"Kau mau ke mana, Egbert?"
Meneer Loen mengernyit menatap putranya yang berpakaian rapi, ia bahkan tak mengenakan seragam militernya.
"Hanya ingin berjalan-jalan sebentar, Ayah. Lagi pula, hari ini jadwalku beristirahat."
Egbert tersenyum cerah, wajahnya berseri. Meneer Loen sebenarnya sedikit heran, apa yang membuat putranya tampak sebahagia ini. Apa sesuatu telah terjadi?
"Kau ini sebenarnya kenapa?"
Meneer Loen tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. Sementara itu, Egbert mendengus.
"Kenapa kau mempertanyakan hal yang sama seperti Nicolas, Ayah? Memangnya aku ini kenapa?" tanya Egbert malas.
Meneer Loen hanya menggeleng. "Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja ... kau terlihat sedikit aneh. Apa ada sesuatu yang membuatmu seperti ini?"
"Sesuatu apa? Aku bahkan baru akan keluar rumah pagi ini. Bagaimana ada sesuatu yang aku lalui?"
Jawaban dari Egbert sebenarnya masih belum cukup memuaskan bagi Meneer Loen. Tapi sudahlah, tidak perlu begitu mencampuri urusannya. Sepertinya ia harus sedikit memberi ruang privacy pada Egbert.
"Ya, terserah kau saja. Sudahlah, sana cepat pergi."
Melihat gestur mengusir dari sang ayah, Egbert mendengus sebal.
"Tanpa kau suruh pun aku akan segera pergi."
Setelahnya, ia berlalu melewati Meneer Loen yang kembali menyesap minumannya.
Egbert berjalan dengan santai. Namun, ekspresi wajahnya berubah tegas, tidak seperti tadi. Ekspresi seperti ini biasa ia pakai ketika sedang mengawasi suatu tempat. Membuat para inlander yang ia lewati merasa takut, meskipun Egbert tidak sedang memakai seragamnya.
Langkah kakinya membawa Egbert ke pasar yang ramai. Sejauh yang Egbert lihat, kebanyakan pembelinya adalah gundik-gundik dari para tentara.
Ngomong-ngomong, gundik memang sengaja dipekerjakan untuk melayani dan membantu pasukan militer Belanda, atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan mereka.
Meski hanya menjadi gundik, nyatanya mereka mendapat bayaran yang cukup besar. Itu sebabnya, ada banyak inlander memilih untuk menjadi gundik.
Namun, ketika diadakan pemilihan gundik oleh para tentara, Egbert menolaknya dengan suatu alasan yang ia buat kepada Meneer Janssen, Gubernur Jenderal pasukan militer Hindia-Belanda.
Egbert tiba-tiba tersenyum, sambil matanya yang fokus pada satu objek di depannya. Kalau begini, Egbert tidak nampak menyeramkan.
"Kau terlihat seperti orang gila, kau tahu?"
Senyuman Egbert luntur kala seseorang tiba-tiba berdiri di sebelahnya dan menyindir, yang tak lain adalah Nicolas.
"Kau datang hanya untuk menggangguku?" Egbert terlihat kesal.
Sementara itu, Nicolas malah tertawa. Kemudian, lelaki itu menepuk pundak Egbert.
"Aku hanya tidak ingin orang-orang salah paham dan mengira bahwa dirimu adalah orang gila karena tersenyum sendirian tanpa alasan yang jelas."
Makin kesal lah Egbert dibuat Nicolas. Lelaki itu mendengus. "Sudahlah, lebih baik aku pergi. Aku sudah bosan melihatmu setiap hari."
Egbert pun melanjutkan langkahnya menyusuri pasar, tanpa menaruh rasa peduli pada Nicolas yang tercengang.
"Kita bertemu lagi, Hanum."
Senyum Egbert terbit ketika ia berpapasan dengan Hanum. Gadis inlander itu sendiri langsung membungkuk hormat ketika melihat Egbert, begitu juga dengan seseorang yang berdiri di sebelahnya.
Siapa yang tidak mengenal Egbert? Seorang tentara Belanda sekaligus putra dari Letjen Loen yang kedudukannya bahkan lebih tinggi dari Meneer Meijer.
"Senang bertemu denganmu, Egbert." Hanum tersenyum membalasnya.
Egbert mengangguk, kemudian beralih menatap pada seorang gadis berambut hitam pekat di sebelah Hanum.
"Selamat pagi, Andini. Biar ku tebak, apakah Johnson yang memintamu untuk pergi berbelanja?"
Andini, seorang gundik dari temannya, Johnson. Ketika diadakan pemilihan gundik untuk para tentara, Johnson memilih Andini yang saat itu memang sangat membutuhkan pekerjaan. Sementara Egbert menolak untuk ikut memilih.
"Selamat pagi, Meneer. Ya, seperti yang kau katakan. Aku harus membuatkan makanan untuknya," jawab Andini sopan.
Egbert mengangguk, kemudian mengalihkan atensinya untuk kembali fokus pada Hanum. Andini sendiri memilih untuk pamit undur diri dan pergi duluan.
"Apa yang kau lakukan di sini, Egbert?" tanya Hanum yang merasa heran dengan keberadaan Egbert di pasar, apalagi tanpa seragam.
Jika saja lelaki itu mengenakan seragam militernya, Hanum bisa saja berpikir bahwa lelaki itu sedang mengawasi mereka para pribumi.
"Hanya ingin mencari udara segar saja, sekalian melihat keadaan pasar. Lagi pula, ini adalah hari bebasku."
Egbert ini berbeda dengan yang lain. Ia begitu ramah pada para inlander, meskipun memang sedikit tegas. Namun nyatanya, Egbert memiliki hati yang baik. Setidaknya, itu berdasarkan pengamatan Hanum.
"Ngomong-ngomong, besok aku akan pergi ke Buitenzorg bersama Meneer Meijer dan Nicolas serta yang lainnya. Ada seorang pembelot yang berusaha dilindungi oleh orang-orang di sana," kata Egbert tiba-tiba.
Hanum terdiam. Apakah itu artinya akan terjadi perlawanan yang berakhir mengakibatkan adanya korban jiwa yang gugur? Hanum menggeleng pelan, tidak sanggup untuk sekedar membayangkannya.
"Ada apa?" Egbert terlihat heran melihat Hanum yang seperti itu.
"Ah, tidak apa-apa. Sepertinya aku harus segera pergi, Meuvrow Meijer sudah menungguku. Senang bertemu denganmu hari ini, Egbert."
Hanum melangkah dengan terburu-buru, membuat Egbert lagi-lagi heran karenanya. Ada apa dengan Hanum? Kenapa terlihat seperti orang yang sedang ketakutan?
"Apa aku menakutinya?"
***
*Buitenzorg : Bogor
*Gundik : Perempuan piaraan
KAMU SEDANG MEMBACA
Egbert Van Loen, 1935. [LJN]
FanfictionTentang seorang tentara militer Kerajaan Belanda, yang jatuh pada seorang inlander. Di mana, mereka tak seharusnya memiliki hubungan dengan seorang inlander-pun.