Yang Mana?

595 72 11
                                    

Mungkin ini adalah malam terakhir kami jalan bersama. Jangan sangka aku penyakitan, oh tentu tidak. Aku selalu berolahraga sehabis subuh. Pantang bagiku untuk tidur lagi - seperti yang diajarkan oleh sekolah dulu. Tapi ada hal yang lebih lagi. Hal yang tak dapat kupilih. Dan itu harus kusampaikan pada Rafael.

Rafael memandangku. Aku berusaha tersenyum sesempurna mungkin. Kami berdua diam. Tidak ada yang berbicara. Rafael mungkin lelah, sedangkan aku bingung hendak memulai dengan apa.

"Are you okay?" tanyanya sembari memandangku sebentar, sebelum akhirnya kembali memandang jalan.

Aku hanya mengangguk. Ujung-ujung kakiku saling beradu, sebisa mungkin aku menghilangkan grogi. Lidahku masih kelu, sangat susah untuk diajak bekerja sama, padahal hati sudah tak tahan ingin mengungkapkan apa yang ingin kulakukan.

"Kamu lagi nggak enak badan ya?" tanyanya lagi.

"Aku baik-baik aja, kok," jawabku salah tingkah. Aku tahu ini berat, buatku. Tapi sepertinya lebih berat lagi untuk Rafael.

"Oh," balasnya singkat.

Aku menunduk. Rasanya tak sanggup memandang matanya yang begitu teduh. Mata yang sudah banyak mengalami musibah dan pengalaman hidup. Dan aku tahu itu, tapi pilihan ini juga berat. Rasanya tak akan datang dua kali meski aku menyembah berkali-kali ke Tuhan. Hidup selalu punya pilihan bukan? Lalu pilihan itu pasti berujung pengorbanan.

"Kalau gue sih pilih ke luar negeri. Kapan lagi coba? Ini gratis pula," sambung Rehan kala mendengar curhatanku soal pergi atau menikah dulu. "Ingatkan Nabi pernah berpesan carilah ilmu walau sampe Negeri Cina?"

"Ya lo enak cowok, nggak mikirin umur, lagian Nabi juga berpesan untuk menyempurnakan agama juga kan?" balasku sembari menyendehkan tubuh ke kursi. Aku sudah begitu dekat dengan Rafael. Dia sudah berjanji akan mengikat janji suci suatu saat nanti. Bahkan bukan hanya keluargaku dan Rafael yang sudah siap dengan kemungkinan itu, para rekan kerjaku pun sudah mengira bahwa aku dan Rafael suatu saat nanti pasti akan menikah. Tapi dengan adanya kesempatan sekali seumur hidup yang mana ini adalah impianku sejak kecil, aku jadi bingung kala Rafael benar-benar memenuhi janjinya itu.

Aku lolos administrasi beasiswa untuk kuliah di luar negeri dari kantor. Tinggal selangkah lagi untuk interview dan jika lolos kembali aku bisa berangkat ke New Zealand, sebuah negara impianku. Aku dapat ilmu dan lebih lagi aku juga dapat uang untuk hidup di sana. Hanya saja aku tak yakin Rafael akan mengizinkannya. Kami sudah berkomitmen sejak awal. Dan ya ... aku janji tak akan meninggalkan ibunya apalagi ke luar negeri karena ibunya sudah renta.

"Tapi kalau seandainya gue jadi Rafael, gue pasti akan memaklumi. Malah gue bangga punya cewek pintar, sampe dapat beasiswa lagi," tambah Ryan.

Aku hanya menyipitkan mata. Kutatap teman-teman sekantorku yang seenak perutnya berkomentar.

"Masalahnya ayahnya Rafael kan udah nggak ada. Rafael cuma sama ibunya. Ibunya itu sudah berumur. Beliau juga alergi dingin. Ya masa mau diajak ke New Zealand. Kalau pas musim dingin gimana?"

"Kamu dulu sering cerita loh kalau ini impian kamu dari dulu. Kalau masalah Rafael, kata aku sih jodoh kan masalah hati. Lagian kalo Rafael itu benar-benar cinta sama kamu, dia bakal ngerti kok, bisa atur time lagi nanti buat nikahnya," ujar Rachel.

"Kamu lupa satu hal, Chel. Waktu buat nikah emang bisa diatur, tapi waktu hidupnya ibunya Rafael kan Allah yang ngatur." Aku mengembuskan napas berat. Padahal aku sudah menganggap Bu Nisa seperti ibuku sendiri.

Si Tampan Kedua (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang