Chapter 12

175 20 0
                                    

"Ah! Ini sakit, bodoh!"

Nicolas memekik keras sambil memegang kakinya yang sakit. Sementara yang diteriaki mendelik, rasanya ia sudah kebal dikatai bodoh setiap hari oleh teman-temannya.

"Ck! Aku sudah berbaik hati membantumu dan kau malah mengataiku bodoh?"

"Ya, maaf. Anggap saja itu bentuk panggilan sayangku." Nicolas tersenyum bodoh.

Egbert mendengus, menarik kaki Nicolas yang terluka untuk diobati. Pemuda tinggi itu lagi-lagi meringis. Wajar saja Nicolas bereaksi seperti itu. Kakinya terluka karena terkena pecahan kaca yang cukup dalam. Lagi pula bagaimana bisa Nicolas tidak memakai alas kaki ketika berjalan? Tentu saja Egbert kesal mendengarnya.

"Kau tahu? Aku pikir kakimu terkena tusukan bambu runcing yang menancap dalam saat melihatmu datang dengan kaki pincang dan berdarah. Kalau itu benar terjadi, bisa ku pastikan kakimu akan dipotong."

Nicolas langsung mendelik mendengar ucapan Egbert. Refleks ia menarik kakinya dan mengelusnya.

"Kau berharap sesuatu yang buruk terjadi padaku?"

"Kau berkata seolah aku adalah orang jahat."

Merasa kesal, Egbert menekan luka pada kali Nicolas, membuat pemuda itu kembali memekik keras. Kali ini, sambil memukul kepala Egbert dengan topinya.

"Bisakah kau mengobatiku dengan ikhlas? Jika tidak, aku bisa mengobatinya sendiri."

"Dengan senang hati. Sekarang, obati sendiri kakimu itu. Aku tidak akan peduli." 

Egbert benar-benar menyerahkan peralatan obat itu pada Nicolas yang menatapnya tak percaya.

"Kau tega membiarkan temanmu ini mengobati lukanya sendiri?"

"Itu sebabnya jangan membuat drama, bodoh!"

Dengan perasaan kesal, Egbert kembali merebut obat-obatan itu dari Nicolas.

Begini lah mereka jika tidak ada Karel yang biasa menjadi penengah. Sepertinya saat ini Karel sedang tersenyum lebar karena tidak perlu mendengar perdebatan tidak berguna dari kedua teman bodohnya itu.

***

Hanum tidak mengerti dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Beberapa hari terakhir, Egbert jadi lebih sering menemuinya. Kali ini, bukan lagi dengan unsur ketidaksengajaan. Melainkan, pemuda itu sendiri yang dengan sukarela datang untuk menemuinya.

"Terima kasih sudah mengantarku, Egbert."

Hanum membungkuk hormat pada Egbert yang telah mengantarnya pulang. Bagaimanapun, ia harus tunduk dan hormat kepada para tentara militer Belanda.

"Tidak masalah, lagi pula ini sudah malam. Ada banyak tentara yang sedang berjaga-jaga. Aku hanya takut mereka salah paham dan malah menembakmu yang sedang berjalan sendirian."

Egbert tersenyum membalas ucapan Hanum. Memang benar, para tentara bisa saja menembak siapapun yang terlihat mencurigakan bagi mereka. Itu sebabnya, saat tak sengaja berpapasan dengan Hanum, Egbert menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang.

Hanum sendiri baru saja kembali dari kediaman Mayjen Peters untuk menyampaikan pesan dari Meneer Meijer.

"Cepatlah masuk, Hanum. Udara semakin dingin, kau bisa sakit." Egbert kembali melanjutkan ucapannya.

Hanum tersenyum dan mengangguk, kemudian pamit undur diri untuk masuk ke dalam rumah.

"Kau tidak akan melewati batas, kan, Hanum?"

Sedikit terkejut ketika Meneer Meijer tiba-tiba berada di belakangnya saat Hanum menutup pintu. Hanum paham maksud ucapan itu, dan sepertinya Meneer Meijer melihatnya pulang bersama Egbert tadi.

"Maaf telah lancang, Meneer. Saya permisi dulu."

Hanum membungkuk sebelum kemudian meninggalkan Meneer Meijer yang menatapnya dengan datar sejak masuk tadi.

***

"Dari mana saja, kau? Cepat sekali menghilangnya."

Dengan kaki terseok, Nicolas menghampiri Egbert yang baru saja kembali setelah mengantarkan Hanum pulang. Pemuda itu meringis kecil, pertanda rasa sakit di kakinya masih menjalar sampai sekarang.

"Jangan terlalu banyak berjalan atau kakimu akan kembali berdarah, Nic. Jika Karel berada di sini, ia pasti akan memarahimu lebih dari aku." Egbert memperingatkan.

"Ah, sangat membosankan jika harus duduk di satu tempat saja. Ngomong-ngomong, jawab pertanyaan ku, Egbert."

Egbert diam sebentar, berusaha memilih kata yang tepat untuk menyampaikannya pada Nicolas sebelum pemuda itu kembali memarahinya.

"Kau tahu aku tidak suka kebohongan, Egbert." Nicolas berujar serius saat melihat keraguan di mata Egbert.

Menarik napas dalam, Egbert bersuara pelan.

"Aku baru saja mengantar Hanum——"

"Kau melupakan peringatan dari Letjen Dedrick?!"

Memotong ucapan Egbert yang belum selesai, Nicolas menatapnya nyalang. Egbert tentu kesal dengan hal itu.

"Jangan menyela pembicaraanku!"

"Baiklah. Lanjutkan saja." Nicolas mengalah dan memilih untuk mendengarkan dulu penjelasan dari Egbert.

"Aku melihatnya berjalan sendirian tadi. Ia baru saja kembali dari kediaman Mayjen Peters karena diutus oleh Meneer Meijer. Kau tahu ada banyak tentara yang berjaga, bukan? Aku hanya takut mereka salah paham pada Hanum dan berakhir menembaknya. Itu sebabnya aku menawarkan diri untuk mengantarnya pulang," jelas Egbert.

"Bukankah lebih baik jika tertembak?" gumam Nicolas pelan.

Ternyata, Egbert masih bisa mendengarnya dengan jelas. Hal itu membuat Egbert menggeram marah, merasa tidak suka dengan apa yang baru saja Nicolas katakan.

"Jaga bicaramu, Nic!" tegurnya.

"Apa?" tanya Nicolas tak mengerti. Ia tidak tahu kalau Egbert ternyata mendengarnya tadi.

"Apa maksudmu berharap agar Hanum tertembak? Kau gila?!"

Nicolas membulatkan mata, paham apa yang membuat Egbert marah. Selanjutnya, ia malah tertawa kecil.

"Memangnya kenapa? Lagi pula, kenapa kau yang terlihat sangat marah? Merasa tersinggung? Memangnya dia itu siapa?"

Egbert semakin marah. Ia ingin sekali menendang kaki Nicolas kalau saja tidak ingat bahwa kaki pemuda itu sedang terluka.

"Jangan bodoh, Egbert. Pikirkanlah dirimu. Ingat ucapan Letjen Dedrick tempo hari. Kau berniat melanggarnya?"

"Mungkin di matamu aku terlihat kejam karena mengatakan ini. Tapi percayalah, aku tidak ingin membuat pertemuan mu dengan Karel kemarin menjadi yang terakhir." Nicolas kembali berucap, yang mampu membungkam Egbert.

Egbert yang tadinya terlihat begitu berapi-api, kini tidak mampu melayangkan protes apapun. Tatapannya tampak kosong. Lagi-lagi ia tidak bisa untuk sekedar menonjok Nicolas karena apa yang dikatakannya itu benar.

"Memikirkan ucapanku, huh?"

"Aku rasa kau bisa kembali mempertimbangkannya. Jangan membuat citra ayahmu hancur."

Nicolas tidak berhenti memberikan kalimat yang sekiranya bisa membuat Egbert sadar. Setidaknya, ia telah berusaha, bukan?

"Baiklah, pikirkan baik-baik semuanya. Aku memberimu waktu."

Tepukan kecil di pundak Egbert menjadi yang terakhir sebelum Nicolas kembali menyeret kakinya untuk melangkah pergi. Membiarkan Egbert bergelut dengan pikirannya.

***

Egbert Van Loen, 1935. [LJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang