"Ada sesuatu yang mengganggumu, Hanum?"
Hanum sedikit terkejut mendengar suara Meneer Meijer yang datang dari belakang. Hanum meletakkan kembali pakaian yang masih digenggamnya ke dalam ember, kemudian berbalik.
"Tidak ada, Meneer." Hanum tersenyum.
Meneer Meijer mengangkat sebelah alisnya dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia kurang yakin dengan jawaban Hanum.
"Apa kau yakin? Aku melihatmu melamun sejak tadi. Bahkan hanya ada dua pakaian yang baru kau jemur."
Mendengar itu, Hanum buru-buru membungkukkan badan.
"Maaf, Meneer."
"Tidak apa-apa." Meneer Meijer menggeleng pelan.
"Kalau begitu, lanjutkan lah pekerjaanmu. Setelah selesai, temui aku di ruangan ku nanti. Aku ingin kau mengantarkan beberapa surat untuk Meneer Loen," lanjut Meneer Meijer.
Mengantarkan surat untuk Meneer Loen? Itu berarti Hanum harus pergi ke rumahnya, kan? Apakah ia akan bertemu dengan Egbert nanti?
"Ah, baik, Meneer." Hanum tersenyum membalasnya.
Setelahnya, Meneer Meijer pergi meninggalkan Hanum yang kembali melanjutkan pekerjaannya untuk menjemur pakaian.
Pantas saja Meneer Meijer bertanya apakah ia baik-baik saja. Sebab, sudah selama hampir setengah jam Hanum berdiri di bawah terik matahari, tetapi baru ada dua pakaian yang ia jemur dalam waktu selama itu. Hanum juga tidak tahu, apa yang sebenarnya ia pikirkan sejak tadi.
***
Hanum menatap kotak persegi yang berisi surat-surat dari Meneer Meijer di tangannya. Ia sudah sampai di kediaman Meneer Loen. Saat ini, Hanum tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Ingin mengetuknya, tapi Hanum merasa ragu.
"Hanum?"
Mendengar panggilan dari belakang, Hanum langsung menoleh. Di sana, ada Egbert yang tengah berdiri dengan seragamnya, menatap Hanum sambil tersenyum.
"Oh, Egbert." Hanum membalas senyuman itu.
Egbert berjalan mendekat, dan kini berdiri di sebelah Hanum.
"Tidak biasanya kau datang kemari. Apa Meneer Meijer yang mengutusmu?"
Sambil menunjukkan kotak yang dipegangnya pada Egbert, Hanum mengangguk.
"Meneer Meijer memintaku untuk mengantarkan surat-surat ini kepada ayahmu."
Egbert mengangguk paham. "Tapi sayang sekali, ayahku sedang tidak ada di rumah. Mungkin ia baru akan kembali nanti sore. Tapi jangan khawatir, kau bisa menitipkan surat itu padaku."
Egbert mengulurkan tangannya, bermaksud agar Hanum segera menyerahkan kotak itu padanya. Hanum yang mengerti maksudnya pun buru-buru memberikan kotak tersebut pada Egbert.
"Terima kasih atas bantuanmu, Egbert."
"Tidak perlu berterima kasih." Egbert tersenyum.
"Kalau begitu, aku akan pulang."
"Tidak mau mampir sebentar?" tawar Egbert sebelum Hanum berbalik pergi.
Hanum tersenyum tipis. "Terima kasih untuk tawaranmu, tapi sebaiknya aku langsung pulang saja," tolaknya halus.
Egbert mengangguk mengerti.
"Baiklah. Sampai jumpa, Egbert."
Hanum membungkuk hormat sebelum berbalik. Namun, baru hendak melangkah, ada tangan yang menahan lengannya.
"Tunggu, Hanum!"
Hanum mengerutkan kening, berbalik menatap Egbert dengan heran.
"Ya? Apa ada sesuatu yang kau lupakan?" tanya Hanum bingung. Tatapannya turun ke arah tangan Egbert yang masih menahan lengannya.
Egbert yang sadar dengan tatapan itu langsung melepaskannya dengan salah tingkah. Ia menggaruk telinganya yang tidak gatal.
"Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya ... ah, tidak jadi!"
Hanum semakin bingung. Egbert terlihat aneh sekali. Ada apa dengan pria itu? Tidak biasanya Egbert bersikap seperti orang linglung seperti ini.
"Kau yakin?"
"Tentu!" Egbert menjawab dengan cepat.
"Kau terlihat aneh sekali, Egbert."
Katakanlah bahwa Hanum kurang sopan, tapi ia sudah tidak tahan untuk tidak mengatakan itu.
Egbert yang menyadari itu langsung tertawa canggung. Samar-samar, Hanum bisa mendengar Egbert sedang merutuk.
"Kalau memang tidak apa-apa, aku pulang dulu. Sudah terlalu lama aku berada di luar. Sampai jumpa, Egbert."
Egbert hanya mengangguk pelan membalas itu, menatap punggung Hanum yang mulai menjauh.
"Ah, dasar bodoh! Bisa-bisanya kau bertingkah seperti itu? Tahan dirimu, Egbert!"
Egbert kembali merutuki dirinya. Ia memukul-mukul bibirnya dengan pelan.
"Aku tahu kau memang bodoh. Tapi jangan ditambah dengan gila juga."
Entah kapan datangnya, Nicolas datang dari arah selatan bersama Karel. Hal itu tentu membuat Egbert semakin kesal.
"Diamlah. Lagi pula, kenapa kalian suka sekali datang dengan tiba-tiba? Aku bahkan tidak menyadarinya," kata Egbert.
Mendengar itu, Nicolas langsung mendengus. "Kami bahkan sudah berdiri di dekat sini sejak tadi. Hanya saja kau terlalu sibuk dengan Hanum."
"Ya karena aku tidak tahu kalian ada di sini."
Egbert mengangkat kedua bahunya, terlihat tak acuh.
"Aku rasa kau harus bisa menjaga sikap dan mengendalikan dirimu mulai sekarang, Egbert."
Baik Egbert dan Nicolas pun dibuat bingung dengan perkataan Karel.
"Ada apa memangnya?"
Karel menarik napas panjang. "Kau tidak menyadarinya, ya? Sikapmu itu terlalu jelas. Beruntung ayahmu tidak ada di sini dan melihat sikapmu yang mencurigakan itu. Kau tidak ingin ada yang tahu tentang perasaanmu selain kami, kan?"
Ucapan Karel membuat Egbert membisu. Ya, Karel memang benar. Egbert harus mengontrol sikapnya setiap berhadapan dengan Hanum. Namun yang menjadi masalahnya adalah Egbert tidak tahu bagaimana cara untuk mengontrol itu. Reaksi-reaksi itu muncul secara alami dan tidak bisa Egbert kendalikan.
Tetapi jika Egbert tidak berusaha melakukannya, maka itu akan lebih berbahaya. Orang-orang bisa membaca raut wajahnya dengan mudah.
"Baiklah, aku akan berusaha mengendalikannya."
***
Kalau sempet, besok aku bakalan update lagi, yaa. Selamat malam 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
Egbert Van Loen, 1935. [LJN]
FanfictionTentang seorang tentara militer Kerajaan Belanda, yang jatuh pada seorang inlander. Di mana, mereka tak seharusnya memiliki hubungan dengan seorang inlander-pun.