SEFREKUENSI

105 20 5
                                    


"Seriusan?" tanya Rachel ketika aku cerita tentang apa yang terjadi semalam.

Aku hanya mengangguk. Malas sekali untuk membayangkan kembali reka adegan yang begitu menyakitkan dalam hidupku itu. Orang tuaku sudah sangat setuju aku menikah dengan Rafael. Lalu bagaimana aku bilangnya kalau aku sekarang sedang berserteru dengan calon mantu idaman mereka. Ya ampun.

"Kayaknya lo mending sekarang jaga jarak deh sama Si Pinguin!" usul Rachel.

"Percuma aja, Chel. Ini dasar masalahnya bukan itu. Tapi aku sendiri yang harus memilih tetap berangkat ke Australi apa nikah sama Rafael."

"Menurutku nggak percuma, Rin. Menurut gue, Rafael cuma lagi panas liat lo sama Si Pinguin. Makanya dia ambil keputusan yang mojokin lo banget. Secara ya, kalau gue jadi Rafael, gue kayaknya bakalan mikir gini. Jika lo milih beasiswa, lo artinya milih Si Pinguin, dan jika lo milih nikah, lo sudah pasti milih Rafael."

Aku yang sedari tadi mengetik laporan pun akhirnya tertarik dengan bahasan Rachel. "Kok gue nggak kepikiran ke sana, ya?"

"Ya, kan?"

"Tapi kalau lo jadi gue, lo milih apa?"

"Gue sih bakalan milih beasiswa, Rin. Ini bukannya apa-apa, ya. Soalnya cinta itu bisa bertahan sampai kapan, sih? Kadang surut, kadang naik, kadang malah bisa dilupain. Banyak kan yang ketika sudah nikah puluhan tahun malah saling cuek."

"Tapi tidak sedikit juga yang pernikahannya harmonis. Almahrum B.J Habibie misalnya."

"Nah itu. Pak Habibie kan juga kejar impiannya sampai Bu Ainun ikut juga, kan, ke Jerman."

Aku menyedekapkan tangan. Sumpah kepalaku ingin pecah. Ini pilihan tersulit dalam hidupku. Sekali lagi aku bertanya. Ini kesialanku yang double atau malah aku saking beruntungnya sampai mendapat beasiswa sekaligus lamaran Rafael. Malah kini Qiana terang-terangan memintaku menjadi kakak iparnya.

Aku meremas kepala. "Sumpah, Chel. Bisa nggak sih, kita tuker nasib?"

"Kalau bisa, gue juga mau tukeran sama, lo, Rin. Lo udah cantik, pinter, disukai sama si pinguin lagi. Udah ratu banget."

"Dah lah, lo diem aja. Curhat inginnya buat pikiran ringan, eh malah jadi makin berat."

"Berat karena lo nggak bisa milih, Rin. Kalau lo berpikiran simpel kayak gue, lo bakalan hidup enak."

"Simpel menurut lo, itu sesat menurut gue. Masa kalau cowok nggak sepemikiran sama kita, lo main tinggal aja."

"Ya namanya cowok kan emang harus pengertian. Cowok itu banyak kali."

Aku mendengus. Sudah cukup curhat tak berguna dengan Rachel. Lebih baik aku gunakan waktu untuk meneruskan laporan ini saja.

"Lagian apa yang buat lo betah banget sama Rafael sih, Rin?" tanya Rachel.

Aku terdiam sejenak. Jari-jemariku yang semula sudah menari di atas keyboard pun ikut terhenti. Aku menerawang ke masa lalu. Aku ingat sekali ada hal yang membuatku begitu betah bersama dengan Rafael. Selain karena wajahnya yang terbilang cukup tampan, akhlaknya yang sholeh, dan juga sopan santunnya, ada satu hal lagi yang membuatku tak berhenti kagum dengan lelaki itu.

***

Beberapa bulan lalu.

Aku pernah sekali jatuh ke jurang. Bukan jurang lagi, mungkin palung mariana. Waktu itu aku diajak sama teman ke pasar malam. Kami senang-senang di sana. Bermain bianglala, lempar karet ke tiang demi mendapatkan hadiah, dan lain sebagainya.

Si Tampan Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang