Rencana

70 7 28
                                    

Napas Earth tertahan. Earth tiba-tiba kehilangan tenaga untuk melawan Santa. Isi kepalanya berusaha mencari jalan keluar, memikirkan perlawanan untuk bisa membebaskan diri. Namun, tubuhnya tak mau mendengarkan. Dia tak bisa bergerak sama sekali.

Sementara itu, Santa semakin mendekat. Menyentuh kulit wajah Earth dengan tangan dinginnya, lalu mengukir bibir Earth yang penuh, dengan jarinya.

"A-Apa yang dia lakukan? pergi dariku, Brengsek! bajingan, jangan menyentuhku, pergi!" teriakan Earth hanya tertahan di kepala.

"Pffft ..." Santa secara tiba-tiba terkekeh, melepaskan kunciannya dari tangan Earth dan berdiri sambil menggelengkan kepala, "Hahaha, Phimcanok. Kau yakin kau laki-laki?" ucapnya kemudian.

"A-Apa maksudmu?" Earth yang sudah terbebas langsung berdiri, menjaga jarak dari Santa.

"Lihatlah," Santa menatap Earth dari ujung rambut hingga kaki, "laki-laki macam apa yang punya kulit seperti ini? dan ... kau mewarnai bibirmu? ya ampun seperti wanita saja. Dasar banci,"

"Banci? hei, kau lupa bahwa wanita yang kau sukai malah menyukaiku di dismester pertama? wanita mengantri untukku, Santa. Dan kau, hanya sampah yang terbuang!"

Ekspresi Santa berubah menjadi tajam. Dia mendekat, dan berbisik ke telinga Earth, "Kau jangan senang dulu. Aku pasti akan merebut milikmu yang paling berharga. Hingga kau menangis," ucapnya lalu keluar dari kamar Earth.

"Mengambil milikku? apa yang mau kau ambil? brengsek. Dan aku tak menggunakan pewarna bibir! bibirku ini alami, dasar bodoh!" teriak Earth dari dalam kamar.

***

Peak menghela napas berat. Seorang laki-laki dengan tubuh sedikit kurus dan leher jenjang berdiri di depannya sambil menunduk. Peak menatap laki-laki itu lekat. Dia lebih muda empat tahun dari Peak. Art Kongthap, adik semata wayang Peak yang kini tampak babak belur.

 Art Kongthap, adik semata wayang Peak yang kini tampak babak belur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Art adalah anak yang baik. Dia ramah, pekerja keras, sangat manja pada kakaknya, Peak. Namun, dia lemah dan mudah terintimidasi. Dia sering dibully oleh rekan kerjanya dan juga beberapa teman yang bahkan tidak terlalu akrab dengannya.

Peak menggelengkan kepalanya melihat keadaan Art. Sudah hari kedua sejak Art menangis di telepon meminta Peak menjemputnya. Bekas lebam di wajahnya masih terlihat. Art mengatakan bahwa dia terjatuh dari motor, namun Peak tahu itu bukan yang sebenarnya. Ketika ada masalah, Art selalu membuat bermacam alasan. Dia tak pernah menceritakan apapun, hingga membuat Peak kadang merasa kesal.

"Masih tidak mau memberitahu siapa yang memukulmu?" tanya Peak sambil memeriksa lebam di wajah adiknya.

"Aku jatuh dari motor, Phi," ucap Art dengan suara rendah yang lembut.

"Masih berbohong? sejak kapan jatuh dari motor bekasnya seperti ini?"

"Phi, benar-benar tidak ada yang memukulku, aku ..."

Belong To Me Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang