. Saya juga belum meneliti jurusan yang mau saya ambil. Daripada menghabiskan waktu Bapak buat mengoreksi essay fiksi saya, lebih baik Bapak membaca essay yang sudah jadi."
Pak Rahman memandangku. "Hmm ... gitu, ya?"
Iyalah gitu. Iih dasar Pinguin! teriakku dalam hati.
Sepulang dari sini, aku benar-benar mau merevisi sebutan dari si bos. Pokoknya aku mau ganti dia jadi yeti. Iya. Lebih pantas yeti daripada pinguin. Yeti itu makhluk mitos mengerikan yang hidup di kutub. Katanya dia suka makan orang, persis nih sama si bos yang suka makan waktu sama bawahannya.
Makanan pun datang. Dan seperti kataku barusan, aku langsung menghabiskan makanan yang kupesan. Ternyata kursi panas bukan hanya ada di politik ya, di sini pun aku merasa panas banget berada sama si bos.
"Kamu kayaknya lapar banget, ya?" komen Pak Rahman.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Tak akan kuladeni dia bicara. Biar saja. Emang enak diam saat makan dan tidak ngobrol sama sekali. Toh selain itu aku juga sudah muak berada di sini, kendati kafe ini, kafe favoritku. Makanan mewah, pemandangan indah, sayang orangnya tidak. Ah ... coba saja sama ....
Aku menggeleng-geleng. Tidak. Aku juga tidak suka dengan Rafael. Ih kenapa namanya kusebut sih. Dia itu orang yang suka memakasakan kehendak. Aku tidak suka. Tidak suka.
Merasa pikiranku penuh dengan nama pemuda itu, aku pun melayangkan pandang. Kucari pemandangan yang indah agar pikiranku tak melulu mengarah ke Rafael. Ih tuh kan jadi kesebut lagi namanya.
Namun saat aku tak sengaja melihat Pak Rahman, aku menemukan sisi yang lain. Dia sedang menatap pasangan yang sedang suap-suapan. Tapi setelah aku menatapnya lagi dan memastikan arah pandangannya, ternyata dia tidak mengarah ke sana. Dia mengarah ke bangku di samping pasangan yang sedang bermesraan itu. Matanya melihat seorang ayah yang tengah menyuapi putri kecilnya. Dan saat aku perhatian mimik Pak Rahman lebih jelas, kutemukan raut muka yang tak pernah kulihat sebelumnya. Raut muka yang begitu damai. Seulas senyum yang teramat manis dan sederet gigi rapi yang begitu indah.
Pak Rahman tiba-tiba memalingkan wajahnya lagi. Dia menatapku. Dan aku ketangkap basah sedang memandangi wajahnya.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku segera menggeleng. Kurasa aku akan sedikit berlama-lama di sini. Dan sebutan yeti barusan? Ah lupakan saja.
Kakak-kakak, mampir ke Dalam Tasbih Cintamu di wattpad ya. Sudah tamat loh. Silakan ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tampan Kedua (TERBIT)
Fiksi UmumAirin Savika itu namaku. Namun baru tahun ini aku rasa namaku buat aku sial atau mungkin beruntung yang membawa sial. Aku tuh nggak tahu harus memilih siapa. Impian atau jodoh. Di umurku yang udah 29 ini, aku harus menikah, tapi di saat bersamaan R...