Chapter 8

213 29 0
                                    

"Kau menyukainya, kan?"

Gerakan tangan Egbert yang sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas tertunda mendengar pertanyaan dari Nicolas.

Sesuai dengan pemberitahuan dari Letjen Dedrick kemarin malam, besok mereka akan kembali ke Bandoeng. Dan hari ini, mereka harus segera berkemas.

Karel yang sejak tadi hanya memandang kosong ke arah luar jendela ikut menoleh, merasa tertarik dengan pertanyaan dari Nicolas.

"Siapa?"

"Hanum."

"Kenapa kau bertanya seperti ini?"

"Kau hanya perlu menjawabnya."

"Jangan berbicara omong kosong, Nic."

Egbert mendengus, akhirnya memilih melanjutkan membereskan barang-barangnya. 

"Aku bisa melihatnya, meskipun kau tak pernah mengatakan apa-apa. Orang lain bahkan bisa mengetahuinya dengan mudah. Kau pun merasa begitu kan, Karel?"

Karel tak menjawab. Ia tak mau terlalu ikut campur. Lebih baik mendengar saja.

Egbert sendiri tak memberikan jawaban apa-apa. Pria itu malah pura-pura sibuk dengan kegiatannya.

Nicolas menghela napas, kemudian mendekati Egbert dan menepuk pundaknya.

"Bagaimanapun, kalian tidak akan bisa, Egbert." Nicolas kembali melanjutkan.

Kegiatan Egbert kembali berhenti. Pria itu diam sebentar, mencerna kalimat Nicolas yang cukup menusuk dan menamparnya.

"Jangan lupa, pasukan militer Belanda tidak boleh memiliki hubungan atau bahkan menikah dengan seorang inlander. Kau tidak lupa itu, kan?"

Benar, orang seperti mereka tidak diperbolehkan, atau bahkan sangat dilarang untuk menjalin hubungan dengan seorang inlander. Itu adalah sumpah mereka ketika awal menjadi bagian dari serdadu militer Kerajaan Belanda.

Dan itu, adalah peraturan tak kasat mata yang harus selalu mereka ingat. Karena, akan selalu ada hukuman dari setiap peraturan yang dilanggar.

Hal itu juga berlaku untuk hubungan dengan para gundik. Baik tentara maupun gundiknya sendiri pun tak boleh memyimpan perasaan lebih, atau bahkan memulai hubungan yang lebih dari itu.

Cukup rumit, dan resikonya begitu besar.

"Kenapa kita harus mematuhinya?" Egbert berujar datar.

"Terserahmu saja jika kau ingin dibuang kembali ke Netherlands dan hidup menjadi gelandangan di sana. Jangan lupa, resikonya sangat besar jika kau berani melanggar itu, Egbert. Jangan sampai letjen tahu tentang ini. Aku hanya mengingatkan, sebelum semuanya terlalu jauh."

Nicolas benar. Jika Egbert melanggar, maka resikonya adalah ia akan dibuang kembali ke Belanda. Di sana, semua harta mereka yang dihukum akan dirampas, dan mereka harus hidup seperti gelandangan karena bahkan tempat tinggal mereka juga diambil.

Buruknya, jika ada seorang Belanda yang menikahi inlander, maka mereka akan diasingkan dan dibiarkan sengsara. 

"Berhati-hatilah, Egbert. Jika ayahmu tahu tentang ini, aku yakin dialah yang akan turun langsung untuk memerintahkan yang lainnya agar mengirimmu kembali ke Netherland." Karel membuka suara.

Egbert lagi-lagi diam. Kenapa teman-temannya bisa tahu ini dengan mudah? Kalau begini, apakah yang lainnya juga sudah tahu tentang ini?

"Kau tidak akan melanjutkan terlalu jauh, kan?" Nicolas menatapnya penuh selidik.

"Aku tidak tahu. Terima kasih sudah mengingatkanku. Tapi aku rasa ... aku tidak bisa."

***

Egbert seperti akan gila rasanya. Sejak obrolannya dengan Nicolas dan Karel malam itu, ia jadi terus memikirkan ucapan mereka berdua. Bahkan setelah satu minggu mereka kembali ke Bandoeng.

Sialnya, peraturan yang hampir Egbert lupakan itu terus saja membayanginya. Kenapa juga mereka harus membahas itu kemarin? Ia tahu, sebenarnya niat Nicolas dan Karel itu baik untuk mengingatkannya. Tapi Egbert ingin sekali denial. Bolehkah?

Sebenarnya Karel dan Nicolas tidaklah salah. Memang benar, Egbert menyukai Hanum. Hal itu sudah ia sadari jauh sebelum pemilihan gundik untuk para tentara dilakukan. Itu lah yang menjadi alasan Egbert menolak dan memberikan alasan lain.

Egbert sering melihat Hanum yang sedang berbelanja ke pasar, dan ia yang bertugas mengawasi area pasar. Tidak hanya itu. Beberapa kali Egbert pernah melihat Hanum yang datang ke rumahnya karena diutus oleh Meneer Meijer untuk mengantarkan barang ataupun menyampaikan pesan kepada ayahnya.

Dari sanalah, Egbert mengenal Hanum. Hanya tahu wajahnya saja. Karena posisinya, Egbert sama sekali belum mengetahui nama Hanum saat itu. Barulah ketika ia diminta oleh ayahnya agar datang ke rumah Meneer Meijer untuk membahas tentang Buitenzorg, Egbert mengetahui nama Hanum.

"Apa yang kau pikirkan?"

Egbert sadar dari lamunannya ketika Karel menepuk pundaknya.

"Bukan apa-apa," jawab Egbert singkat.

Karel menghela napasnya. Matanya memandang jauh ke depan. Ngomong-ngomong, saat ini mereka sedang berjaga malam di sekitar perkebunan bersama yang lain. Sementara Nicolas, harus menjaga di tempat lain.

"Kau masih memikirkan ucapan ku dan Nicolas malam itu?"

"Tidak."

"Jangan berbohong. Aku bisa tahu itu hanya dengan melihat matamu."

Jawaban dari Karel membuat Egbert mengernyit dan menatapnya penuh selidik.

"Kau bisa membaca pikiranku?" tanyanya terkejut.

"Ck! Jangan bodoh." Karel mendengus, kesal dengan pertanyaan Egbert.

Ayolah, Egbert itu mudah ditebak bahkan jika kau hanya melihat matanya saja.

Setelah itu, tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Keduanya hanya diam sambil sesekali menyorotkan cahaya senter ke sekitar.

"Egbert."

"Apa?"

"Bagaimana kalau aku memintamu untuk menghentikan perasaanmu itu?"

Egbert langsung menoleh dengan tatapan mata yang tajam. Lampu senter langsung ia matikan dan meletakkannya di sebelah.

"Apa maksudmu?"

"Berhenti menyukainya."

Hawa di sekitar mereka semakin dingin setelah Karel mengatakan itu. Egbert tampak tidak senang dengan kalimat Karel barusan. Terlihat jelas sekali.

"Kenapa aku harus berhenti?"

"Kau masih menanyakan alasannya di saat kau sudah tahu jawabannya?"

Keduanya saling menatap tajam dengan aura intimidasi yang kuat.

"Kau harus mematuhinya, Egbert! Sumpah itu adalah bagian dari pengabdian kita."

Egbert mendengus. "Jika bukan karena harus mengikuti jejak ayahku, aku tidak akan pernah mau ikut menjadi serdadu militer Kerajaan Belanda."

"Kau gila? Jika ayahmu mengetahui ini, kau pasti akan habis di tangannya."

"Iya, aku memang gila. Apa ini menjadi masalahmu?" Egbert menatap Karel datar.

Sama sekali tak terlihat keramahan di wajah Egbert yang amarahnya tersulut.

Setelah itu, Egbert berdiri dan mengambil serta senternya, kemudian pergi dari sana.

Sementara Karel tengah mencoba untuk meredam emosinya. Kenapa sulit sekali untuk memberitahu orang yang sedang jatuh cinta, sih?

***

Egbert Van Loen, 1935. [LJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang