"Ah, ini berat sekali."
Hanum mengeluh, menurunkan beberapa tas belanjanya yang lumayan banyak. Ia baru saja kembali dari pasar. Namun di tengah jalan hendak pulang, tangannya terasa keram karena beban berlebih yang ia bawa.
"Boleh aku bantu, Hanum?"
Hanum menoleh ke kiri, di mana Egbert sudah berdiri di sana sambil tersenyum kepadanya. Ah, kenapa pemuda ini senang sekali datang secara tiba-tiba, sih?
"Tidak perlu, Meneer. Ini hanya akan merepotkan mu." Hanum menolak halus sambil tersenyum.
Egbert langsung berdecak pelan. "Sudah kubilang jangan memanggilku dengan sebutan Meneer, itu terlalu formal. Lagi pula, membawa barang-barang itu tidak akan membuatku repot."
Lagi-lagi Hanum tersenyum, memaklumi bahwa pemuda ini berkepala batu.
"Ah, maafkan aku. Aku hanya terbawa suasana karena melihatmu menggunakan seragam."
Permintaan maaf dari Hanum membuat Egbert menggeleng pelan. Tidak perlu ada maaf, bukankah Hanum tidak berbuat kesalahan?
Mengabaikan itu, Egbert menyimpan lencana yang sejak tadi ada dalam genggamannya, membiarkan lencana itu aman di dalam saku celananya. Lencana tersebut adalah lambang tentara Kerajaan Hindia-Belanda.
"Baiklah, biarkan aku membantumu."Egbert sudah hendak mengulurkan tangannya untuk mengambil alih beberapa tas belanja dari Hanum sebelum ada seseorang yang memanggilnya.
"Maaf mengganggu, Meneer Egbert."
Baik Egbert dan Hanum pun menoleh pada seorang perempuan inlander dengan rambut yang dikepang, tengah membungkuk hormat kepada Egbert.
"Ada apa, Nindi?"Nindi, seorang gundik dari tentara bernama Hans, yang juga merupakan temannya. Setahu Egbert, Nindi baru bekerja kepada Hans dua bulan terakhir ini.
"Aku diperintahkan Meneer Dedrick untuk memanggilmu, dan memintamu untuk segera menemuinya di ruang pertemuan. Kalau begitu, saya permisi, Meneer."
Selesai dengan ucapannya, Nindi pamit undur diri. Egbert diam-diam menghela napasnya, dan itu tak lepas dari pandangan Hanum. Ada sesuatu yang tak bisa terbaca dari raut wajah Egbert, yang Hanum sendiri tidak tahu apa itu.
"Aku yakin ini bukan pertanda baik." Egbert membatin.
"Ada apa, Egbert?" tanya Hanum khawatir.
"Ayo. Setelah aku mengantar barang-barang ini, baru aku akan menemui Meneer Dedrick."
Tak menjawab, Egbert tersenyum pada Hanum dan mengambil beberapa kotak yang dibawa oleh Hanum. Ia melangkah duluan, meninggalkan Hanum yang masih memikirkan sesuatu di belakang.
***
Egbert terus terdiam, matanya menerawang ke depan, sementara pikirannya melayang entah ke mana. Ini sudah tiga puluh menit sejak ia keluar dari ruangan Letjen Dedrick. Tentara lain yang juga sedang berjaga ikut heran melihat Egbert yang hanya diam.
"Hei! Percepat langkahmu, dasar pemalas!"
Suara yang cukup keras dari salah satu tentara yang sedang membentak seorang wanita pribumi, mampu mengembalikan Egbert ke dunia nyata.
"Masalah seperti apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak mendengarku memanggilmu sejak tadi?"
Egbert cukup terkejut dengan kemunculan Karel yang tiba-tiba. Ia mendengus kecil, kemudian menggeleng pelan.
"Bukan apa-apa. Aku hanya——hei, kau terlihat rapi sekali. Ada apa?" Egbert menatap heran pada Karel.
"Aku lupa memberitahumu kemarin. Hari ini aku akan ikut dengan yang lain untuk kembali ke Netherland. Letjen Dedrick sendiri yang mengutusku untuk ikut."
"Kau bercanda?"
Egbert membulatkan matanya. Ia kesal karena mendapat informasi ini secara mendadak. Si bodoh Karel ini bahkan baru memberitahunya di hari keberangkatannya.
"Untuk apa aku melakukan hal tidak berguna seperti itu?" Karel mendengus.
"Kenapa harus kau?"
Karel mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya Letjen Dedrick mulai mempercayaiku untuk mengawasi barang-barang yang dikirim ke Netherland."
"Lagi pula, apa urusannya denganmu jika aku yang pergi? Aku tahu, kau pasti akan merindukanku."
Ucapan Karel sukses membuat Egbert merotasikan matanya malas. Cukup geli mendengarnya. Ayolah, untuk apa ia merindukan Karel?
"Terlalu besar kepala itu tidak baik asal kau tahu," sindirnya.
"Ya ya ya. Simpan saja ucapan mu untuk kau telan sendiri nantinya."
"Ngomong-ngomong, jangan berbuat hal bodoh selama aku tidak di sini. Sebenarnya aku juga kesal karena tidak bisa lagi mengata-ngatai dirimu nanti. Kau tahu Nicolas sudah terlalu malas untuk mengingatkanmu yang keras kepala ini, kan? Berterima kasihlah padaku yang masih mau berbaik hati untuk mengingatkanmu dari segala tindakan bodohmu itu."
Egbert mendengus, sangat tidak suka dengan kalimat sarkasme dari Karel yang cukup menyinggung dirinya. Tapi bagaimanapun, Karel tetaplah benar meski kalimatnya cukup tajam. Tentu saja hal itu yang tidak bisa membuat Egbert marah pada pemuda yang memiliki freckles tersebut.
"Sepertinya mengataiku bodoh sudah menjadi kesenanganmu, ya?"
Egbert yakin, jika Karel mengetahui bahwa ia baru saja dipanggil oleh Letjen Dedrick, sudah bisa dipastikan Karel akan mengatainya lebih dari bodoh.
"Jangan tersinggung. Itu adalah bentuk kepedulian ku padamu, asal kau tahu." Karel tertawa melihat raut wajah Egbert yang semakin masam.
"Aku tidak peduli. Itu benar-benar menyinggungku."
"Terserahmu saja. Baiklah, aku harus segera pergi. Sebentar lagi kapalnya akan berlayar."
Sadar akan sesuatu, Karel segera berdiri dari duduknya.
"Kapan kau akan kembali?" tanya Egbert.
"Aku tidak tahu kapan pastinya. Bisa jadi setelah satu bulan?"
Karel mengangkat kedua bahunya pertanda ia juga tidak tahu. Sebab, semua itu tergantung kelancaran urusan mereka di sana.
Egbert mengangguk mengerti. "Baiklah, kalau begitu hati-hati."
Karel hanya berdehem, kemudian mengucapkan selamat tinggal pada Egbert dan yang lain. Memandang punggung Karel yang mulai menjauh, Egbert menghela napas panjang. Jika saja Karel tahu, akan semarah apa pemuda itu padanya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Egbert Van Loen, 1935. [LJN]
FanfictionTentang seorang tentara militer Kerajaan Belanda, yang jatuh pada seorang inlander. Di mana, mereka tak seharusnya memiliki hubungan dengan seorang inlander-pun.