27

76 17 6
                                    

"KAK Amalia, aku pulang dulu ya."

"Loh, nggak mau diantar sama Bram? Ups!" Ia langsung tersadar dengan ucapannya. Ia tak sengaja melayangkan pertanyaan yang membuat Evelyn tersinggung. Itu benar-benar tidak disengaja, dalam pandangan Amalia, keduanya masih nampak seperti orang pacaran. "Lupakan perkataanku barusan. Mulutku berkata begitu saja."

Sementara Evelyn hanya diam saja, tidak merespons apapun. Ia juga bingung harus bagaimana menanggapinya. Sejujurnya ia sangat ingin menolaknya.

"Jika kau benar-benar sudah berhasil move on dariku, kutantang kau untuk pulang bersamaku." Entah dari mana, pria ini muncul begitu saja.

"Aku tidak berencana untuk menerima tantangan darimu, Bram."

"Tentu saja, karena kau masih menyimpan ruang untukku di hatimu, hanya saja kau menguncinya saat ini."

"Memang pernah ada ruang di hatiku untukmu, tapi sekarang itu hanyalah ruang kosong yang kuncinya kubuang entah kemana. Jadi, aku tidak akan membukanya lagi."

"Maka dari itu, buktikan."

"Baik!" Evelyn terpancing, ia membalas tatapannya yang penuh kemenangan, merasa jika Evelyn sudah masuk ke perangkapnya. Bagi Evelyn, inilah saat yang tepat baginya untuk membuktikan pada diri sendiri dan juga Bram bahwa ia bukanlah Evelyn yang dulu.

Bram berjalan ke arah mobilnya, mumpung dia sudah mau mengikuti tantangannya, Bram akan memastikan sendiri apakah Akmal lah dibalik semua ini, atau memang wanita itu yang ingin menjauh darinya.

Jika memang Evelyn yang menginginkan putusnya hubungan mereka, maka Bram akan menerimanya dengan senang hati. Ia tidak akan pernah mengejar-ngejar Evelyn lagi demi sebuah jawaban. Ia akan merelakan wanita itu, tapi meski begitu, ia tidak akan pernah membiarkan Akmal mengambil Evelyn. Ia yakin, diluar sana masih banyak pria yang jauh lebih baik dari pria brengsek itu.

"Ayo, masuk!" ajak Bram dari dalam mobil.

Evelyn menatap Amalia, ia mendapati anggukan kepala darinya. Kemudian dia mendekat. "Jika kau memang sudah tidak ingin berhubungan dengannya, maka yakinkan dia bahwa hubungan itu sudah tidak ada. Kau tau, Bram saat ini masih dilanda gulanda yang cukup besar sehingga membuatnya goyah. Pastikan saja bahwa kau sudah yakin pada pilihanmu. Aku sendiri yakin bahwa kalian memang perlu berdiskusi satu kali lagi."

"Baiklah, terima kasih sarannya, Kak." Evelyn berbalik, ia kemudian masuk ke dalam mobil dan duduk tepat di sebelah Bram yang memegang kemudi.

Mobil melaju, meninggalkan rumah Amalia yang melambaikan tangannya. Setelah cukup lama perjalanan pun, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Evelyn sesekali menatap Bram yang fokus menyetir, tapi lagi-lagi mulut Bram tidak bergerak sedikit pun.

Kemudian....

"Apa yang harus kulakukan agar kau mengerti dengan keputusanku. Akhiri semuanya, Bram, carilah wanita lain yang bisa mengerti dirimu dengan banyaknya problem yang kau punya."

"Hanya kau wanita yang bisa melakukan itu."

"Aku jelas-jelas tidak bisa."

"Kau jelas bisa. Buktinya, dulu kau bisa memaafkanku, kenapa sekarang tidak?"

"Itu berarti kau mengakui bahwa kau memang ada hubungan dengan Amalia? Iya kan?"

"Sayangnya aku harus menolak tuduhan itu. Statusku dengan Amalia masih sama. Dokter dan Pasien. Mau berapa kali kukatakan agar kau percaya?" Ia menatapnya sesaat, sedikit frustasi.

"Bram, stop! Kita sudah dewasa, jangan bertingkah kekanak-kanakan. Kau mengerti betul bahwa hubungan kita sudah berakhir, kenapa kau harus melakukan testimoni sampai sejauh ini?"

"Karena kau dekat dengan Akmal."

"Apa?!" Evelyn menatapnya dengan raut wajah menurun. "Kenapa memangnya dengan itu? Salah memang kalau aku dekat dengan Akmal?"

"Itu sangat jelas, Evelyn! Dia bukan pria baik-baik."

"Setidaknya dia lebih baik darimu." Balas Evelyn, memalingkan wajah.

"Percaya padaku, aku sudah mengenalnya jauh sebelum kalian bertemu. Dan sejujurnya, aku menyesal membuatmu bekerja di perusahaan ayahnya."

"Aku tidak peduli dengan penyesalanmu, Bram. Yang aku tanyakan, kenapa aku tidak boleh mendekati Akmal? Apa kau merasa dikhianati?"

"Jangan bodoh, Evelyn. Kau sedang dituntun masuk ke sebuah jurang dan aku sedang berusaha untuk menahanmu."

"Cukup katakan alasannya saja, Bram!" Evelyn berteriak cukup kencang, ikut frustasi juga. Ia langsung bertanya-tanya, kenapa dia dilarang berhubungan dengan Akmal? "Tatap aku, Bram."

"Ini sama halnya dengan permasalahan Amalia kemarin. Kau tidak akan mempercayaiku meski aku mengatakan yang sebenar-benarnya, jadi aku ingin kau pergi ke tepi jurang itu untuk memastikan sendiri bahwa itu adalah sebuah jurang."

"Aku tidak mengerti sama sekali dengan pola pikirmu."

Bram mengabaikan penolakan darinya. "Saat ini dia memang membiarkanmu bermain di sekitar jurang, kemudian saat kau lengah, dia akan mendorongmu jatuh ke sana."

"Baik, baik, jika memang aku jatuh ke jurang itu. Apa pedulimu?"

"Apa pun akan kulakukan agar kau tidak jatuh ke jurang, tapi jika nantinya kau masuk ke jurang itu, maka akan kulakukan segala cara untuk menyelamatkanmu."

Evelyn mengangguk, tapi bukan karena paham akan maksud perkataan dari Bram, melainkan tau alasan kenapa pria itu bertingkah sedemikian rupa.

"Kau mengatakan itu karena kau masih tidak terima dengan keputusan ini ya, Bram. Kuakui, itu sangatlah romantis. Tapi, harusnya kau mengatakan itu saat aku masih berada di dalam genggamanmu, saat kita masih ada dalam satu ikatan, harusnya kau melakukan itu sejak awal."

"Maafkan aku. Aku telat menyadarinya, dan sekarang aku sebisa mungkin ingin memperbaiki semuanya."

"Aku mungkin bisa memaafkanmu, Bram, dan juga terima kasih banyak untuk sarannya. Mengenai Akmal, akan kuputuskan sendiri, dan kau tidak harus ikut campur dalam permasalahan itu."

"Kau mungkin akan menyesalinya nanti."

"Jika benar hal itu terjadi, artinya aku sudah salah menilaimu, tapi hanya sebatas itu. Kau tidak perlu memperdulikanku lagi."

"Setelahnya kau akan menyalahi dirimu sendiri, kau akan hancur jika sudah tergeletak di dasar jurang, tidak ada satu hal pun yang bisa dilakukan jika hal na'as itu terjadi."

Evelyn diam membisu. Ia memutuskan untuk tidak akan merespons Bram lagi. Sementara Bram hanya menghela napas panjang, ia memperkuat pegangan kemudinya. Sepertinya cara yang ia pilih saat ini tidaklah begitu efektif untuk menyadarkan Evelyn. Ia butuh cata lain yang lebih ampuh dari sekedar kata-kata. Sebenarnya, Bram bisa saja membiarkan Evelyn terjatuh, tapi rasanya berat sekali untuk menerima itu. Bram ingin Evelyn menyadarinya tanpa terluka sedikitpun, tapi bagaimana?! Sampai saat ini, tidak ada satu cara pun yang terpikirkan oleh Bram untuk menyadarkannya.

Setelah sampai ke rumah pun, Evelyn tidak berkata sedikit pun dan keluar begitu saja dari mobil. Mengabaikan tangan Bram yang hendak menyentuh pundaknya. Ia menatap Bram dari jendela pintu mobil.

"Terima kasih atas tumpangannya. Aku masuk."

"Lyn." Tahan Bram berkata selembut mungkin.

Wanita itu menahan kepergiannya, tapi ia tidak menoleh. "Apa?"

"Ingat baik-baik peringatan dariku tadi, Lyn."

Evelyn memutar matanya malas kemudian melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam rumah.

***

It's Never Enough!!! [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang