Chapter 6

244 31 0
                                    

Hanum termenung sendirian di teras rumah Meneer Meijer. Hanya ada ia seorang di rumah itu. Kemarin, Meneer Meijer sudah pergi ke Oosthaven bersama tentara lainnya. Sementara tadi pagi, Meuvrow Meijer mengatakan bahwa ia akan pergi sebentar, tetapi belum kembali sampai sore ini.

"Hanum!"

Mendengar ada yang memanggil, Hanum menoleh. Ia tersenyum kecil melihat siapa yang memanggilnya. Sekar, teman pertamanya ketika ia baru tiba di Bandoeng yang banyak membantunya. Bahkan, keluarga sekar banyak sekali membantunya sebelum akhirnya Hanum bekerja dengan Keluarga Meijer. Sekar sendiri berasal dari keluarga bangsawan pribumi.

Tidak bisa disebut sepenuhnya pribumi, sebenarnya. Karena ayah sekar adalah seorang Belanda, dan Ibunya seorang inlander sepertinya.

Sekar pun menghampirinya ketika Hanum mengajak gadis itu untuk masuk. Tenang saja, Meneer Meijer tidak akan marah karena Hanum yang membawa Sekar untuk masuk ke dalam rumahnya. Lagi pula, Keluarga Meijer dan Keluarga Kusuma saling mengenal.

"Aku sudah mengamatimu sebelum aku memanggilmu. Kau tampak sedang memikirkan sesuatu yang serius, Hanum. Apa kau mau berbagi cerita denganku?"

Hanum tersenyum mendengar ucapan Sekar. Benar, Hanum memang memikirkan sesuatu yang sayangnya begitu rumit. Hanum sendiri sampai pusing karenanya. Apalagi Sekar, jika ia menceritakan masalahnya.

"Kau hanya akan ikut pusing jika mendengarnya. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja. Hanya saja, ada satu hal yang menggangguku sejak kemarin." Raut wajah Sekar berubah murung.

"Apa itu?" Hanum mengerutkan keningnya.

Ia penasaran apa yang membuat Sekar menjadi sedih. Dari raut wajahnya saja, Hanum bisa melihat bahwa Sekar sedang menyimpan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dengan begini pula, Hanum bisa menghindari topik jika Sekar bertanya kembali tentang masalahnya.

"Aku dijodohkan dengan seorang Belanda, Hanum." Sekar menghembuskan napas berat.

Hanum terkejut, tentu saja. Dengan seorang Belanda? Hanum tebak, pasti pria yang akan dijodohkan dengan Sekar itu bukan berasal dari keluarga tentara militer Belanda. Itu sudah pasti, tentu saja.

"Aku tidak menyukainya, Hanum. Tapi Ayah terus saja memaksaku. Kau tahu aku hanya ingin menikah dengan seorang inlander, kan?"

"Mengapa kau tak mencoba untuk menerimanya?" Hanum bertanya dengan hati-hati.

Wajah Sekar tetap murung. Gadis berkulit putih itu menggeleng pelan. "Tidak sepenuhnya pernikahan dengan seorang Belanda itu akan menyenangkan, Hanum."

Jawaban itu membuat Hanum terdiam. Sekar benar, tidak semua orang akan merasakan kebahagiannya. Mungkin ada, tetapi hanya beberapa. Lalu kenapa hal ini yang menjadi beban dalam pikirannya sejak beberapa hari terakhir?

Hanum menjadi merasa bersalah karena sempat mengira Sekar sangat beruntung sebab baik ayahnya maupun pria yang akan dijodohkan dengannya bukan seorang serdadu militer Kerajaan Belanda.

"Aku rasa, ini bukan tentang kebahagian. Tetapi, ada seseorang yang sedang kau sukai diam-diam, kan?" Tebak Hanum.

Sekar tersenyum tipis, kemudian menatap ke arah depan. Pikirannya menerawang jauh.

"Kau tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang tetapi terhalang kasta? Aku rasa kau mengetahuinya karena kita sedang merasakan hal yang sama."

Hanum sedikit terkejut, menatap Sekar tak percaya. "Bagaimana kau tahu?"

"Ternyata benar, ya. Lalu, apa kau telah merubah rasa bencimu?" Alih-alih menjawab, Sekar malah memberi pertanyaan yang membuat Hanum membisu.

Ini tidak adil. Sekar menyerangnya dengan pertanyaan yang Hanum sendiri belum bisa menemukan jawabannya sampai sekarang.

"Fokuslah pada ceritamu dulu, Sekar. Mungkin aku---"

"Jangan menghindar, Hanum. Aku sudah pasrah dengan masalahku, lalu bagaimana dengan masalahmu?"

Hanum menghela napas. Sekar ini memang keras kepala sekali. Padahal, Hanum sedang tak ingin membahas ini karena akan semakin membuatnya sakit kepala.

"Aku tidak tahu."

Sekar mengerutkan kening. "Kau ingin melanjutkan perasaanmu? Aku senang jika kau bisa melupakan kesedihanmu yang dulu. Tetapi, bukankah ini akan semakin rumit, Hanum?"

Sekar benar. Hanum hanya akan membuatnya semakin rumit. Tetapi, Hanum sendiri tidak yakin apakah hatinya sudah memaafkan atau belum. Rasanya, semua yang pernah terjadi begitu menyakitkan baginya.

"Jangan pernah ragu, Hanum. Kau tidak boleh menyalahkan semua orang hanya karena satu orang. Aku tahu mereka jahat. Tetapi, ikutilah kata hatimu."

Hanum hanya tersenyum tipis. Meski ragu, Hanum tahu apa yang harus ia lakukan nanti.

"Mungkin aku akan mengakhirinya."

Jawaban Hanum membuat Sekar bingung. Apa maksudnya?

"Berakhir sebelum kau memulainya?" Sekar menatapnya tak percaya.

"Kau tahu ini tak akan bisa, kan?"

Sekar diam, menyadari apa yang dikatakan Hanum itu benar. Sekar menjadi sedikit iba dibuatnya.

"Kalau begitu, ayo kita bertukar takdir."

"Jangan bercanda, Sekar."

Sekar hanya tertawa melihat tatapan tajam dari Hanum. Ayolah, ia hanya sedang mencoba untuk mencairkan suasana. Ia tahu Hanum sedih.

"Lebih baik kau pikirkan saja apakah harus menerima perjodohan itu atau menolaknya. Kau hanya akan semakin pusing jika ikut memikirkan masalahku."

"Jangan membuatku mengingatnya, Hanum. Aku berharap hal itu tidak pernah terjadi." Sekar mendengus.

Mereka terus lanjut berbincang, sampai akhirnya Meuvrow Meijer pulang. Sekar pun berpamitan untuk segera pulang, karena hari pun sudah hampir malam.

***

Egbert Van Loen, 1935. [LJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang