Chapter 4

323 39 0
                                    

"Kenapa kau melamun seperti itu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Egbert segera menoleh ketika suara Nicolas terdengar. Melihat Egbert yang hanya sendirian, Nicolas ikut duduk di sebelahnya. Mereka berdua sama-sama menatap langit malam yang cerah.

"Tidak. Aku hanya ingin seperti ini."

Jawaban singkat dari Egbert cukup membuat Nicolas mengangguk.

"Apa kau tidak berniat untuk beristirahat setelah mengejar seorang mata-mata yang mengintai kita sore tadi?" tanya Nicolas.

Tadi sore, seseorang yang diketahui sebagai mata-mata di kubu pemberontak pribumi ketahuan tengah mengintai pasukan militer yang tengah mempersiapkan sebuah rencana.

Tanpa pikir panjang, Egbert dan yang lainnya langsung mengejar pria pengintai itu. Ketika hari sudah hampir gelap, barulah mereka berhasil menangkap pria tersebut dan segera membawanya ke ruang eksekusi.

"Aku masih belum ingin tidur," jawab Egbert tanpa ekspresi.

Hal itu tentu membuat Nicolas mengerut heran. Ada apa dengan Egbert sebenarnya? Apa ia sedang dalam masalah?

"Kau yakin baik-baik saja?" Nicolas terlihat khawatir melihat temannya yang bersikap tak seperti biasanya.

"Tentu. Ngomong-ngomong, kapan kita akan kembali ke Bandoeng?"

Nicolas mengangguk sebentar, sebelum menjawab pertanyaan Egbert. "Yang aku dengar, kemungkinan lusa kita sudah bisa kembali ke Bandoeng karena para pemberontak sudah berhasil kita amankan."

"Memangnya ada apa? Ada sesuatu yang mengganggumu?" Nicolas lanjut bertanya.

Egbert menghela napasnya, diiringi dengan gelengan pelan. "Tidak, aku hanya merindukan ibuku."

Nicolas sebenarnya sama sekali tak mempercayai alasan itu. Egbert tidak pernah menjadi murung seperti ini ketika merindukan ibunya. Lalu sebenarnya apa yang terjadi pada Egbert?

"Sepertinya aku akan pergi tidur. Aku duluan, Nic. Selamat malam."

Egbert beranjak dari duduknya dan kemudian meninggalkan Nicolas yang masih bertanya-tanya karena keanehan sikap Egbert.

"Ah, membuatku sakit kepala saja."

***

Sudah satu bulan sejak keberangkatan Meneer Meijer dan tentara lainnya ke Buitenzorg. Hari ini, Hanum mendengar dari Meuvrow Meijer bahwa seluruh pasukan yang turut pergi hari itu akan kembali nanti.

Hanum tersenyum kecil, menyajikan makanan yang baru saja matang ke atas meja. Meuvrow Meijer meminta Hanum agar memasak lebih banyak untuk menyambut Meneer Meijer yang baru saja kembali.

Pintu diketuk beberapa kali, dan Meuvrow Meijer meminta Hanum untuk membukanya. Siapa tahu itu adalah Meneer Meijer yang sudah kembali.

Ternyata benar, di depan pintu kini Meneer Meijer sudah berdiri sambil tersenyum kecil. Tetapi, rupanya majikannya itu tak sendiri, melainkan ada Egbert dan Nicolas di belakangnya. Bukan hanya itu, masih ada satu lelaki lagi yang Hanum sendiri tidak mengenalnya.

"Selamat sore, Hanum." Sapa Meneer Meijer yang diikuti oleh senyuman dari ketiga lelaki di belakangnya.

"Selamat sore, Meneer. Mari, Meuvrow Meijer sudah lama menunggu kedatangan anda."

Mereka semua pun masuk ke dalam. Ternyata, alasan mengapa Egbert dan dua orang lainnya ikut mengantar Meneer Meijer adalah karena ketika di Buitenzorg Meneer Meijer sempat mengalami luka tusukan bambu runcing yang cukup dalam. Itu sebabnya, Meneer Meijer harus ada yang menjaga, meskipun kini mereka sudah kembali ke Bandoeng.

Satu lagi, Hanum mengetahui bahwa lelaki satu lagi yang bersama Egbert dan Nicolas itu bernama Karel. Hanum tahu itu karena mendengar Egbert menyebut nama lelaki itu.

"Semua ini kau yang memasak, Hanum?"

Egbert menatap takjub pada makanan-makanan khas Hindia-Belanda yang cukup banyan tersaji di atas meja. Ia sendiri tidak tahu bahwa Meneer Meijer ternyata menyukai makanan yang biasa dimakan oleh inlander.

"Tentu, Meneer." Hanum menjawab sopan.

Meski Egbert memintanya untuk memanggilnya dengan nama saja, tetapi Hanum harus tetap menjaga sopan santunnya di depan Meneer Meijer.

Selesai dengan pujiannya, Egbert akhirnya ikut makan setelah Meneer Meijer mempersilahkan mereka untuk menyantap makanan yang sudah disiapkan.

***

"Aku tahu apa yang kau sembunyikan, Egbert."

Langkah Egbert berhenti, menatap penuh dengan rasa bingung. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Meneer Meijer.

"Apa maksudmu?"

"Sesuatu. Kau melihatnya juga kan, Karel?"

Yang ditanya tersenyum kecil, kemudian mengangguk. "Tentu."

"Aku tidak mengerti apa yang sedang kalian bicarakan. Kau mengerti maksud Nicolas, Karel?" Egbert bertanya pada lelaki yang memiliki freckles di wajahnya itu.

"Matamu tak bisa berbohong, Egbert." Karel menjawab.

"Kau ini kenapa bodoh sekali?" Nicolas berdecak pada Egbert.

Percayalah, sejauh ini hanya Nicolas yang berani mengatai Egbert bodoh. Itu dikarenakan Egbert dikenal dengan sosok yang menyeramkan ketika sedang mendapatkan tugas meski ia memiliki hati yang baik.

"Kau mengataiku?" Egbert membelalakkan mata, merasa tersinggung.

Sementara Nicolas tak peduli. Lelaki itu malah tersenyum miring.

"Sudahlah, Karel. Mari kita tinggalkan orang bodoh ini dan biarkan dia berpikir apa yang sebenarnya kita bicarakan."

Egbert menggeram tak terima melihat kepergian kedua temannya. Bahkan Karel yang pendiam saja hanya menurut pada Nicolas. Apa-apaan ini?

"Ck! Awas saja kalian."

***

*Meuvrow : Nyonya

Egbert Van Loen, 1935. [LJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang