DOA IBU

67 14 0
                                    


            Namaku Rafael. Tidak pernah terbesit di otakku sebelumnya aku akan mengalami rasa yang begitu indah bersama seorang perempuan. Hariku terlalu gelap untuk mendapatkan cinta. Bahkan aku rasa, aku terlalu kotor untuk bisa merasakan sesuatu yang sesuci itu. Ada hal yang membuatku terus merasa berdosa dan itu menyangkut ibuku.

Ayahku meninggal bukan karena hal biasa. Dulu sewaktu aku akan menginjak bangku SMA, aku merengek ke ayah untuk membelikanku motor. Dengan kondisi ekonomi dan kerasnya hidup di Jakarta, tak mungkin bagi ayah untuk membelikannya. Namun entah apa yang dilakukannya, ayah bisa membelikan motor baru untukku.

Aku yang tak bisa tidur karena saking senangnya, mendengar ibu yang sedang berbincang-bincang dengan ayah.

"Apa kamu baik-baik saja, Mas?" tanya ibu.

Ayah tak menjawab. Di samping tangannya yang tergeletak, terdapat puluhan obat-obatan.

"Seharusnya kamu nggak boleh sampai seperti ini," lanjut ibu sembari menatap iba ke ayah.

"Tidak apa-apa, Bu. Tidak ada salahnya aku membelikannya sesuatu. Sedari dulu, kita selalu menolak apa yang dia minta. Sepeda, sekolah yang bagus, bahkan baju lebaran sekali pun, aku selalu tolak. Jadi untuk saat ini, mungkin ini yang terbaik," ujar ayah sembari menyentuh lengan ibu.

"Tapi, Yah, kesehatanmu."

Ayah menggeleng. "Ibu tak usah khawatir. Meski tinggal satu, Ayah tetap bisa sehat. Cukup tidak kelelahan saja. Lagian, uangnya juga masih lebih buat nyekolahin Rafael di sekolah anak-anak pinter. Sisanya juga buat buka usaha catering ibu. Masakan ibu kan enak. Sayang kalau tidak dijual."

Aku tidak mengerti apa yang dikatakan ayah malam itu. Yang kutahu, ibu malam itu bukannya senang karena ayah – untuk pertama kalinya – punya uang banyak, tapi malah sedih. Ayah menyeka air mata yang keluar dari pipi ibu dan ibu memeluk ayah sembari mengelus-elus perut ayah. Padahal malam itu, kami semua makan enak. Yang kupikirkan saat itu, malah menyangka kalau ayah mungkin belum puas makan karena ayam panggangnya justru aku habiskan semua.

Namun lambat laun aku paham apa yang dimaksud oleh ibu soal kesehatan ayah. Suatu saat ketika usaha catering ibu naik, kami semua kelelahan. Tapi yang benar-benar lelah justru ayah. Dan tiba-tiba saja, dia ambruk. Kami semua membawanya segera ke rumah sakit. Di rumah sakit itu aku baru paham ternyata ayah menjual ginjalnya untuk mendapatkan uang.

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku meminta maaf sampai tenggorokanku kering. Ayah tak marah. Dia justru meletakkan tangannya di kepalaku lalu mengusap-usapnya.

"Ini tanggung jawab Ayah. Sekali-kali ayah harus bisa membahagiakan keluarganya. Dan besok kalau kamu jadi ayah, kamu harus bisa menjaga keluargamu, ya," tenang ayah.

Semenjak ayah jatuh sakit, aku membantu ibu mati-matian mengurus catering. Setelah itu aku belajar. Segala prestasi kuraih demi membuat ayah bahagia. Kebahagiaan adalah obat terdahsyat untuk mengobati penyakit. Itu yang aku baca dari sebuah buku.

Setiap tahun, meski repot, aku mendapatkan peringkat satu di kelas. Aku bahkan masuk ke kelas khusus. Aku juga mendapat beasiswa atas prestasiku memenangkan lomba gambar interior rumah. Namun itu semua tak bisa membayar semua kebodohanku. Tepat tiga hari sebelum aku wisuda dari SMA, tepat ketika aku mendapat surat penerimaan mahasiswa dari sebuah universitas ternama, ayah meninggal. Dia meninggal gara-gara gagal ginjal.

Aku terus menatap makam ayah, kendati semua orang telah pulang. Aku tak peduli bahkan ketika aku diterima di salah satu universitas ternama sekali pun. Tidak ada satu kebahagian pun yang mampu membuatku senang, seperti tidak ada satu pun hal yang bisa membuat ayah hidup kembali. Ayah meninggal gara-gara menjual satu ginjalnya ke orang kaya. Ginjalnya yang tinggal satu itu ternyata tak mampu membuat ayah terus sehat.

"Kamu harus tetap berangkat kuliah, El," ujar Ibu. Tangannya menyerahkan surat penerimaan mahasiswa baru berlogo surya.

Aku hanya diam. Mataku tertuju pada motor laknat yang teparkir di depan rumah. Ingin aku hancur leburkan motor itu. Tapi aku sadar bahwa menghancurkan apa pun di dunia ini tak akan mengembalikan ayah.

"Ayah pastinya tak mau kamu sampai seperti ini, El. Semua itu keputusan ayah, bukan salahmu."

Aku masih terdiam. Yang ada di pikiranku saat itu, aku hanya ingin menghilangkan perasaan berat yang menggantung di dalam diriku. Meski ibu bilang seperti itu pun, aku tahu kalau semua ini tetap salahku. Jika aku tak merengek meminta motor, pasti ayah tak akan menjual ginjalnya. Ayah pasti sampai saat ini masih menemani kami.

"Ayah sudah memutuskan melakukan itu jauh sebelum kamu meminta motor, El. Hutang kami di bank banyak. Di renternir juga. Belum lagi ayah kena PHK. Ayah sudah memutuskan itu jauh-jauh hari," tutur ibu seperti tahu apa isi pikiranku.

"Dan karena aku meminta motor, Ayah jadi bertambah yakin untuk melakukannya, kan, Bu?"

Ibu sempat tersentak. Tapi sedetik kemudian, dia langsung bisa bersikap seperti biasa. "Bukan seperti itu. Ayah mau kamu bisa sekolah yang tinggi."

"Aku nggak mau kuliah dengan uang yang membuat ayah meninggal."

"El ...," bujuk ibu lagi. Dia mengangkat tangannya, hendak memelukku.

"Tidak, Bu," tolakku lalu aku pun pergi.

Hari berikutnya, ibu masih membujukku. Namun aku tetap menolaknya. Kendati ayah telah meninggal, kehidupan tetap harus berjalan. Aku yang benar-benar terpukul akan kepergiannya, menolak untuk mengantar catering karena usaha itu dan juga motor yang akan mengantarnya juga dibeli dari uang ayah. Karena tak punya pilihan lain dan ibu juga tak mau memaksaku lagi, ibu berangkat sendiri.

Dan itulah kebodohanku yang kedua. Ibu kecelakaan. Motor yang kuharapkan musnah itu memang akhirnya musnah, tapi sayangnya musnahnya motor itu juga membawa petaka. Ibu tertabrak truk yang mengalami rem blong di lampu merah. Motor yang ditungganginya remuk tak bersisa. Kala aku mendengar kabar itu, jantungku serasa berhenti. Aku sama sekali tak bisa berpikir. Tubuhku kehilangan kekuatan. Bahkan untuk berbicara saja, aku tak bisa.

Di rumah sakit, kondisi ibu parah. Ibu harus dioperasi karena mengalami pendarahan yang hebat. Tidak ada kerabat karena ibu dan ayah sama-sama anak semata wayang dan kedua orang tua mereka juga sudah tiada. Hanya aku sendirian. Anak SMA yang baru lulus dan membuat kebodohan dua kali. Aku benar-benar merasa sangat bodoh, lebih bodoh dari kerbau karena sekali pun itu kerbau, mereka tak akan jatuh di dalam lubang yang sama dua kali.

Untuk kedua kalinya, aku tidak bisa tidur. Malam saat ayah meninggal dan kini ibu tengah dioperasi. Berulang kali aku membaca surat Yasin dan berdoa untuk keselamatan Ibu. Aku bersumpah jika ibu selamat, maka aku akan mematuhi semua perintahnya. Selain itu aku juga bersumpah aku tak akan pernah meninggalkan sendirian, meski itu artinya aku akan selamanya sendirian.

Mungkin memang takdir atau mungkin karena Tuhan tersentuh dengan sumpahku itu, ibu selamat. Meskipun kakinya berakhir lumpuh, namun aku sangat bersyukur.

***

Aku menarik napas. Mengingat masa lalu seperti itu membuatku tak pernah bisa tidur. Sudah hampir setahun aku tak mengingat hal itu karena Airin. Wanita itu membawa warna baru dalam hidupku. Tapi hal itu tak membuatku benar-benar melupakan tentang dua kebodohan masa laluku. Sekali lagi, meskipun aku berpisah dengan Airin, aku rela. Orang tuaku tinggal ibu seorang. Wanita pendamping hidup bisa diganti, tapi ibu tidak.

Saat ibu memintaku kuliah, aku memaksa ibu untuk ikut ke Jogja. Aku meyakinkannya untuk membangun usaha di sana dan ibu pun mengiyakan. Saat itu, yang membuat ibu mau meninggalkan rumah kami di Jakarta adalah perkataanku.

"Jika ibu merestui, semua usaha pasti akan lancar."

Dan benar saja. Usaha baru kami di sana lancar. Aku juga bisa kuliah sambil membantu ibu. Meski kadang susah, tapi banyak senangnya. Tiada satu pun hari di mana aku menyesali sumpahku itu. Aku yakin semua takdir di jalan hidupku akan mulus jika disertai doa ibu. Hal itu berlaku juga untuk hubunganku dengan Airin.



Baiknya update setiap hari Senin atau Minggu, ya?

Si Tampan Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang