"Kau sedang melihat apa?"
Egbert mendadak panik ketika ayahnya memergoki dirinya yang sedang fokus menatap ke suatu titik. Ia bahkan tidak memperhatikan langkahnya, yang bisa saja membuatnya terjatuh.
"Bukan apa-apa, Ayah."
Sayangnya, jawaban Egbert tidak mampu menipu ayahnya. Meneer Loen menatap Egbert dengan raut tidak yakinnya.
"Akhir-akhir aku merasa tingkah mu sangat aneh, Egbert."
"Aneh bagaimana?"
"Kau terlalu sering tersenyum, namun tiba-tiba bisa termenung lama. Kau juga sering pergi ke luar padahal itu bukan jam mu berjaga."
Ucapan Meneer Loen tentu membuat Egbert diam. Dalam hati, Egbert sudah sangat panik. Sial, ia mengumpat dalam hati.
Karel dan Nicolas benar, perilakunya memang sejelas itu. Tapi Egbert sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ayahnya akan mudah untuk memahami tingkahnya.
Bahkan contohnya saat ini. Egbert tak sengaja melihat Hanum yang sedang berjalan bersama puteri dari Meneer Meijer. Hal itu tentu menarik perhatian Egbert yang membuat pemuda itu terus-menerus menatap ke arah mereka. Setidaknya Egbert harus bersyukur, karena ayahnya tidak tahu pasti ke mana arah pandangnya tadi.
"Bukankah ini sudah biasa?"
"Tidak. Kau aneh." Meneer Loen menggeleng, tetap keras dengan keyakinannya.
"Terserah jika menurut Ayah ini aneh. Yang penting, bagiku ini hanyalah hal biasa."
Berpura-pura memutuskan percakapan, Egbert melangkah lebih dulu membuat Meneer Loen tertinggal di belakang. Jika Egbert meneruskan obrolan mereka, tidak menutup kemungkinan bahwa ayahnya akan bertanya lebih lanjut.
"Aku akan menemui Karel dan Nicolas. Pulanglah duluan, Ayah."
***
Hanum mengerutkan keningnya, merasa ada yang memperhatikan mereka dari jauh. Ada banyak orang di sini. Apa ini hanya perasaan Hanum saja?
"Kau mendengarku, Hanum?"
Terlalu sibuk menoleh ke sembarang arah, Hanum sampai lupa kalau ia tidak sedang sendirian di sini.
"Ah, maafkan aku telah mengabaikan mu, Hanni."
Hanum membungkuk, merasa bersalah. Sementara anak perempuan berusia 10 tahun itu menggeleng maklum.
"Tidak apa-apa, aku mengerti."
"Kau ingin ke mana lagi setelah ini?" tanya Hanum setelah mereka melanjutkan langkah.
"Aku tidak tahu, tapi sepertinya ini sudah cukup. Ayo kita kembali, Hanum. Aku takut ayah akan memarahiku jika terlalu lama berada di luar."
Puteri dari Meneer Meijer itu mendongak menatap Hanum yang lebih tinggi darinya. Melihat itu, Hanum sedikit merendahkan tingginya sehingga sekarang mereka sudah sejajar.
Hanum tersenyum menatap Hanni yang memiliki bola mata berwarna biru. Indah sekali.
"Kita baru sebentar berada di luar. Kau yakin kita langsung pulang saja?" tanya Hanum memastikan.
Sebenarnya, Hanum sedikit merasa kasihan dengan Hanni yang kurang mendapat kebebasan dari ayahnya. Meneer Meijer melarang Hannie untuk pergi sendirian tanpa ada yang mendampingi. Hanni pun tak boleh terlalu sering bepergian. Sehingga, sebagian besar waktunya anak itu habiskan di rumah.
Itu sebabnya, Hanum memastikan apakah Hanni masih ingin jalan-jalan atau tidak. Hanum hanya ingin Hanni mengeksplor lebih jauh lingkungan tempatnya tinggal ini. Karena dalam tiga bulan, Hanum bisa menghitung dengan jari berapa kali Hanni diperbolehkan untuk keluar rumah.
Yang ditatap menunduk, menarik-narik ujung pakaiannya. "Tentu. Ayo kita pulang."
Hanum tersenyum kecil, kemudian menegakkan badannya kembali. Selanjutnya, Hanum menepuk-nepuk pelan ujung kepala Hanni.
"Kita masih punya waktu untuk berada di luar, Hanni. Aku janji Meneer Meijer tidak akan memarahimu."
Mendengar itu, Hanni langsung mendongak kembali. Menatap Hanum dengan raut ragu.
"Apa itu tidak masalah?"
"Tentu, aku berjanji."
Setelahnya, Hanni langsung tersenyum. Matanya berbinar, terlihat senang. Senyum Hanni pun ikut mengundang senyuman dari bibir Hanum.
"Kau ingin ikut aku?"
"Ke mana?"
"Bertemu dengan teman baru!"
Mata Hanni tampak membola. Lengkungan manis lagi-lagi muncul. Hanni melompat kegirangan. Bukankah artinya sebentar lagi ia akan memiliki teman? Hanum tidak bercanda dengan ucapannya, kan?
"Terima kasih, Hanum."
Hanum tertawa melihat Hanni yang tampak senang sekali. Hal itu karena ini adalah pertama kalinya Hanni akan memiliki teman.
***
"Kami sudah mengatakan itu berulangkali, bodoh! Kau lihat kan, sekarang?"
Egbert mendengus, ia tidak suka dengan kata bodoh yang keluar dari bibir Nicolas.
"Tidak bisakah kau berhenti mengataiku bodoh?"
Nicolas tampak tidak peduli. Ia memilih untuk berjalan mendekati jendela dan duduk di sana, merasakan angin yang masuk dari sana.
"Apakah kau baru sadar tingkahmu memang transparan jika sudah seperti ini?" Karel bersuara.
Jujur, ia sudah cukup lelah menasihati Egbert yang keras kepala ini. Karel ingin berhenti mengingatkan, tapi Egbert bisa saja berbuat lebih ceroboh lagi dari ini jika tidak ada mereka.
"Aku sudah bilang, lebih baik menyerah saja. Kau sudah bisa menebak bagaimana akhirnya, kan?" Karel melanjutkan.
Mendengar itu, rahang Egbert mengeras. Egbert ingin marah, namun tidak bisa. Lagi-lagi, apa yang dikatakan Karel memang memang benar. Tapi kenapa Egbert tidak bisa menerimanya? Egbert tidak suka dengan perasaan denial ini.
"Percuma, Karel. Kau mau mengingatkannya sampai kapanpun tidak akan pernah didengarkan."
Nicolas tampaknya sudah menyerah. Terlanjut malas mendengar penyangkalan Egbert yang sulit sekali untuk diberitahu. Rasanya tidak ada gunanya lagi untuk mengingatkan pemuda itu.
"Jangan menekanku. Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa sekarang." Egbert mendesis.
Nicolas merotasikan matanya, merasa jengah dengan berbagai alasan yang diberikan Egbert.
"Kami bahkan sudah memberimu solusi?"
"Itu bukan solusi!" Egbert menyangkalnya dengan keras.
Karel yang melihat perdebatan itu hanya menarik napas panjang. Egbert dan Nicolas sama-sama keras kepala dan memiliki sumbu pendek. Jika mereka dibiarkan beradu argumen seperti ini, maka tidak ada habisnya.
"Sudahlah, aku terlalu lelah membahas hal yang sama sejak kemarin. Aku tidak peduli lagi, sekarang terserahmu."
Selanjutnya, Karel pergi meninggalkan mereka. Melihat punggung Karel yang menjauh, Egbert jadi terdiam. Sadar akan sesuatu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Egbert Van Loen, 1935. [LJN]
FanfictionTentang seorang tentara militer Kerajaan Belanda, yang jatuh pada seorang inlander. Di mana, mereka tak seharusnya memiliki hubungan dengan seorang inlander-pun.