"Kok Airin nggak pernah ke sini, El?" tanya ibu.
Aku tersenyum lantas menaruh gelas di meja samping kasur. Ibu habis minum obat seperti biasanya. Dia yang memang sudah berusia lanjut harus sering mengonsumsi vitamin tambahan, apalagi musim sekarang sangat dingin. Tadi malam saja, suhu mencapai tujuh belas derajat celcius, rekor baru. Gara-gara itu, alergi ibu jadi kambuh.
"Lagi sibuk, Bu," jawabku halus.
Aku pun menarik selimut ibu lalu menghidupkan penghangat ruangan. Tak mungkin bagiku untuk jujur bahwa hubunganku dengan Airin tengah di ujung jurang. Hanya masalah waktu sampai salah satu di antara kami harus berkorban. Ada alasan lain juga mengapa aku tak bisa meninggalkan rumah ini untuk kedua kalinya. Dulu saat di Jogja, ibu bilang bahwa hanya kali ini dia meninggalkan rumah. Dia tidak ingin rumah dengan kenangan ayah ini menghilang. Kelak dia juga ingin mengembuskan napas terakhirnya di sini. Maka dari itu, aku juga sama sekali tak mau meninggalkan rumah ini.
"Kalian tidak sedang berantem, kan?" tanya ibu sekali lagi.
Aku mengecup dahi ibu. Dengan susah payah aku tersenyum. "Ibu tahu sendiri kalau kami berantem, paling cuma sejam abis itu udahan."
Ibu membalas senyumku. Dia menyentuh tanganku yang masih memegangi selimutnya. Aku pun menangkup tangan ibu dan menciumnya. Satu tangan ibu yang lain mengusap pipiku.
"Dia wanita yang baik, El. Jaga dia, ya!"
Aku mengangguk-angguk. "Ibu tenang saja, ya. Sekarang Ibu tidur biar gatal-gatalnya cepat sembuh."
Aku sekali lagi mengecup dahi ibu lantas beranjak menutup pintu. Tak lupa juga aku mematikan lampu. Suhu ruangan ibu sudah cocok, alerginya juga sudah mendingan. Besok, semoga beliau sudah sehat kembali seperti sedia kala. Hanya saja ....
Ah lupakan saja. Lebih baik sekarang aku keluar dan merancang design interior lagi.
Agar tak menganggu ibu dengan suara musik yang aku dengarkan, aku pun keluar rumah. Ada sebuah rumah kecil yang sengaja aku bangun agar bisa lebih leluasa bekerja di sana. Dapat dikatakan kalau rumah kecil ini tempat kerja secara terpisah dari rumah. Aku tak mau membuat rumah berantakan yang pastinya nanti akan dirapikan oleh ibu. Lagipula rumah kecil yang hanya ada satu ruangan ini mempunyai monitor yang menampilkan segala CCTV di rumah. Jadi kalau ibu kenapa-kenapa, aku pasti tahu.
Di depanku ada sebuah kertas kosong. Pensil di tangan sama sekali tak mau bekerja. Dengan suasana hati yang tidak keruan dan mood yang tengah berantakan, membuat semua ide terlihat buruk. Parahnya deathlinenya harus rampung malam ini. Jika tidak, proyek interior rumah influencer ini pasti akan mangkrak. Jika itu terjadi, perusahaan yang baru saja mulai naik daun ini bisa hancur.
Dulu, pas Airin di sini, aku selalu bisa menemukan ide. Entah itu dari cara berpakaiannya, gaya rambutnya yang baru, atau dari cat kukunya. Aku bahkan masih ingat kala Airin meneleponku jam tiga dini hari.
"Ibu sudah tidur?" tanyanya waktu itu.
Aku tertawa. "Jangankan Ibu, semua orang di dunia ini juga sudah tidur, Rin," jawabku.
"Lalu kenapa kamu belum?"
"Biasa."
"Biasa apa?"
"Lagi mau mikirin kerjaan tapi keinget sama kamu. Jadi malah nggak selesai-selesai. Kamu sih liwat mulu di otakku."
"Kamu juga sama. Saat ada kakek-kakek ngeselin di bank, aku pasti bayangin itu jadi kamu."
"Loh kok?"
"Biar aku nggak jadi kesel."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Seketika saja sebuah ide tentang dekor yang cerah muncul di kepalaku. Mungkin jika dikombinasikan antara warna hitam dan jingga akan menghasilkan sesuatu yang hebat.
"Jadi kenapa kamu masih bangun di jam segini? Mau pamer jadi wanita sholehah yang habis sholat tahajud?" seringaiku.
"Dih apaan. Kan aku sudah sholehah dari lahir. Kalau nggak kenapa kamu masih mau sama aku."
"Ya gimana ya, abis katanya hanya masakanku yang bisa menuhin gizimu. Takut aku kalau kamu gizi buruk. Ciri-cirinya aja sudah kelihatan. Kayaknya pipimu tambah kempot setengah centi."
"Iih sebel deh dengernya. Tapi aku suka sih kamu perhatian gitu. Jadi kapan nih kamu mau ngelamar? Aku sudah berdoa sama Allah loh, malam ini eh pagi ini."
"Tuh kan, pamer abis sholat tahajud."
"Tuh kan, mulai ngibul."
Aku tertawa kembali. "Segera Airin. Tunggu sampai bisnis yang kubangun ini bisa jalan tanpa harus ada aku."
"Lah kenapa?"
"Kan biar bisa santai-santai di rumah sama kamu dan anak kita besok. Mereka yang kerja, kita yang kaya."
Airin tertawa di ujung sana. Mendengarnya, membuatku ikut tersenyum lebar. Tawanya itu selalu bisa membuat semua penat yang kulalui minggat begitu saja.
"Aku boleh kan ke rumahmu, ini kan sudah pagi," sambung Airin.
"Ha? Ini masih gelap, loh."
"Kan katanya nggak boleh nginep. Ini kan sudah pagi."
"Ya nggak sepagi ini juga, Airin."
"Telat, aku sudah di depan rumahmu, Mas!"
Aku membelalak. Segera saja aku membuka pintu rumah kecilku dan kudapati Airin di samping jalan. Dia melambaikan tangan ke arahku. Airin pun mendekat ke pagar.
"Hari ini, aku mau melihat sunrise di rumah dan wajahmu, Mas. Biar besok kalau sudah nikah, aku nggak kaget lihat mukamu yang ternyata astaghfirulloh ....."
Aku tertawa. "Curang, harusnya kamu juga jangan pake make up."
"Make up apaan? Aku hanya pake lip gloss."
"Lipstik termasuk make up bukan."
"Bukan."
Aku hanya tertawa. Tak mau membantah. Karena aku tahu satu hal, aku tak akan menang melawannya. Hatiku sedari pertama kali melihatnya saja sudah jatuh. Tapi jatuh yang sangat nikmat dan sungguh indah.
***
Dan kini mungkin tak akan pernah ada Airin yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Nomornya yang aku pin saja tak pernah menghubungiku lagi. Aku paham dia akan mengobarkan segalanya saat memutuskan untuk menikah bersamaku kelak. Namun berulang kali aku menegaskan bahwa tak apa Airin melanjutkan apa yang mau dia rintis. Aku hanya meminta satu hal darinya, tetap tinggal di sini, bersama ibu. Apakah itu berat?
Aku putuskan update tiap malam senin, biar besok siap hadapi hari sibuk. Semoga bisa istiqomah ya. Makasih dukungan dan komennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Tampan Kedua (TERBIT)
General FictionAirin Savika itu namaku. Namun baru tahun ini aku rasa namaku buat aku sial atau mungkin beruntung yang membawa sial. Aku tuh nggak tahu harus memilih siapa. Impian atau jodoh. Di umurku yang udah 29 ini, aku harus menikah, tapi di saat bersamaan R...