"Terima kasih sudah membantuku, Andini."
Hanum tersenyum hangat pada Andini. Tadi, Hanum diminta oleh Meneer Meijer untuk mengantarkan barang milik Meyjen Peters ke rumahnya.
Di perjalanan, entah kenapa langkah Hanum menjadi oleng dan membuat beberapa barang yang ia bawa terjatuh. Untungnya, Andini datang tak lama setelah itu dan membantunya. Andini juga membantu Hanum untuk membawa barang yang lumayan banyak itu ke rumah Meyjen Peters.
"Sama-sama, Hanum."
"Apa Meneer Johnson tidak akan memarahimu karena pergi terlalu lama?" tanya Hanum sedikit khawatir.
Johnson dikenal dengan seseorang yang cukup keras. Dan lelaki itu tak membiarkan jika Andini—gundiknya, berada di luar terlalu lama.
Andini tersenyum menenangkan. "Jangan khawatir, Hanum. Ia tidak akan memarahiku.
"Baiklah kalau begitu. Sekali lagi, terima kasih."
Andini hanya mengangguk. Setelah itu, ia pamit untuk pergi duluan. Sekarang, Hanum kembali sendirian di jalan pulang.
"Kau sendirian saja, Hanum?"
Hanum sedikit kaget ketika sebuah suara menginterupsinya. Ia menoleh, dan seketika berbalik dan membungkuk hormat pada Nicolas yang sudah berdiri di belakangnya.
"Selamat siang, Meneer."
"Tidak usah formal seperti itu. Panggil saja aku seperti cara kau memanggil Egbert." Nicolas tersenyum kecil.
"Ah, baik kalau begitu, Nic." Hanum berujar canggung.
Nicolas mengangguk. "Omong-omong, kau habis dari mana?"
"Meneer Meijer memintaku untuk mengantar beberapa barang milik Meyjen Peters ke rumahnya, jadi aku baru saja kembali dari sana."
"Ah, begitu rupanya." Nicolas mengangguk lagi.
"Kau sendiri dari mana?"
"Aku baru saja kembali dari kediaman Keluarga Loen untuk menemui si bodoh Egbert."
Hanum ingin tertawa rasanya ketika mendengar Nicolas menyebut Egbert 'si bodoh'. Ia tebak, Egbert pasti akan mengamuk jika mengetahui hal itu. Kalian harus tahu, kalau Egbert itu bersumbu pendek, jadi mudah terbakar.
"Egbert pasti akan memarahimu jika tahu kau baru saja mengatainya, Nic."
"Ya, tapi aku tidak peduli."
Nicolas mengangkat kedua bahunya dan nampak tak acuh.
Hanum tersenyum kecil, kemudian tersadar terhadap sesuatu.
"Sepertinya aku harus pergi sekarang. Ada banyak hal yang masih belum aku lakukan. Selama tinggal, Nic."
"Ah, baiklah, Hanum."
Nicolas mengangguk dan tersenyum membalasnya. Setelah Hanum menjauh, barulah ia ikut melanjutkan langkahnya.
***
Egbert sedang uring-uringan sekarang. Sejak tadi, lelaki itu terus menggerutu tanpa henti. Hal itu tentu membuat telinga Nicolas panas, sementara Karel terlihat tak peduli.
"Diamlah, Egbert. Kau ingin ayahmu mendengar keluhanmu itu?" kata Nicolas yang sudah muak.
Egbert berdecak sebal setelah ditegur seperti itu. "Ck! Bisakah aku tetap tinggal di sini saja?"
Karel yang sejak tadi hanya sibuk sendiri pun merotasikan matanya malas, ikut kesal juga.
"Silahkan saja jika kau ingin dikeluarkan dari serdadu militer Kerajaan Belanda. Aku tidak melarangmu."
Jawaban dari Karel membuat Egbert semakin sebal dan mendengus keras. Berbeda dengan Nicolas yang hanya tertawa mendengar sarkasme dari Karel.
"Karel benar. Silahkan saja lakukan itu."
"Diamlah. Kalian sama sekali tak mengerti masalahku."
Nicolas menautkan alisnya. "Memangnya seperti apa masalahmu itu? Kau bahkan tak pernah mengatakannya pada kami. Lagi pula, apa yang membuatmu tak ingin ikut berlayar ke Oosthaven?"
Egbert diam. Ia sendiri tampak bingung menjawab pertanyaan dari Nicolas. Tampak jelas ketika Egbert menggigit bibir bawahnya.
Melihat itu, Karel hanya tersenyum kecil. Ia kemudian menepuk pundak Nicolas.
"Kau seharusnya paham apa yang menjadi masalahnya, Nic."
"Aku tahu, itu. Tapi kita berbicara tentang tugas, Karel. Kau tak bisa mengabaikannya."
Raut wajah Nicolas tampak serius, membuat atmosfer di sekitar mereka menjadi berubah. Karel sendiri paham, itu sebabnya ia kembali menepuk-nepuk pundak Nicolas.
Sementara Egbert masih membisu. Egbert tahu bahwa ia tak seharusnya begini. Ia jadi merasa bersalah dengan Nicolas.
"Aku hanya bergurau." Hanya itu yang keluar dari bibir Egbert.
Hal itu tentu membuat Emosi Nicolas naik. "Bergurau? Kau bilang hanya bergurau?"
Karel yang merasa situasi sudah tidak aman lagi langsung menengahi.
"Sudahlah. Untuk apa kalian ribut seperti ini?"
Egbert mengernyit. "Aku tidak? Kau bisa salahkan Nicolas kalau begitu."
Jawaban dari Egbert rupanya semakin membuat Nicolas tak terima. Wajah lelaki itu memerah.
"Kau menyalahkan ku? Padahal aku hanya mengingatkan mu!"
"Lalu apa? Kau yang memulainya duluan, kan?"
"Hei, sudahlah. Jangan seperti anak kecil begitu. Ingat, kalian sudah berkepala dua."
Baik Egbert dan Nicolas sama-sama mendengus. Bahkan mereka saling memalingkan wajah untuk meredam emosi masing-masing.
"Lebih baik kalian mengemasi barang-barang kalian yang akan dibawa ke Oosthaven. Bukankah itu lebih bermanfaat?" ucap Karel setelah keduanya terlihat tenang.
"Kau sudah selesai berkemas?" Nicolas menyipitkan mata.
Sadar bahwa emosi Nicolas belum sepenuhnya reda, Karel menggeleng pelan.
"Tentu saja belum."
Nicolas akhirnya mengangguk paham. Selanjutnya, Karel mengajak Nicolas untuk pulang ke rumah tinggal mereka dan berpamitan pada Egbert.
***
*Oosthaven : Bandar Lampung
KAMU SEDANG MEMBACA
Egbert Van Loen, 1935. [LJN]
FanfictionTentang seorang tentara militer Kerajaan Belanda, yang jatuh pada seorang inlander. Di mana, mereka tak seharusnya memiliki hubungan dengan seorang inlander-pun.