Desember, 1932.
Senja sore itu terlihat suram. Teriakan dan tangisan terdengar di mana-mana. Suara bising dari orang-orang memenuhi telinga Hanum yang jatuh terduduk di depan tubuh kedua orangtuanya yang terbaring tak berdaya.
Mereka sudah tak bernyawa. Jiwa mereka telah direnggut oleh tentara Belanda yang membabi-buta dan menembak seluruh yang ada di desanya. Merampas semua hasil kebun warga desa, kemudian pergi begitu saja.
"Bapak, Ibu."
Dengan tangan gemetar, Hanum menggenggam tangan Bapak dan Ibu yang sudah terbujuk kaku. Darah mulai merembes di pakaian mereka yang lusuh.
Hanum tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia sedih, orang tuanya pergi. Menyisakan ia sendirian, sebab Hanum adalah putri tunggal Keluarga Widuri. Namun air mata pun tak kunjung keluar, hanya suaranya yang bergetar.
Hanum tidak tahu apa yang terjadi. Ketika kembali dari desa sebelah, Hanum sudah melihat banyak orang yang tergeletak di tanah, diiringi dengan tangisan pilu dari sang sanak saudara. Tak terkecuali Bapak dan Ibunya.
Panik tentu Hanum rasakan saat melihat orang tuanya terbujur kaku dengan darah yang membasahi baju mereka. Bekas tembakan peluru, Hanum tahu penyebab utama semua ini.
"Mbak Hanum," panggil seseorang.
Hanum menoleh, menatap seorang anak berusia dua belas tahun dengan baju lusuhnya, berdiri sambil membawa semua buntalan kain.
"Kenapa, Sasmi?" Hanum mati-matian bertahan agar suaranya tak terdengar bergetar.
"Tadi ketika orang-orang jahat itu datang, pakde dan budhe menitipkan ini ke aku, mbak. Mereka bilang kalau aku harus memberikan ini pada Mbak Hanum nanti, dan menyuruhku untuk bersembunyi."
Anak perempuan bernama Sasmi itu mengulurkan tangannya, menyerahkan barang yang ia maksud kepada Hanum.
Tersenyum, Hanum mengelus puncak kepala Sasmi. "Terima kasih ya, Sasmi."
Anak itu mengangguk, membalas senyuman serta ucapan terima kasih Hanum.
"Mas kamu baik-baik aja kan, Sasmi?"
Ngomong-ngomong, Sasmi hanya tinggal berdua dengan kakak laki-lakinya. Sementara kedua orang tuanya telah meninggal tiga tahun yang lalu, akibat pembantaian mendadak seperti ini juga.
"Alhamdulilah, baik-baik aja, mbak."
Hanum tersenyum lega. Ia bersyukur, setidaknya anak ini masih memiliki seseorang yang bisa ia andalkan dan menjadi tempat bersandarnya. Tidak seperti dirinya yang sekarang sudah tidak mempunyai siapa.
***
Bandoeng Regentschappen, 1933.
Hari ini, Hanum membuat sebuah keputusan besar. Sudah sejak kemarin Hanum memikirkan ini. Bahwa, ia akan pergi ke pusat Kota Bandoeng.
Dan sekarang, Hanum telah memiliki pekerjaan. Menjadi pembantu di Keluarga Meijer. Kepala keluarga Meijer sendiri adalah seorang letjen pasukan militer Kerajaan Belanda.
Sejujurnya, Hanum benci ini. Hanum benci karena ia harus terpaksa bekerja dengan orang-orang seperti mereka. Karena nyatanya, Hanum membenci tentara-tentara itu yang telah merenggut orang tuanya.
Namun Hanum tidak memiliki pilihan lain. Jika ia memilih menjadi gundik, maka itu sama saja membuat dirinya semakin merasa bersalah pada orang tuanya. Ia sudah berusaha mencari pekerjaan pada bangsawan pribumi, tapi mereka menolaknya. Dan yang mau menerima Hanum adalah Meneer Meijer, yang sayangnya adalah bagian dari tentara itu.
***
*Regentschap : Kabupaten
*Meneer : Tuan
KAMU SEDANG MEMBACA
Egbert Van Loen, 1935. [LJN]
FanfictionTentang seorang tentara militer Kerajaan Belanda, yang jatuh pada seorang inlander. Di mana, mereka tak seharusnya memiliki hubungan dengan seorang inlander-pun.