8.

172 17 25
                                    

"SEJUJURNYA, aku pun menanyai hal itu, Lyn." Bram berkata lirih.

"Jadi, maksudnya kau pun tak tahu alasan kepergiannya?"

"Ya. Seperti yang kau katakan tadi, sangat aneh melihat sikapnya yang seperti itu melakukan hal konyol seperti ini."

"Itu tidak konyol, Bram, bisa jadi kau melukai perasaannya tanpa kau sadari."

"Kami tidak memiliki perasaan."

"Akui saja, Bram, aku tak keberatan."

Bram memandang Evelyn. "Dan kau yakin bisa menerimaku kembali?"

Evelyn terdiam seribu bahasa. Ternyata benar kan, dia memiliki perasaan terhadap Amalia, harusnya Evelyn tahu bahwa menolakan Bram itu hanyalah kedok semata. Semuanya sudah jelas, teramat jelas, bukan hanya Evelyn yang menjadi saksi, tapi juga Nadira. Keduanya pernah memergoki Bram yang sedang mengobrol santai dengan Amalia sambil tertawa bahagia. Namun, Bram beralibi bahwa itu hanyalah kesalahpahaman biasa dan semuanya termanipulasi oleh kata-kata Bram.

"Aku ... tak bisa menjawabnya sekarang."

"Kau bisa, dan aku tahu jawabanmu. Tak apa, Evelyn, setelah kau mendengarkan penjelasan yang keluar dari mulut Amalia nanti, semisal kau memang ingin hubungan ini berakhir, aku akan mencoba menerimanya."

"Kau berbicara seolah sudah merencanakan hal itu. Sudahlah, ayo kita bergegas, tempatnya hanya 5 menit dari sini, kan? Seharusnya kakiku sudah kuat untuk--"

Baru sesaat Evelyn menyentuhkan ujung kakinya ke tanah, tiba-tiba rasa sakit itu kembali menjalar ke seluruh kakinya, ia histeris kesakitan.

"Evelyn!" Bram sontak menahan tubuhnya. "Sudah, jangan terlalu dipaksakan, aku masih kuat untuk menggendongmu."

Kau bersikap sok baik lagi, Bram. "Dan aku akan kembali terjatuh ke perangkap yang sama. Aku tahu itu, Bram."

"Aku tidak peduli apa tanggapanmu tentang pertolongan ini, tapi tolong jangan lukai dirimu hanya demi gengsi dan harga diri yang teramat tinggi itu."

Tanpa sadar, wajah keduanya begitu dekat satu sama lain. Kontak mata terjadi, bahkan tidak berkedip sama sekali. Evelyn memandang sorot bola hitam dalam mata pria itu, terdapat hal yang tidak bisa ia abaikan. Begitupun sebaliknya, Bram memandang Evelyn dengan mulut yang ternganga, ada rasa kekaguman sesaat di benaknya.

Evelyn membuang muka, ia tak bisa menahan adegan emosional itu lebih lama lagi. Sementara Bram tersadar dan refleks memasang punggungnya.

"Naik," kata Bram bersiap-siap.

"Aku bersumpah akan membalas ini, Bram."

"Lakukanlah jika kau bisa, jangan lupakan kalau aku adalah seorang dokter."

Evelyn mulai menempelkan tubuhnya ke punggung Bram. Pria itu mulai berdiri tegak dan memegangi seluruh peralatan yang ia bawa.

"Berikan padaku, biar aku yang menggendongnya."

"Tidak usah, aku masih bisa."

"Kau seorang dokter, bukan seorang tentara, berhentilah bersikap sok kuat, Bram."

"Kau pun begitu, Evelyn. Berhentilah berdeduksi tentang hal yang bukan-bukan."

"Apa maksudmu?" Evelyn mengernyitkan dahinya heran.

"Aku ingin kau menghentikan kebiasaan burukmu tentang menilai sesuatu yang tidak jelas kebenarannya. Pastikan kau sudah mendapatkan informasi yang cukup, barulah setelahnya mengambil kesimpulan."

"Itu sudah cukup jelas, kau memegangi kemaluannya, apanya yang kurang jelas lagi?"

"Kau benar-benar melihatnya? Dari depan?"

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang