7

184 17 17
                                    

"BUKAN apa-apa, mari kita--"

Tiba-tiba ia menunduk, wajahnya semakin meringis, Bram langsung memegang kedua pundaknya agar Evelyn tidak terjatuh ke tanah.

"Kau kurang enak badan?" Namun, Evelyn mengabaikan pertanyaan itu, rasa sakit membuatnya bungkam. Bram menundukkan Evelyn dengan hati-hati di atas dedaunan yang ia ambil sembarang. Pacarnya itu sejak tadi melihat ke Heels, ia inisiatif memegangi kaki Evelyn tapi refleks wanita itu tepis.

"Apa yang mau kau lakukan?"

"Ak, aku hanya ingin melihat sumber rasa sakitmu."

"Sejak kapan kau begitu peduli?"

"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan berubah? Aku ingin menjadi yang terbaik untukmu ke depannya."

"Hal seperti ini hanya akan membuatku merasa geli, kau tidak akan bisa mengelabuhiku lagi, Bram."

"Baiklah, jika kau merasa ini hanyalah trik manis, tetapi biarkan aku mengeceknya, ya?"

Ia memandang pria itu, sedangkan pandangan Bram tertuju pada lutut betisnya, terlihat raut khawatir di wajahnya yang setampan pangeran itu.

"Aku akan melupakan kejadian ini setelahnya."

"Tidak masalah." Kemudian Bram mulai melepas Heels itu dari kaki Evelyn. Ia mulai memijat-mijat ringan untuk merendahkan rasa sakitnya. Ah! Evelyn berteriak histeris karena rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan. Bram mengangkat kepala, ia coba gerakan yang sama dan Evelyn kembali mendesah kesakitan.

"Kurasa kakimu terkilir saat menanjak tadi."

"Kurasa begitu."

"Kenapa kau memaksa naik tanjakan dengan Heels? Lepas saja jikalau merasa tidak aman. Kau memang suka membahayakan dirimu sendiri."

Tidak sepantasnya Bram memarahinya seperti itu. Evelyn hanya tak bisa menurunkan gengsinya untuk melepas sepatu ber-hak tinggi itu. Meski harus memaksa dengan rasa sakit, itu jauh lebih baik ketimbang mendapat rasa kasihan darinya.

"Kau memarahi barusan?"

"Tidak, aku memperingatkanmu. Berhentilah menggunakan sepatu berbahaya seperti itu, tidak terlihat elegan sama sekali."

"Yah, tentu saja. Karena seleramu wanita rumahan, dan aku tidak menyukai itu."

Evelyn ingat betul saat Bram mengusulkan jika mereka menikah nanti, Bram ingin agar Evelyn berfokus menjadi Ibu Rumah Tangga saja. Tentu saja, Evelyn menentang keras hal itu. Ia wanita karir, tidak semudah itu memutuskan apa yang sudah ia tekuni selama bertahun-tahun. Hal itu memacu keributan kembali, apakah kali ini juga?

"Tidak lagi, sekarang ... aku lebih menyukai wanita yang sederhana, terlepas ia wanita karir atau bukan, aku ingin menikahi wanita sederhana yang tidak terlalu gengsi untuk meminta bantuan kepada seseorang."

Kau menyindirku, ya?! Dilihat dari manapun, itu jelas sindiran keras dari Bram. Evelyn tak tahu harus bereaksi seperti apa, hingga ia terdiam sesaat dan berkata, "Semoga kau menemukannya."

"Ya, dan kuharap itu seseorang yang ada di sekitarku."

"Kau boleh saja berharap, tetapi ingat bahwa realita lebih buruk daripada khayalan."

"Khayalan akan menjadi realita jika mereka mau mewujudkannya."

Setelah berkata demikian, Bram menjulurkan punggungnya ke hadapan Evelyn. Ia bingung sesaat, apa yang hendak dia lakukan saat ini?

"Ayo, naiklah. Turunkan gengsimu, sebentar saja."

"Apa maksudmu dengan 'gengsi'?"

"Tidakkah kau merasa dingin sekarang?" Alih-alih menjawab pertanyaan Evelyn, ia justru menepuk pundaknya, seolah berkata 'ayo, naik ke sini.'

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang